"Kenapa kamu tidak mengetuk pintu dulu sebelum masuk ruangan," tanya seorang wanita yang berkacamata, dengan rambut agak kuning yang panjangnya sebahu.
Aku bingung dengan kalimat yang diucapkan wanita yang rambutnya seperti temanku Jono yang terlalu sering main layangan, karena bingung jadi kututup kembali pintu itu, "Tok ... Tok ... Tok ..." baru kubuka lagi pintu ruangannya. Â
"Permisi," kataku. Ia tidak membalasnya malah memelototiku.
"Kamu Suratno?" tanyanya.
"Iya bu," jawabku sambil menganggukkan kepalaku. Ia malah menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ya sudah duduk disana," perintahnya. Aku pun menuruti perintahnya untuk duduk di sebuah kursi berwarna hitam persis dihadapannya, kursi itu terlihat empuk sekali, dan ternyata benar, baru saja kuhempaskan pantatku yang tepos ini, kursi empuk ini menenggelamkanku dalam pangkuannya, sandaran punggungnya pun membuatku terbuai, kursi ini bisa berputar, pasti mahal sekali harga kursi ini, beruntungnya aku bisa duduk di kursi mahal, pikirku, aku akan ceritakan pada emak nanti. "Kamu bawa portofolionya?" tanyanya.
Kata itu membuyarkan lamunanku tentang kursi yang empuk ini. "Apa bu?" tanyaku memastikan kata itu, karena sudah dua kali aku mendengar kata yang aneh itu.
"PORTOFOLIO," ucapnya tegas, aku terkejut ketika ia menegaskan kata itu.
"Maaf bu, saya enggak ngerti,"
"Astaga ... Kamu tahu kan tujuan kamu kesini?" Kacamatanya turun hingga setengah hidungnya, kepalanya setengah menunduk, matanya membesar.
"Iya, Bu," jawabku perasaanku semakin takut, karena wanita dengan rambut kuning itu memelototiku. "Saya mau jadi penulis."