Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku Masih Punya Harapan

27 Oktober 2023   08:18 Diperbarui: 27 Oktober 2023   08:41 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari pexel.com

Aku tidak pernah bisa melupakan malam itu. Malam ketika suamiku, yang merupakan seorang guru juga seorang aktivis, ditangkap oleh petugas, dibawa ke tempat yang tidak pernah aku ketahui, tidak pernah ada kabar lagi darinya, yang aku tahu, dia adalah salah satu dari ratusan ribu orang yang menjadi korban pembunuhan massal yang terjadi pada tahun 1965-1966.

“Jangan khawatir, Sulastri. Aku pasti akan kembali. Aku tidak bersalah. Aku hanya berjuang untuk kebenaran dan juga keadilan,” kata suamiku sambil mencium keningku sebelum dia dibawa pergi.

“Widji… Widji… jangan tinggalkan aku… jangan tinggalkan anakmu…” teriakku sambil menangis, aku berusaha mengejarnya sambil menggendong Sartono yang baru berusia tiga belas bulan, tubuhku dihadang oleh puluhan petugas.

“Tutup mulutmu! Kamu sama suamimu harusnya mati!” bentak salah satu petugas menghardikku sambil menendang pintu rumahku.

Sejak itu, senja tidak lagi indah, kicauan burung pun tidak mampu mengusir kepedihan yang aku rasakan. Aku harus menghidupi diriku juga anakku sendiri dengan bekerja sebagai penjahit dan berjualan di pasar. Stigma juga diskriminasi dari masyarakat yang menganggap aku dan keluargaku sebagai komunis, pengkhianat, dan anti-agama. Aku tidak punya teman, tidak punya hak, tidak punya harapan.

“Anakmu itu tidak boleh sekolah di sini. Dia membawa ajaran sesat dari ayahnya yang komunis,” bentak ibu kepala sekolah.

“Tapi bu, dia anak yang baik. Dia rajin belajar dan berprestasi. Dia tidak pernah membuat masalah,” bantahku.

“Masalahnya itu darahnya. Darahnya tercemar oleh ideologi jahat yang membahayakan negara ini. Kami tidak mau ada anak seperti itu di sekolah kami. Kami tidak mau ada ibu seperti kamu di lingkungan kami. Kamu harus pindah dari sini!” ujar ibu kepala sekolah dengan tegas.

Sumiati terpaksa harus berhenti sekolah, ia baru kelas 4 SD, anakku yang paling besar terpaksa harus menelan pahitnya perjalanan hidup, ia berhenti sekolah dan membantuku berjualan di pasar.

Aku selalu hidup dalam ketakutan serta kesedihan. Aku selalu bermimpi buruk tentang malam itu. Aku selalu merindukan suamiku. Aku selalu bertanya-tanya apa yang terjadi padanya. Apakah dia masih hidup? Apakah dia disiksa? Apakah dia dibunuh? Apakah dia dikubur? Apakah dia mendapat penghormatan?

“Buk, kenapa ayah ndak pulang-pulang?” tanya Sumiati ketika sedang membantuku berjualan daun pisang.

“Ayahmu sedang pergi jauh, Nduk. Dia sedang kerja bantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya,” jawabku sambil memeluknya erat,

“Kapan ayah kembali, Buk?” tanyanya lagi, kali ini matanya memerah, genangan kesedihan itu segera tumpah.

“Ayahmu akan kembali suatu hari nanti, Nduk. Tapi kita harus bersabar dan berdoa agar dia selamat dan sehat,” ucapku lirih sambil menahan air dipelupuk mata.

***

Puluhan tahun berlalu, aku masih saja mencoba mencari tahu kebenaran, tapi aku tidak pernah mendapat jawaban. Pemerintah tidak pernah mengakui kejahatan yang mereka lakukan. Mereka tidak pernah memberi tahu siapa yang bertanggung jawab, siapa yang menjadi korban, dan di mana mereka berada.

“Maaf, ibu. Kami tidak bisa memberikan informasi apapun tentang suami ibu. Kami tidak punya data tentang orang-orang yang ditangkap atau dibunuh pada tahun 1965-1966,” kata petugas di kantor pemerintahan.

“Dia itu suamiku! Dia itu ayah dari anak-anakku! Dia adalah warga negara yang berhak mendapat perlindungan dari negaranya! Dia adalah manusia yang berhak mendapat pengakuan dari sesamanya!” protesku pada petugas pemerintahan.

Ibu harus mengerti bahwa ini adalah masa lalu yang gelap dalam sejarah bangsa ini. Kita harus melupakan hal-hal buruk yang terjadi dan melihat ke depan untuk masa depan yang lebih baik. Ibu harusnya bersyukur, ibu masih hidup dan bisa bebas. Ibu harus berhenti mencari masalah dan mengganggu ketertiban umum,” kata petugas itu dengan nada yang dingin.

***

Tidak ada keluarga, ayah-ibuku sudah lama pergi meninggalkanku sebelum aku menikah dengan Mas Widji, aku sendirian, terlupakan, dan teraniaya, puluhan tahun lamanya.

Namun, semua itu berubah ketika aku bergabung dengan sebuah komunitas yang membahas sejarah serta hak asasi manusia. Komunitas itu terdiri dari orang-orang yang memiliki penderitaan yang serupa denganku, orang-orang yang peduli dengan nasib kami. Mereka adalah orang-orang yang berani mengungkapkan kebenaran, yang berani menuntut hak-hak kami, yang berani menentang ketidakadilan.

Aku belajar banyak hal tentang hak asasi manusia, tentang bagaimana setiap orang memiliki hak untuk hidup, bebas, dan sejahtera, tentang bagaimana setiap orang memiliki hak untuk mengetahui kebenaran, mendapat keadilan, dan memperoleh rekonsiliasi, tentang bagaimana setiap orang memiliki hak untuk berpendapat, berserikat, dan berdemostrasi.

“Aku baru saja mengikuti sebuah seminar yang membahas tentang hak asasi manusia. Seminar itu diadakan oleh sebuah organisasi internasional yang bergerak di bidang hak asasi manusia,” sahut salah satu anggota kelompok itu sambil memberikan brosur kepadaku.

“Apa saja yang dibahas di seminar itu?” tanyaku merasa tertarik.

"Salah satu hal yang dibahas adalah tentang prinsip-prinsip hak asasi manusia. Prinsip-prinsip itu antara lain adalah bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia tanpa memandang ras, agama, gender, atau status sosial. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang tidak bisa dicabut atau dilanggar oleh siapapun. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang harus dihormati dan dilindungi

Komunitas ini memang sangat mengejutkan, namun ada yang lebih mengejutkan lagi, ketika aku menemukan kembali cinta lama yang hilang selama puluhan tahun. Dia teman sekolahku dulu, yang juga sempat menjadi aktivis bersama suamiku. Dia juga ditangkap pada malam itu, tapi dia berhasil lolos dari pembantaian. Dia melarikan diri ke luar negeri dan hidup dalam pengasingan selama bertahun-tahun.

Dia baru saja kembali ke Indonesia beberapa tahun lalu, setelah rezim otoriter runtuh dan demokrasi mulai tumbuh. Dia bergabung dengan komunitas itu untuk mencari tahu nasib teman-temannya yang hilang, termasuk suamiku. Dia juga ingin membantu korban dan keluarganya mendapatkan kebenaran dan keadilan.

Ketika aku melihat wajahnya, aku hampir tidak percaya. Dia masih tampak tampan meskipun sudah tua. Matanya masih bersinar meskipun sudah berkerut. Senyumnya masih manis meskipun sudah beruban. Aku merasa seperti kembali ke masa lalu, ke masa ketika kami masih muda, masa-masa bahagia.

Dia mengenali aku seketika. Dia mendekatiku lalu menyapaku dengan hangat. Dia memelukku kemudian menangis, meminta maaf karena tidak bisa menyelamatkan Widji suamiku.

“Sulastri … aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi … kamu masih cantik seperti dulu,” ucapnya sambil memandangiku dengan penuh kasih.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku bingung, terharu, juga bahagia. Aku merasakan perasaan yang sudah lama hilang. Aku merasakan sesuatu yang hilang. Aku merasa hidup lagi.

***

Suatu ketika dia mengajakku untuk pergi ke sebuah tempat yang spesial bagi kami. Tempat itu adalah kebun teh, tempat kami pertama kali bertemu lalu jatuh cinta. Tempat itu juga adalah tempat kami terakhir kali kami bersama sebelum aku memutuskan untuk menikah dengan Widji.

“Sulastri … aku ingin membawamu ke tempat ini … tempat yang penuh dengan kenangan indah bagi kita … tempat yang selalu kuingat saat aku jauh darimu,” ucapnya dia sambil menggandeng tanganku.

Kami berjalan menyusuri kebun teh itu sambil menikmati pemandangan hijau di sekitar kami, burung-burung yang berkicau dengan nada-nada merdu dan riang, langkah kaki tua ini menuntun kami ke sebuah empang kecil di tengah-tengah kebun teh itu, tempat kami dulu sering duduk dan bercengkerama. Kami melihat sebuah bangku kayu di pinggir empang itu, tempat kami dulu sering bercengkrama.

Kami mendekati bangku kayu itu, kami duduk bersama-sama sambil memandangi empang itu. Kami merasakan angin yang sepoi-sepoi menerpa wajah kami, matahari yang hangat menyirami tubuh kami, perasaan cinta yang tulus mengalir di antara kami.

“Sulastri… aku ingin mengatakan sesuatu padamu… sesuatu yang sudah lama kusimpan di hatiku… sesuatu yang mungkin akan membuatmu terkejut…” katanya sambil menatapku dengan tatapan serius.

Dia mengambil sesuatu dari sakunya lalu menunjukkannya padaku. Aku terkejut melihat apa yang dia pegang. Dia memegang sebuah cincin emas dengan sebuah batu permata berwarna biru di atasnya. Cincin itu adalah cincin yang dia berikan padaku saat dia melamarku dulu. Aku menolaknya saat itu meskipun aku mencintainya, aku takut kehilangan dia karena dia seorang aktivis. Aku memilih Widji karena dia sudah berjanji untuk berhenti menjadi aktivis.

“Sulastri… aku masih menyimpan cincin ini, cincin ini adalah bukti bahwa aku tidak pernah melupakanmu… cincin ini sebuah pengharapan, sebuah keyakinan aku bisa bersamamu lagi,” ucapnya sambil menggenggam cincin itu.

Dia tersenyum lalu membuka tangannya, aku menyambut tangannya yang terbuka itu. Kami saling menggenngam cincin itu bersama, saling merasakan getaran yang kuat di hati, merasakan ikatan yang erat di jiwa kami.

“Sulastri… aku masih mencintaimu…  aku ingin kamu menjadi istriku… aku ingin kamu menjadi teman hidupku,” ucapnya lirih.

Aku tidak mampu memjawab pertanyaan itu, aku tahu hidupku tidak akan pernah sama seperti dulu. Aku tahu luka-luka yang ada di hatiku tidak akan pernah sembuh sepenuhnya. Aku tahu banyak tantangan dan rintangan yang masih harus aku hadapi.

Tapi aku juga tahu aku tidak akan sendiri lagi. Aku punya teman-teman yang peduli dengan aku. Aku punya cinta yang akan melindungiku.

Aku punya masih punya harapan.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun