KAMU membenamkan kepalamu di dalam keheningan malam, mungkin kamu teringat dosa-dosa yang pernah kamu buat ketika itu, ada sebuah masa di mana semua benih yang ditanam oleh seorang petani tua tumbuh menghijau, kamu memang berbeda, itu lah yang kerap kali terucap dari mulut petani tua yang sedang mengamati benih-benihnya di atas pot plastik yang reyot.
Sudah berjam-jam kamu tenggelam dalam alunan suara Jangkrik yang sedang berpesta pora menyambut dinginnya udara malam. Hujan baru saja reda, hawa dingin membuatmu semakin khusyuk menikmati aliran darah yang terjun bebas memenuhi sel-sel di dalam otakmu. Kamu tidak bergeming meskipun Jankring mengajak rekan-rekannya untuk menyesakkan telingamu.
***
AKU hanya terdiam di atas sebuah dipan besi, tanpa asa, tanpa rasa. Ruangan itu terasa sepi, dihiasi oleh senyap yang menyakitkan. Pandanganku kosong, merenung ke dalam kehampaan yang ada di hadapanku. Sudah berapa lama aku terjebak dalam labirin perasaan yang gelap ini?
Pikiranku melayang jauh, mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah membentuk kehampaan ini. Aku merenung pada saat-saat di mana tawa riang masih menyemai kebahagiaan di wajahku. Namun, ada yang merenggut, mengambil alih kehidupanku dan meninggalkan aku dengan serpihan-serpihan kenangan yang pahit.
Saat itu, cinta telah menorehkan luka yang mendalam di hatiku. Rasa percaya yang hancur, keikhlasan yang sirna, dan mimpi yang hancur berkeping-keping. Aku bak sebuah kapal yang terdampar di tengah badai tanpa arah tujuan. Kepercayaan yang telah hancur membuatku ragu akan setiap langkah yang akan kucoba.
Pada malam itu, angin bertiup sepoi-sepoi, mengusap lembut jendela kamar. Bulan menghiasi langit, menyaksikan kehampaan yang membeku dalam duka. Aku terduduk, menatap langit malam yang seolah-olah merayakan kesendirianku. Begitu banyak pertanyaan yang memenuhi pikiranku, tetapi tak ada jawaban yang mampu mengusir keraguan.
Suara Jangkrik itu membuatku tersadar di tengah gelapnya malam, ada kekuatan yang bisa kuhadirkan dari dalam diriku sendiri. Aku mulai membangkitkan kepercayaan, satu langkah kecil pada suatu waktu. Meskipun kehampaan masih melingkupi, namun aku bertekad untuk mencari cahaya di tengah gelapnya lorong hatiku.
Setiap detik menjadi pengingat bahwa aku masih hidup, masih memiliki kesempatan untuk merubah kehampaan menjadi kebahagiaan. Aku memutuskan untuk bangkit dari dipan besi itu, meninggalkan kehampaan yang membelenggu. Langkah pertamaku mungkin rapuh, tetapi aku yakin, setiap langkah akan membawaku mendekati cahaya yang kucari.
Malam itu, di bawah sinar rembulan, aku mulai menulis cerita baru untuk diriku sendiri. Cerita tentang keberanian untuk melangkah, belajar dari kehampaan, dan menemukan arti sejati dari kebahagiaan. Dalam setiap kata yang terukir, aku menemukan kekuatan untuk melanjutkan perjalanan hidup ini, mengubah kehampaan menjadi kanvas yang indah, diwarnai oleh pelajaran dan harapan baru.
***
KAMU masih melebur dalam sujudmu. Cahaya rembulan tersipu malu untuk menerangi ruangan tempatmu menyatu dengan bumi, getaran ketenangan terasa terhampar di udara. Sujudmu bukan sekadar gerakan ritual, tapi sebuah ungkapan perjumpaan dengan yang Maha Kuasa. Di tempat suci ini, antara bumi dan langit, kamu merasa begitu dekat dengan esensi kehidupan.
Saat bersujud, kamu merenungi perjalanan hidupmu sejauh ini. Ada cerita tentang kegembiraan dan kegagalan, tentang tawa dan tangis yang melukis jejak hidupmu. Kau ingat bagaimana dulu, di saat-saat sulit, sujudmu menjadi pelipur lara dan tempat berteduh dari badai kehidupan.
Dalam sujud, kamu menyampaikan rasa syukur yang begitu mendalam atas setiap nikmat yang diberikan. Mata air keimananmu mengalir deras, mengingatkanmu bahwa dalam setiap detik kehidupan ini, ada tanda-tanda kebesaran-Nya. Seakan-akan setiap hembusan nafasmu adalah karunia yang tak ternilai.
Namun, sujudmu juga menjadi panggilan untuk lebih mendekat. Kamu merasa sebuah keinginan kuat untuk meningkatkan hubunganmu dengan Sang Pencipta. Di setiap sujud, kamu memohon petunjuk, kekuatan untuk melewati cobaan, dan rahmat agar dapat menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Pada malam ini, di tengah sujudmu, kamu menyampaikan cita-citamu yang tertinggi, mengukir janji untuk terus berusaha, belajar, dan berbuat baik. Ruang antara bumi dan langit terasa seperti jembatan yang menghubungkanmu dengan yang Maha Kuasa, tempat di mana doa-doa tulusmu terbang menuju takdir.
Ketika kamu bangkit dari sujud, kamu merasa ringan, seolah-olah beban di pundakmu telah terangkat. Langit malam yang tenang menjadi saksi bisu dari pertemuanmu dengan keagungan yang tak terjangkau oleh kata-kata. Kamu tahu, tak peduli sejauh apa perjalanan hidupmu, sujudmu akan selalu menjadi pelabuhan damai yang mengingatkanmu pada keberadaan yang lebih besar dari dirimu sendiri.
Dengan langkah tegap dan hati penuh keyakinan, kamu melangkah keluar dari ruangan itu, menyongsong pagi yang akan datang. Cerita hidupmu terus berlanjut, dan sujudmu adalah nafas yang memberimu kekuatan untuk mengarungi samudra kehidupan.
***
“Nayla, ajari aku untuk menyembah Tuhanmu,” teriakku ketika ia baru saja terduduk setelah berjam-jam mencium hamparan karpet berwana hijau lalu ia menoleh ke arahku, ia hanya menoleh, mulutnya komat-kamit, tapi ia juga menoleh ke arah yang berlawanan, sedang apa dia.
Kamu tersenyum di dalam balutan kain panjang yang menyelimuti tubuhmu, “Itu kah panggilan jiwamu?”
Panggilan? Sejak kapan Tuhan peduli denganku, dengan jiwaku? Hanya satu yang patut aku syukuri, kehadiranmu di hidupku.
“Aku tidak punya jiwa Nayla, aku tetap hidup karena kamu.”
Tidak, aku tidak boleh terlihat lemah dihadapan Nayla, aku harus tegar, agar ia tetap tersenyum, dengan pesonamu dibalik balutan kain putih, mereka menyebut kain itu telekung. Cahaya rupamu berbaur dengan sinar rembulan yang malu-malu menyusup melalui jendela tanpa tirai.
Aku menatapmu dalam-dalam, kusimpan sorot mata itu di pelupuk mataku. Waktu terhenti sejenak, dunia sekitar kami berubah menjadi latar yang tak terlihat. Kamu, dengan segala keunikan dan rahasia yang tersembunyi, menjadi fokus dalam benakku.
Tatkala mata kita bertemu, ada sesuatu yang tak terucap namun terasa begitu dalam. Seperti matahari yang terbenam di ufuk barat, warna-warna kehangatan menyelimuti pandangan kita. Setiap detik terasa berharga, hanya ada kita di dunia ini.
Pipi merah dengan lubang kamu lemparkan padaku, kamu mengerti setiap pandangan itu membawa makna yang tak terungkapkan. Ada kelembutan dalam senyummu yang membuat hatiku bergetar, aku sedang menyusuri lorong-lorong rahasia yang tersembunyi di balik ekspresi wajahmu.
Namun, ada kebisuan di antara kita, sebagai sebuah ruang kosong yang memungkinkan pikiran kita berbicara tanpa kata-kata. Dalam diam, aku mencoba mengungkap apa yang tersembunyi di balik sorot mata itu. Apakah itu harapan, kerinduan, ataukah hanya perasaan yang sulit dijelaskan?
Pandangan kita menjadi benang yang mengaitkan dua dunia yang berbeda, membentuk jembatan tanpa batas. Aku melihat segala sesuatu dari sudut pandangmu, dan kamu melihat ke dalam jiwaku tanpa aku harus berbicara. Perasaan yang indah, bukan? di mana hati kita berbicara dalam bahasa tanpa suara.
Ketika aku memutuskan untuk mengalihkan pandanganku, aku menyadari bahwa momen itu akan menjadi kenangan yang abadi di hatiku. Sorot mata itu, yang masih tersimpan di pelupuk mataku, menjadi cahaya yang menerangi jalan ke depan. Kita mungkin tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi tatapan itu menceritakan kisah yang hanya bisa dipahami oleh hati yang terbuka, kamu dan aku.
Lalu aku melangkah perlahan menjauhimu yang masih bersimpuh di atas karpet hijau, tapi kenangan akan pandangan kita tetap mengalir seperti sungai tak terbatas. Mungkin suatu hari, kita akan bertemu lagi di persimpangan waktu, di mana sorot mata kita akan kembali bersatu dan melanjutkan kisah yang tak pernah selesai.
Lalu, kamu menghilang.
***
“Permisi pak, obat dan makan malam untuk pak Radit.” Suara wanita terdengar menggema dari balik tembok dingin yang hanya disinari lampu remang-remang serta jendela kecil berjeruji tanpa tirai yang melenyapkan semua rindu tentang Nayla.
“Kasian pak Radit, semenjak kalah nyaleg jadi begitu, jadi enggak waras.”
“Iya, karunya pisan euy. eh, denger-denger istrinya teh kabur sama lawan politiknya.”
"Udah kalah, eh... kena kasus penggelapan uang rakyat pula. Hahaha..." Suara wanita yang tertawa terkekeh-kekeh yang perlahan menjauh.
Ruangan ini dijaga ketat, oleh dua orang berseragam, lengkap dengan senjata, setiap hari aku selalu bertanya. “Apa salahku, aku hanya ingin membahagiakan Nayla.”
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H