Aku tidak bisa menulis lagi, imajinasi yang mengalir deras kini surut, kering, lautan kata yang dihuni oleh jutaan diksi-diksi yang berenang indah di antara kisah-kisah yang terpatri di dalam pikiran para penikmat kata yang selalu setia menanti kini pergi meninggalkanku dalam sepi.
Setiap kali aku mencoba untuk mengetik, meramu kata-kata di laptopku, aku selalu merasakan sakit di hatiku, lalu semua anyaman kata-kata itu perlahan pergi menyisakan tangis di pelupuk mata. Radit, laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab atas segala kebuntuan yang aku alami saat ini, aku baru saja putus dengannya, ia selingkuh dengan teman kerjaku, Dina. Aku tidak tahu sejak kapan mereka berdua menjalin hubungan di belakang punggungku, aku merasa dikhianati oleh dua orang yang paling aku sayangi. Hinggap bak langau titik bak hujan, begitulah mereka di hidupku.
Aku seorang penulis novel romantis. Novel-novelku selalu laris dan mendapat pujian dari para pembaca serta kritikus. Aku selalu berusaha untuk membuat cerita-cerita yang menginspirasi dan menyentuh hati orang-orang. Aku percaya bahwa cinta adalah hal terindah di dunia, dan aku ingin membagikannya dengan orang lain melalui tulisanku.
Tapi sekarang, aku kehilangan segalanya, tidak mampu lagi menemukan inspirasi untuk menulis, tidak ada lagi cinta di dunia ini, tidak ada lagi harapan untukku.
Aku memutuskan untuk pergi jauh dari sini, mengubah suasana dan mencoba hal-hal baru. Aku harus melupakan Radit, Dina, dan juga semua kenangan buruk tentang mereka berdua, lalu menemukan diriku lagi, menemukan mata air untuk imajinasiku, aku rindu dengan dekapan diksi yang selalu hangat dalam asmaraloka.
***
Memutuskan untuk memesan tiket pesawat ke sebuah pulau tropis yang terkenal dengan pantai-pantainya yang indah dan budayanya yang kaya membutuhkan kebernian, karenaa ku tidak tahu apa yang akan aku lakukan di sana, hanya berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa membuatku bahagia lagi.
Akahirnya aku tiba di pulau itu pada pagi hari. Matahari bersinar terang, langit biru yang tersenyum cerah, angin sepoi-sepoi yang mengusap wajahku, itu semua dapat mengisi ulang suasana hatiku yang kelabu, segera kuambil tasku dari bagasi lalu berjalan keluar dari bandara.
Di luar, banyak orang yang berlalu-lalang dengan riang, mereka tampak bahagia juga terlihat sangat santai tanpa beban, mobil dan motor yang berseliweran di jalan-jalan yang sempit, warung-warung dan toko-toko yang menjual berbagai macam barang dan juga makanan. Pemandangan yang unik, cukuplah untuk mengusir awan kelabu, bukan? bisik batinku.
Aku mencari taksi, atau apa saja yang bisa membawaku ke hotel tempat aku menginap, seketika aku melihat sebuah mobil kuning dengan tulisan 'TAXI' di atapnya, cepat-cepat aku mengacungkan tanganku, memberi tanda kepadanya.
Mobil itu berhenti tepat di depanku. Seorang pria turun dari kursi pengemudi dan bergegas membuka pintu belakang untukku.
"Halo, selamat datang di pulau ini," ucapnya dengan senyuman ramah. "Anda mau ke mana?"
"Halo, terima kasih," jawabku sambil masuk ke dalam mobil. "Saya mau ke Hotel Bintang."
"Hotel Bintang? Baiklah, saya tahu tempatnya," balasnya sambil menutup pintu, ia segera kembali ke kursi pengemudinya. "Nama saya Raka, saya sopir taksi sekaligus pemandu wisata di sini."
"Nama saya Lyla," kataku.
"Lyla ... nama yang bagus," ucapnya sambil menatapku melalui kaca spion tengah.
"Terima kasih," balasku sambil menatap matanya dari kaca spion itu.
"Lyla Malek?" tanyanya.
"Eh ... Anda kenal nama itu?"
"Tentu saja, ia penulis terkenal."
"Saya Lyla Malek, penulis novel itu."
"Lyla Malek, penulis novel? Wah, beruntung sekali saya hari ini," teriaknya senang, ia terlihat kagum. "Saya suka membaca novel-novel Anda."
"Benarkah? Apa judul novel favorit Anda?" tanyaku penasaran sambil menatap tajam matanya melalui kaca spion tengah.
"Saya sangat suka Embun, tapi ... Ketika Hilang itu yang terbaik menurut saya," jawabnya lirih, sepertinya ia meresapi dari setiap perjalanan kisah-kisah di dalam novel itu.
Aku terkejut mendengar jawabannya. "Anda tahu novel-novel saya?"
"Tentu saja. Saya adalah penggemar berat Anda. Saya sudah membaca semua novel yang Anda tulis. Saya sangat terpesona dengan cara Anda menulis tentang cinta yang dibalut dengan konflik kehidupan. Membaca tulisan-tulisan Anda, saya merasa seperti ikut berada di dalam ceritanya."
Aku tidak menyangka, ternyata ada orang di pulau ini yang mengenal novel-novelku. Aku merasa senang sekaligus tersanjung dengan kesan yang ia katakan.
"Terima kasih, saya sangat senang mendengarnya," kataku tulus. "Saya sungguh tidak menyangka bertemu penggemar saya di sini."
"Ya, mungkin saja saya adalah salah satu dari banyak penggemar Anda di sini. Banyak orang di pulau ini yang suka membaca novel-novel Anda. Anda sangat terkenal di sini."
"Benarkah?" tanyaku bingung.
"Ya, itu benar. Anda adalah idola bagi banyak orang di sini, termasuk saya," katanya penuh semangat.
Aku merasa malu mendengarnya, tidak pernah terbayang olehku aku menjadi idola bagi para pembaca setiaku. Aku hanya seorang penulis biasa yang mencoba untuk mengekspresikan perasaanku melalui tulisan.
"Terima kasih, Anda sangat baik," ucapku malu-malu.
"Tidak, Anda yang sangat baik. Anda itu penulis yang luar biasa. Saya sangat mengagumi Anda," ujarnya dengan penuh hormat.
Kami terus berbincang-bincang selama perjalanan ke hotel. Aku merasa nyaman dan perlahan-lahan akrab dengannya, pribadi dengan karakter humoris yang membuatku tertawa dengan lelucon-leluconnya yang lucu dan cerdas, ia juga bercerita tentang pulau ini dengan sangat antusias dan rasa bangga, ia juga menunjukkan kepadaku tempat-tempat menarik beserta sejarahnya yang kaya sepanjang perjalanan menuju hotel.
Aku merasa seperti menemukan teman baru di sini. Aku merasa senang dan lega.
Kami tiba di hotel setelah sekitar satu setengah jam berkendara. Raka membantuku mengeluarkan semua barang bawaanku dari mobil dan membawanya ke resepsionis.
"Saya sudah memesan kamar untuk Anda," ucapnya sambil memberikan kunci kamar kepadaku.
"Terima kasih, Anda sangat membantu," ujarku sambil menerima kunci kamar.
"Sama-sama, senang bisa membantu," katanya dengan senyum lebar.
"Apakah Anda bekerja di sini?" tanyaku penasaran, karena aku melihatnya berbincang dengan resepsionis hotel ini seperti teman lama.
"Tidak, saya hanya bekerja sebagai pemandu wisata dan sopir taksi di sini," jawabnya sambil menunjuk ke arah jalan.
"Lalu, bagaimana Anda bisa memesan kamar untuk saya?" tanyaku sambil mengangkat kedua alisku.
"Saya punya kenalan di sini. Saya sering membawa tamu-tamu yang wisata ke hotel ini, jadi saya kenal dengan pemiliknya. Saya minta pada resepsionis itu, agar memberikan kamar terbaik untuk Anda."
"Wow, Anda hebat sekali," ucapku kagum, ia sungguh sangat perhatian padaku.
"Tidak, saya hanya ingin membuat Anda nyaman di sini," balasnya rendah hati, sorot matanya terlihat senang.
"Terima kasih, saya sangat menghargai usaha Anda," kataku tulus.
"Sama-sama, saya senang bisa membuat Anda senang," ucapnya dengan nada yang hangat.
Aku menatap matanya yang berwarna cokelat, pupil itu indah itu bersinar, bibirnya yang menawan tersenyum, perlahan sesuatu yang aneh berdesir kencang di hatiku, degup jantungku tak karuan. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Apa ini?
"Ting" Notifikasi dari ponselku membuyarkan segala sensasi indah itu. Segera kubuka sebuah pesan yang meluncur masuk ke dalam surat elektronik.
"Dika?" ucapku berbisik ketika melihat pengirimnya, segera kubuka isi surat elektronik itu. "Undangan pernikahan Radit dan Dina."
-Tamat-
Iqbal Muchtar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H