***
Suatu ketika dia mengajakku untuk pergi ke sebuah tempat yang spesial bagi kami. Tempat itu adalah kebun teh, tempat kami pertama kali bertemu lalu jatuh cinta. Tempat itu juga adalah tempat kami terakhir kali kami bersama sebelum aku memutuskan untuk menikah dengan Widji.
“Sulastri … aku ingin membawamu ke tempat ini … tempat yang penuh dengan kenangan indah bagi kita … tempat yang selalu kuingat saat aku jauh darimu,” ucapnya dia sambil menggandeng tanganku.
Kami berjalan menyusuri kebun teh itu sambil menikmati pemandangan hijau di sekitar kami, burung-burung yang berkicau dengan nada-nada merdu dan riang, langkah kaki tua ini menuntun kami ke sebuah empang kecil di tengah-tengah kebun teh itu, tempat kami dulu sering duduk dan bercengkerama. Kami melihat sebuah bangku kayu di pinggir empang itu, tempat kami dulu sering bercengkrama.
Kami mendekati bangku kayu itu, kami duduk bersama-sama sambil memandangi empang itu. Kami merasakan angin yang sepoi-sepoi menerpa wajah kami, matahari yang hangat menyirami tubuh kami, perasaan cinta yang tulus mengalir di antara kami.
“Sulastri… aku ingin mengatakan sesuatu padamu… sesuatu yang sudah lama kusimpan di hatiku… sesuatu yang mungkin akan membuatmu terkejut…” katanya sambil menatapku dengan tatapan serius.
Dia mengambil sesuatu dari sakunya lalu menunjukkannya padaku. Aku terkejut melihat apa yang dia pegang. Dia memegang sebuah cincin emas dengan sebuah batu permata berwarna biru di atasnya. Cincin itu adalah cincin yang dia berikan padaku saat dia melamarku dulu. Aku menolaknya saat itu meskipun aku mencintainya, aku takut kehilangan dia karena dia seorang aktivis. Aku memilih Widji karena dia sudah berjanji untuk berhenti menjadi aktivis.
“Sulastri… aku masih menyimpan cincin ini, cincin ini adalah bukti bahwa aku tidak pernah melupakanmu… cincin ini sebuah pengharapan, sebuah keyakinan aku bisa bersamamu lagi,” ucapnya sambil menggenggam cincin itu.
Dia tersenyum lalu membuka tangannya, aku menyambut tangannya yang terbuka itu. Kami saling menggenngam cincin itu bersama, saling merasakan getaran yang kuat di hati, merasakan ikatan yang erat di jiwa kami.
“Sulastri… aku masih mencintaimu… aku ingin kamu menjadi istriku… aku ingin kamu menjadi teman hidupku,” ucapnya lirih.
Aku tidak mampu memjawab pertanyaan itu, aku tahu hidupku tidak akan pernah sama seperti dulu. Aku tahu luka-luka yang ada di hatiku tidak akan pernah sembuh sepenuhnya. Aku tahu banyak tantangan dan rintangan yang masih harus aku hadapi.