Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku Masih Punya Harapan

27 Oktober 2023   08:18 Diperbarui: 27 Oktober 2023   08:41 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Buk, kenapa ayah ndak pulang-pulang?” tanya Sumiati ketika sedang membantuku berjualan daun pisang.

“Ayahmu sedang pergi jauh, Nduk. Dia sedang kerja bantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya,” jawabku sambil memeluknya erat,

“Kapan ayah kembali, Buk?” tanyanya lagi, kali ini matanya memerah, genangan kesedihan itu segera tumpah.

“Ayahmu akan kembali suatu hari nanti, Nduk. Tapi kita harus bersabar dan berdoa agar dia selamat dan sehat,” ucapku lirih sambil menahan air dipelupuk mata.

***

Puluhan tahun berlalu, aku masih saja mencoba mencari tahu kebenaran, tapi aku tidak pernah mendapat jawaban. Pemerintah tidak pernah mengakui kejahatan yang mereka lakukan. Mereka tidak pernah memberi tahu siapa yang bertanggung jawab, siapa yang menjadi korban, dan di mana mereka berada.

“Maaf, ibu. Kami tidak bisa memberikan informasi apapun tentang suami ibu. Kami tidak punya data tentang orang-orang yang ditangkap atau dibunuh pada tahun 1965-1966,” kata petugas di kantor pemerintahan.

“Dia itu suamiku! Dia itu ayah dari anak-anakku! Dia adalah warga negara yang berhak mendapat perlindungan dari negaranya! Dia adalah manusia yang berhak mendapat pengakuan dari sesamanya!” protesku pada petugas pemerintahan.

Ibu harus mengerti bahwa ini adalah masa lalu yang gelap dalam sejarah bangsa ini. Kita harus melupakan hal-hal buruk yang terjadi dan melihat ke depan untuk masa depan yang lebih baik. Ibu harusnya bersyukur, ibu masih hidup dan bisa bebas. Ibu harus berhenti mencari masalah dan mengganggu ketertiban umum,” kata petugas itu dengan nada yang dingin.

***

Tidak ada keluarga, ayah-ibuku sudah lama pergi meninggalkanku sebelum aku menikah dengan Mas Widji, aku sendirian, terlupakan, dan teraniaya, puluhan tahun lamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun