“Buk, kenapa ayah ndak pulang-pulang?” tanya Sumiati ketika sedang membantuku berjualan daun pisang.
“Ayahmu sedang pergi jauh, Nduk. Dia sedang kerja bantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya,” jawabku sambil memeluknya erat,
“Kapan ayah kembali, Buk?” tanyanya lagi, kali ini matanya memerah, genangan kesedihan itu segera tumpah.
“Ayahmu akan kembali suatu hari nanti, Nduk. Tapi kita harus bersabar dan berdoa agar dia selamat dan sehat,” ucapku lirih sambil menahan air dipelupuk mata.
***
Puluhan tahun berlalu, aku masih saja mencoba mencari tahu kebenaran, tapi aku tidak pernah mendapat jawaban. Pemerintah tidak pernah mengakui kejahatan yang mereka lakukan. Mereka tidak pernah memberi tahu siapa yang bertanggung jawab, siapa yang menjadi korban, dan di mana mereka berada.
“Maaf, ibu. Kami tidak bisa memberikan informasi apapun tentang suami ibu. Kami tidak punya data tentang orang-orang yang ditangkap atau dibunuh pada tahun 1965-1966,” kata petugas di kantor pemerintahan.
“Dia itu suamiku! Dia itu ayah dari anak-anakku! Dia adalah warga negara yang berhak mendapat perlindungan dari negaranya! Dia adalah manusia yang berhak mendapat pengakuan dari sesamanya!” protesku pada petugas pemerintahan.
“Ibu harus mengerti bahwa ini adalah masa lalu yang gelap dalam sejarah bangsa ini. Kita harus melupakan hal-hal buruk yang terjadi dan melihat ke depan untuk masa depan yang lebih baik. Ibu harusnya bersyukur, ibu masih hidup dan bisa bebas. Ibu harus berhenti mencari masalah dan mengganggu ketertiban umum,” kata petugas itu dengan nada yang dingin.
***
Tidak ada keluarga, ayah-ibuku sudah lama pergi meninggalkanku sebelum aku menikah dengan Mas Widji, aku sendirian, terlupakan, dan teraniaya, puluhan tahun lamanya.