Namun, semua itu berubah ketika aku bergabung dengan sebuah komunitas yang membahas sejarah serta hak asasi manusia. Komunitas itu terdiri dari orang-orang yang memiliki penderitaan yang serupa denganku, orang-orang yang peduli dengan nasib kami. Mereka adalah orang-orang yang berani mengungkapkan kebenaran, yang berani menuntut hak-hak kami, yang berani menentang ketidakadilan.
Aku belajar banyak hal tentang hak asasi manusia, tentang bagaimana setiap orang memiliki hak untuk hidup, bebas, dan sejahtera, tentang bagaimana setiap orang memiliki hak untuk mengetahui kebenaran, mendapat keadilan, dan memperoleh rekonsiliasi, tentang bagaimana setiap orang memiliki hak untuk berpendapat, berserikat, dan berdemostrasi.
“Aku baru saja mengikuti sebuah seminar yang membahas tentang hak asasi manusia. Seminar itu diadakan oleh sebuah organisasi internasional yang bergerak di bidang hak asasi manusia,” sahut salah satu anggota kelompok itu sambil memberikan brosur kepadaku.
“Apa saja yang dibahas di seminar itu?” tanyaku merasa tertarik.
"Salah satu hal yang dibahas adalah tentang prinsip-prinsip hak asasi manusia. Prinsip-prinsip itu antara lain adalah bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia tanpa memandang ras, agama, gender, atau status sosial. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang tidak bisa dicabut atau dilanggar oleh siapapun. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang harus dihormati dan dilindungi
Komunitas ini memang sangat mengejutkan, namun ada yang lebih mengejutkan lagi, ketika aku menemukan kembali cinta lama yang hilang selama puluhan tahun. Dia teman sekolahku dulu, yang juga sempat menjadi aktivis bersama suamiku. Dia juga ditangkap pada malam itu, tapi dia berhasil lolos dari pembantaian. Dia melarikan diri ke luar negeri dan hidup dalam pengasingan selama bertahun-tahun.
Dia baru saja kembali ke Indonesia beberapa tahun lalu, setelah rezim otoriter runtuh dan demokrasi mulai tumbuh. Dia bergabung dengan komunitas itu untuk mencari tahu nasib teman-temannya yang hilang, termasuk suamiku. Dia juga ingin membantu korban dan keluarganya mendapatkan kebenaran dan keadilan.
Ketika aku melihat wajahnya, aku hampir tidak percaya. Dia masih tampak tampan meskipun sudah tua. Matanya masih bersinar meskipun sudah berkerut. Senyumnya masih manis meskipun sudah beruban. Aku merasa seperti kembali ke masa lalu, ke masa ketika kami masih muda, masa-masa bahagia.
Dia mengenali aku seketika. Dia mendekatiku lalu menyapaku dengan hangat. Dia memelukku kemudian menangis, meminta maaf karena tidak bisa menyelamatkan Widji suamiku.
“Sulastri … aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi … kamu masih cantik seperti dulu,” ucapnya sambil memandangiku dengan penuh kasih.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku bingung, terharu, juga bahagia. Aku merasakan perasaan yang sudah lama hilang. Aku merasakan sesuatu yang hilang. Aku merasa hidup lagi.