Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku Masih Punya Harapan

27 Oktober 2023   08:18 Diperbarui: 27 Oktober 2023   08:41 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Suatu ketika dia mengajakku untuk pergi ke sebuah tempat yang spesial bagi kami. Tempat itu adalah kebun teh, tempat kami pertama kali bertemu lalu jatuh cinta. Tempat itu juga adalah tempat kami terakhir kali kami bersama sebelum aku memutuskan untuk menikah dengan Widji.

“Sulastri … aku ingin membawamu ke tempat ini … tempat yang penuh dengan kenangan indah bagi kita … tempat yang selalu kuingat saat aku jauh darimu,” ucapnya dia sambil menggandeng tanganku.

Kami berjalan menyusuri kebun teh itu sambil menikmati pemandangan hijau di sekitar kami, burung-burung yang berkicau dengan nada-nada merdu dan riang, langkah kaki tua ini menuntun kami ke sebuah empang kecil di tengah-tengah kebun teh itu, tempat kami dulu sering duduk dan bercengkerama. Kami melihat sebuah bangku kayu di pinggir empang itu, tempat kami dulu sering bercengkrama.

Kami mendekati bangku kayu itu, kami duduk bersama-sama sambil memandangi empang itu. Kami merasakan angin yang sepoi-sepoi menerpa wajah kami, matahari yang hangat menyirami tubuh kami, perasaan cinta yang tulus mengalir di antara kami.

“Sulastri… aku ingin mengatakan sesuatu padamu… sesuatu yang sudah lama kusimpan di hatiku… sesuatu yang mungkin akan membuatmu terkejut…” katanya sambil menatapku dengan tatapan serius.

Dia mengambil sesuatu dari sakunya lalu menunjukkannya padaku. Aku terkejut melihat apa yang dia pegang. Dia memegang sebuah cincin emas dengan sebuah batu permata berwarna biru di atasnya. Cincin itu adalah cincin yang dia berikan padaku saat dia melamarku dulu. Aku menolaknya saat itu meskipun aku mencintainya, aku takut kehilangan dia karena dia seorang aktivis. Aku memilih Widji karena dia sudah berjanji untuk berhenti menjadi aktivis.

“Sulastri… aku masih menyimpan cincin ini, cincin ini adalah bukti bahwa aku tidak pernah melupakanmu… cincin ini sebuah pengharapan, sebuah keyakinan aku bisa bersamamu lagi,” ucapnya sambil menggenggam cincin itu.

Dia tersenyum lalu membuka tangannya, aku menyambut tangannya yang terbuka itu. Kami saling menggenngam cincin itu bersama, saling merasakan getaran yang kuat di hati, merasakan ikatan yang erat di jiwa kami.

“Sulastri… aku masih mencintaimu…  aku ingin kamu menjadi istriku… aku ingin kamu menjadi teman hidupku,” ucapnya lirih.

Aku tidak mampu memjawab pertanyaan itu, aku tahu hidupku tidak akan pernah sama seperti dulu. Aku tahu luka-luka yang ada di hatiku tidak akan pernah sembuh sepenuhnya. Aku tahu banyak tantangan dan rintangan yang masih harus aku hadapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun