Panggilan? Sejak kapan Tuhan peduli denganku, dengan jiwaku? Hanya satu yang patut aku syukuri, kehadiranmu di hidupku.
“Aku tidak punya jiwa Nayla, aku tetap hidup karena kamu.”
Tidak, aku tidak boleh terlihat lemah dihadapan Nayla, aku harus tegar, agar ia tetap tersenyum, dengan pesonamu dibalik balutan kain putih, mereka menyebut kain itu telekung. Cahaya rupamu berbaur dengan sinar rembulan yang malu-malu menyusup melalui jendela tanpa tirai.
Aku menatapmu dalam-dalam, kusimpan sorot mata itu di pelupuk mataku. Waktu terhenti sejenak, dunia sekitar kami berubah menjadi latar yang tak terlihat. Kamu, dengan segala keunikan dan rahasia yang tersembunyi, menjadi fokus dalam benakku.
Tatkala mata kita bertemu, ada sesuatu yang tak terucap namun terasa begitu dalam. Seperti matahari yang terbenam di ufuk barat, warna-warna kehangatan menyelimuti pandangan kita. Setiap detik terasa berharga, hanya ada kita di dunia ini.
Pipi merah dengan lubang kamu lemparkan padaku, kamu mengerti setiap pandangan itu membawa makna yang tak terungkapkan. Ada kelembutan dalam senyummu yang membuat hatiku bergetar, aku sedang menyusuri lorong-lorong rahasia yang tersembunyi di balik ekspresi wajahmu.
Namun, ada kebisuan di antara kita, sebagai sebuah ruang kosong yang memungkinkan pikiran kita berbicara tanpa kata-kata. Dalam diam, aku mencoba mengungkap apa yang tersembunyi di balik sorot mata itu. Apakah itu harapan, kerinduan, ataukah hanya perasaan yang sulit dijelaskan?
Pandangan kita menjadi benang yang mengaitkan dua dunia yang berbeda, membentuk jembatan tanpa batas. Aku melihat segala sesuatu dari sudut pandangmu, dan kamu melihat ke dalam jiwaku tanpa aku harus berbicara. Perasaan yang indah, bukan? di mana hati kita berbicara dalam bahasa tanpa suara.
Ketika aku memutuskan untuk mengalihkan pandanganku, aku menyadari bahwa momen itu akan menjadi kenangan yang abadi di hatiku. Sorot mata itu, yang masih tersimpan di pelupuk mataku, menjadi cahaya yang menerangi jalan ke depan. Kita mungkin tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi tatapan itu menceritakan kisah yang hanya bisa dipahami oleh hati yang terbuka, kamu dan aku.
Lalu aku melangkah perlahan menjauhimu yang masih bersimpuh di atas karpet hijau, tapi kenangan akan pandangan kita tetap mengalir seperti sungai tak terbatas. Mungkin suatu hari, kita akan bertemu lagi di persimpangan waktu, di mana sorot mata kita akan kembali bersatu dan melanjutkan kisah yang tak pernah selesai.
Lalu, kamu menghilang.