Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Emre!

1 November 2023   08:08 Diperbarui: 1 November 2023   08:17 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari pexel.com

"Selamat pagi, Emre. Nama saya Dr. Aylin. Saya adalah seorang psikolog yang akan membantumu. Apa kabar hari ini?" tanyaku sambil menatapnya.

Ia diam, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya pandangannya kosong. "Aku tahu kamu mungkin merasa takut atau malu untuk berbicara dengan orang asing. Tapi percayalah, aku di sini untukmu. Aku tidak akan menghakimi atau menyakitimu. Aku hanya ingin mengerti apa yang kamu rasakan dan pikirkan," jelasku padanya, berusaha meyakininya.

Ia masih saja diam. "Emre, aku tahu kamu mengalami sesuatu yang sangat mengerikan di gua itu. Aku tahu kamu melihat sesuatu yang tidak seharusnya kamu lihat. Aku tahu kamu merasa trauma, halusinasi, mungkin ada sesuatu yang tidak masuk akal," ucapku sambil menggenggam pundaknya.

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Emre, tidak apa-apa, mengakui bahwa kamu memiliki masalah. Itu adalah langkah pertama untuk sembuh. Kamu tidak sendirian dalam menghadapi masalah ini. Aku dan orang-orang yang peduli padamu, aku akan selalu mendukungmu," bujukku.

Ia menunduk. "Emre, apakah kamu mau memberitahuku apa yang kamu lihat di gua itu? Apa yang membuatmu begitu ketakutan?" tanyaku.

Emre mengangkat kepalanya, ia menatapku dengan tatapan penuh ketakutan. "Emre, apa yang kamu lihat?" tanyaku lagi.

Ia berbisik "Monster ..."

***

Aku seorang psikolog yang berasal dari Turki. Aku bekerja di sebuah rumah sakit jiwa di Ankara. Suatu hari, aku mendapat tugas untuk membantu seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang mengalami gangguan mental akibat melihat sesuatu yang mengerikan di sebuah gua di Anatolia. Anak laki-laki itu bernama Emre. Dia ditemukan dalam keadaan syok dan ketakutan oleh tim penyelamat yang sedang mencari sekelompok pelajar yang hilang di gua tersebut.

Aku bertemu dengan Emre di ruang terapi. Dia tampak pucat dan juga lesu. Dia tidak mau berbicara dengan siapa pun. Aku mencoba mendekatinya dengan lemah lembut dan bersahabat. Aku memperkenalkan diriku lalu memberitahunya bahwa aku ingin membantunya. Aku bertanya apa yang terjadi pada dirinya dan apa yang dia lihat di gua itu.

Emre menatapku dengan tatapan yang kosong. Dia mulai berbicara dengan suara lirih dan terputus-putus. Dia mengatakan bahwa dia dan teman-temannya pergi ke gua itu untuk melakukan eksplorasi sebagai bagian dari proyek sekolah mereka. Mereka membawa peralatan seperti senter, tali, dan kamera. Mereka masuk ke gua itu dengan penuh semangat dan rasa ingin tahu yang sangat besar.

Emre mengatakan bahwa gua itu sangat gelap dan juga dingin. Dia merasa ada sesuatu yang aneh dan menakutkan di dalamnya. Dia mendengar suara-suara aneh seperti desahan, jeritan, serta bisikan. Dia melihat bayangan-bayangan hitam bergerak di dinding gua. Dia merasakan ada sesuatu yang menyentuh dan mencengkeram kakinya.

Emre mengatakan bahwa dia dan teman-temannya mulai panik lalu berlarian mencari jalan keluar. Namun, mereka tersesat di dalam labirin di dalam gua. Mereka berpisah satu sama lain. Emre sendirian, tidak tahu harus kemana. Dia terus berlari tanpa arah tujuan sampai akhirnya dia tiba di sebuah ruangan besar di dalam gua itu.

Emre mengatakan, dia melihat sesuatu yang mengerikan di dalam ruangan itu. Sesuatu yang membuatnya tidak bisa melupakannya sampai sekarang. Sesuatu yang membuatnya kehilangan akal sehatnya.

Aku bertanya apa yang dia lihat di ruangan itu.

Emre menjerit dengan sangat keras. Dia menutup matanya dengan tangannya. Dia menggigil dan berkata, "Aku lihat ... aku lihat ... mayat-mayat manusia!"

Aku terkejut mendengar jawabannya. Aku bertanya bagaimana mungkin ada mayat-mayat manusia di dalam gua itu.

Emre mengatakan bahwa mayat-mayat itu tidak seperti mayat biasa. Mereka tidak seperti mayat-mayat normal yang sudah membusuk atau dikubur. Mereka seperti mayat-mayat hidup yang masih bergerak dan bernapas.

Emre mengatakan bahwa mayat-mayat itu terikat dengan rantai-rantai besi di dinding gua. Mereka memiliki luka-luka yang sangat parah di seluruh tubuh mereka. Mereka memiliki mata yang kosong tanpa pupil. Mereka memiliki mulut yang robek tanpa gigi atau lidah.

Emre mengatakan bahwa mayat-mayat itu adalah korban dari sesuatu yang ada di dalam gua itu. Sesuatu yang bengis serta haus darah. Sesuatu yang senang menyiksa dan memakan manusia.

Emre mengatakan bahwa sesuatu itu adalah ...

"MONSTER!"

Aku merinding mendengar kata-kata Emre. Aku bertanya bagaiman bentuk dari monster itu.

Emre menangis dengan histeris. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan liar. Dia berkata, "Aku tidak tahu ... aku tidak tahu ... aku tidak melihatnya ... aku hanya merasakannya ... rasanya seperti ... api ... es ... pisau ... racun ... gelap ... sunyi ... mati ..."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa sangat kasihan pada Emre. Aku ingin membawanya keluar dari mimpi buruk itu, menyembuhkan luka-luka batinnya, memberinya harapan dan juga kebahagiaan.

Aku memeluk Emre dengan erat, kuusap-usap punggungnya dengan lembut, lalu berbisik di telinganya, "Tenang, Emre. Tenang. Aku di sini untukmu. Aku akan melindungimu. Aku akan menyelamatkanmu. Aku akan membawamu pulang."

Aku berharap kata-kataku itu bisa menenangkannya, sambil berharap dia bisa percaya padaku, tentunya aku berharap dia bisa sembuh.

Namun, aku salah.

Aku tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang sedang mengawasi kami dari kegelapan gua.

Sesuatu yang tidak suka denganku, karena aku mengganggu urusannya.

Sesuatu yang tidak suka denganku, karena aku mengusik makanannya.

Sesuatu yang tidak suka aku hidup.

Sesuatu yang ingin aku mati.

Makhluk itu.

***

Aku merasakan ada sesuatu yang berubah di udara seketika, seperti ada sesuatu yang perlahan mendekat, seperti ada sesuatu yang bernafas di belakang saya.

Kulepaskan pelukanku dari Emre, aku segera menoleh ke belakang dengan cepat, aku melihat sesuatu yang membuatku tercekat ketakutan.

Aku melihat makhluk itu.

Makhluk itu adalah makhluk yang mengerikan dan sangat menjijikkan, tubuhnya yang besar dan juga berotot dengan kulit yang hitam serta bersisik. Monster itu memiliki kepala yang berbentuk seperti tengkorak dengan mata yang merah menyala, mulut yang lebar yang dipenuhi  gigi-gigi tajam. Monster itu memiliki tangan dan kaki yang sangat panjang dengan cakar di ujung kukunya, ia juga memiliki ekor yang bercabang serta berduri.

Makhluk itu mengaum dengan keras. Suaranya seperti guntur yang menggelegar, ia menggerakkan tubuhnya dengan cepat, dengan gerakan-gerakan seperti kilat yang menyambar.

Makhluk itu menyerangku. Aku berteriak sekencang-kencangnya, namun tidak ada seorang pun yang datang ke dalam ruangan itu.

Aku tidak punya waktu untuk berpikir atau bertindak, aku hanya bisa bereaksi dengan naluri sederhanaku saja, melindungi Emre dengan tubuhku.

Aku mencoba menghindari serangan makhluk itu, sambil berusaha mencoba mencari senjata atau benda apa saja untuk melawan monster itu.

Namun, aku tidak berhasil.

Makhluk itu terlalu kuat dan juga cepat, ia berhasil menangkapku dengan cakarnya, melukaiku dengan giginya yang runcing.

Kurasakan sakit yang sangat luar biasa di sekujur tubuhku, darah segar mengalir dari luka-luka sayatan akibat gigi-gigi runcingnya itu, nyawaku sepertinya akan pergi meninggalkan tubuhku.

Aku kembali menjerit sekencang-kencangnya, namun tidak ada yang menolongku. Aku memanggil-manggil Emre untuk pergi keluar mencari pertolongan, ia hanya diam terpaku di sudut ruangan itu menatapku tanpa ekspresi. Aku memohon-mohon pada makhluk itu untuk melepaskanku dari genggamannya.

Namun, makhluk itu tidak peduli.

Perlahan makhluk itu membawaku ke mulutnya.

Aku menutup mataku dengan perasaan ketakutan. Aku menyerah pada nasibku kali ini.

Aku berharap ini semua hanya mimpi buruk.

Aku berharap, aku bisa bangun dari mimpi ini.

Aku berharap, aku bisa kembali ke rumah.

Namun, ternyata, Ini bukan mimpi buruk.

Ini adalah kenyataan. Ini adalah akhir dari ceritaku. Ini adalah akhir dari hidupku.

***

"Seorang psikolog ditemukan meninggal dunia ketika sedang melakukan sesi terapi dengan pasiennya." Seorang reporter dari sebuah stasiun televisi TRT World memberitakan sebuah kejadian yang baru saja terjadi hari pagi ini.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun