Aku tidak pernah menyangka temanku yang sudah kuanggap seperti saudara kandungku sendiri bisa berubah menjadi orang yang sangat kejam. Dia orang yang selalu berdiri di sampingku, mendukungku, memberiku semangat saat aku lelah berjuang mengejar impianku menjadi seorang penulis. Dia juga selalu membaca cerpen-cerpen yang kutulis di blog itu kemudian memberikan komentar serta saran yang membangun untukku. Dia sering sekali menyuruhku untuk mengikuti berbagai lomba menulis yang ada di internet.
Mimpi itu sudah lama sekali aku kubur, kupendam sangat dalam. Dia yang membangkitkan mimpi itu kembali hidup setelah puluhan tahun terkubur, kini mimpi itu berlari mengejarku. Aku tidak mampu menghentikan laju imajinasi liar yang ada di kepalaku. Dia tahu itu, imajinasi yang membuncahkan pikiranku, hatiku serta aktifitasku.
"Ada lomba nih," sahutnya sambil menyodorkan ponselnya ke wajahku, "Lo harus ikut," lanjutnya sambil menunjukku.
"Enggak bisa, gue lagi sibuk di kantor," jawabku tanpa memperhatikan isi layar ponselnya.
"Yah, telat ... udah gue daftarin," ucapnya santai.
"Sinting lo, Nay ... gue enggak minta di daftarin," teriakku protes.
"Imajinasi liar lo itu harus dijinakkan dengan tulisan," jawabnya santai, ia beranjak dari tempat duduknya, mengibas-ngibaskan rambutku lalu pergi meninggalkanku sendiri di kafe ini.
Rina tahu, aku tidak akan marah, karena aku memang sangat senang menyalurkan imajinasiku ini melalui tulisan. Aku terima tantangan itu, aku ikuti lomba itu.
***
Namun, persahabatanku berubah seketika saat aku berhasil memenangkan lomba menulis yang paling bergengsi di Indonesia yang di daftarkan Nayla beberapa minggu yang lalu. Aku mendapatkan hadiah uang jutaan rupiah dan juga kesempatan untuk menerbitkan buku pertamaku. Tentu saja aku sangat senang dengan prestasi yang telah aku capai, aku juga berterima kasih kepada Tuhan atas karunia-Nya.