“Emily, apakah kamu dengar suara-suara aneh tadi malam?” kataku sambil mendorongnya saat ia tidak menanggapi kata-kataku.
“Suara apa? Dengkuranmu?” kata Emily menoleh ke arahku dengan tatapan bosan.
“Bagaimana aku tahu kalau aku tidur sambil mendengkur? Semua yang aku lakukan, selalu saja salah di matamu!” kataku melotot padanya dengan nada marah.
“Tenang, tenang. Aku hanya bercanda. Maaf ya.” Emily mencoba meredakan kemarahanku dengan senyuman manisnya.
“Aku tidak suka candaanmu. Kamu tahu kan kita sedang dalam misi berbahaya?” ujarku menghela napas dengan kesal.
“Ya, aku tahu. Tapi kita juga harus rileks sesekali, kita terlalu tegang dan cemas.” ledek Emily mengelus pundakku dengan lembut.
“Rileks? Bagaimana caranya rileks kalau kita harus mengawal orang gila itu?” Aku bersungut-sungut sambil menunjuk ke arah Snouck Hurgronje yang sedang bersiap-siap untuk berangkat.
Aku seorang prajurit Belanda yang ditugaskan untuk mengawal perjalanan Snouck Hurgronje, seorang sarjana Agama Islam yang menyamar sebagai Abdul Ghaffar al-Laydini. Aku tidak tahu apa tujuan sebenarnya dari misi ini, tetapi aku hanya menuruti perintah dari atasanku.
Aku mengikuti Snouck Hurgronje ke berbagai tempat di Aceh, mulai dari masjid hingga pesantren, dari hutan sampai pantai, dari gubuk bambu hingga rumah batu. Aku melihat bagaimana dia mempelajari kebudayaan juga agama di Aceh dengan penuh minat dan rasa hormat. Dia juga berinteraksi dengan para ulama serta pemimpin Aceh dengan sopan dan juga ramah. Dia bahkan belajar bahasa Aceh juga membaca kitab-kitab mereka.
Alih-alih mengawal, aku lebih sering jadikan seperti pembantu olehnya, mungkin karena aku berkulit hitam untunglah aku tidak sendiri dalam misi ini, aku ditemani oleh Emily.
“Orang gila? Dia kan seorang sarjana Agama Islam yang terkenal. Dia bisa membantu kita memahami Aceh lebih baik.” sahut Emily membela Snouck Hurgronje dengan rasa hormat.
“Sarjana agama Islam?” bantahku, “Ha! Dia lebih mirip mata-mata yang ingin menghancurkan Aceh dari dalam. Kamu lihat saja nanti, dia pasti akan mengkhianati kita semua.” kataku mengejek Snouck Hurgronje dengan nada sinis.
“Jangan bicara begitu. Dia adalah atasan kita. Kita harus menghormati dan melindungi dia.” balas Emily menegurku dengan tegas.
“Menghormati dan melindungi dia? kamu sebenarnya suka padanya kan?” tuduhku, aku merasa cemburu.
“Apa? Kamu gila? Aku tidak suka padanya. Aku hanya menjalankan tugas saja. Lagipula, dia sudah punya istri di Belanda.” Emily membantahku dengan nada kesal.
“Oh, begitu. Kalau begitu, kenapa kamu selalu dekat-dekat dengannya? Kenapa kamu selalu tersenyum-senyum padanya? Kenapa kamu selalu memujinya?” Aku menyindir Emily dengan pedas.
“Aku tidak pernah melakukan itu semua. Kamu yang salah paham. Kamu yang terlalu curiga. Kamu yang ...” Suara Emily terputus oleh suara Snouck Hurgronje yang memanggil kami dari kejauhan.
“Frank, Emily, ayo cepat! Kita harus segera berangkat! Hari ini kita akan bertemu dengan Teuku Umar!” teriak Snouck Hurgronje sangat antusias dari kejauhan.
Kami segera berlari menghampirinya, “Teuku Umar? Apa maksudmu Teuku Umar? Bukankah dia musuh kita yang paling berbahaya?” tanyaku kaget.
“Ya, dia memang musuh kita. Tapi dia juga teman baikku, Frank.” Snouck Hurgronje menepuk pundakku, “Aku sudah lama mengenal dia dan berhubungan baik dengannya. Aku yakin dia akan mau mendengarkan kata-kataku.” ucap Snouck Hurgronje menjelaskan pertanyaanku dengan percaya diri.
“Mendengarkan kata-katamu? Apa yang akan kamu katakan padanya? Apa yang akan kamu lakukan padanya?” tanyaku merasa curiga.
“Aku akan memberikan hadiah kepadanya. Sebuah hadiah yang akan mengakhiri perang ini. Sebuah hadiah yang akan membuat kita menang.” ucap Snouck Hurgronje sambil tersenyum dengan licik sambil membawa sebuah bungkusan.
“Hadiah? Hadiah apa?” tanya Emily penasaran dengan bungkusan itu.
“Kamu akan tahu nanti. Sekarang, ayo kita berangkat. Waktu tidak banyak lagi.” sahut Snouck Hurgronje sambil berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman depan rumah.
Aku melirik ke arah bungkusan berbentuk persegi yang di bungkus dengan kain itu, aku merasa curiga dengan isi di dalam kotak itu, beberapa hari ini ia selalu membicarakan tentang sebuah ledakan, aku yakin isi kotak itu adalah bom.
“Emily, aku tidak percaya padanya. Aku tidak suka dengan rencananya. Aku tidak mau ikut dengan dia.” Aku berbisik pada Emily merasa khawatir.
“Frank, aku juga tidak yakin dengan dia. Tapi kita tidak punya pilihan. Kita harus mengikuti perintahnya. Kita harus mengawalnya.” Emily berbisik balik padaku dengan perasaan ragu.
“Tidak, kita tidak harus. Kita bisa menolaknya. Kita bisa melawannya.” bisikku, “Kita bisa membantunya.” Aku menatap Emily dengan penuh harap.
“Membantunya? Membantu siapa?” Emily bingung dengan maksudku.
“Membantu Teuku Umar. Membantu rakyat Aceh. Membantu mereka yang berhak hidup dengan damai.” Aku menggenggam tangan Emily dengan erat.
“Frank, apa yang kamu katakan? Kamu sadar kan kita ini prajurit Belanda! Kamu sadar kan kita adalah musuh mereka? Kamu sadar kan kita akan mati jika kita melakukan itu?” Emily melepaskan genggaman Frank merasa takut.
“Aku sadar, Emily. Aku sadar semua yang aku katakan. Tapi aku juga sadar bahwa kita salah. Kita salah menginvasi tanah mereka. Kita salah menindas mereka. Kita salah telah membunuh saudara-saudara mereka.” Aku memegang wajah Emily dengan lembut.
“Frank, aku...” Emily terdiam karena ucapanku.
“Emily, aku mencintaimu. Aku mencintaimu sejak pertama kali aku melihatmu. Aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini. Aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri.” Aku mencium Emily dengan mesra.
“Frank, aku juga mencintaimu.” Emily membalas ciumanku dengan penuh cinta.
“Hei, kalian berdua! Apa yang kalian lakukan di sana? Jangan bercumbu-cumbuan di sini! Ini bukan tempatnya! Ayo cepat naik ke kendaraan! Kita harus segera berangkat!” Snouck Hurgronje memarahiku dan Emily.
“Sialan! Dia mengganggu kita lagi! Dia selalu mengganggu kita! Dia harus dihentikan! Dia harus dibunuh!” Aku mengutuk Snouck Hurgronje, aku sangat marah padanya.
“Frank, tenanglah. Jangan marah-marah. Jangan bicara begitu. Jangan lakukan sesuatu yang bodoh.” Emily menenangkanku dengan lembut.
“Emily, percayalah padaku. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh. Aku hanya akan melakukan sesuatu yang benar. Sesuatu yang harus kulakukan untuk kita berdua. Sesuatu yang akan membuat kita bahagia selamanya.” Aku memeluk Emily dengan erat.
“Frank, apa yang akan kamu lakukan? Apa yang kamu maksud? Katakan padaku, sayang...” Emily bertanya padaku dengan perasaan cemas.
“Aku akan menyelamatkan kita berdua. Aku akan menyelamatkan Aceh. Aku akan menyelamatkan dunia.” Aku menjawab pertanyaan Emily dengan tegas.
“Menyelamatkan? Bagaimana caranya?” tanya Emily merasa bingung dengan jawabanku.
“Aku akan mengambil bungkusan itu dari tangan Snouck Hurgronje. Aku akan melemparkannya jauh-jauh. Aku akan mencegah ledakan itu.” Aku berusaha menjelaskan rencanaku pada Emily
“Apa? Kamu gila? Itu sangat berbahaya! Kamu bisa mati!” Emily berteriak, ia merasa takut.
“Tidak apa-apa. Aku rela mati demi kamu. Demi Aceh. Demi dunia.” sahutku menenangkan Emily dengan lembut.
“Jangan bilang begitu. Jangan lakukan itu. Tolong, jangan tinggalkan aku sendiri.” pinta Emily merengek padaku dengan perasaan sedih.
“Maaf, Emily. Aku harus melakukannya. Ini satu-satunya cara. Ini pilihan yang terbaik.” Aku meminta maaf pada Emily, aku harap ia memaafkanku dengan ikhlas.
“Tidak, tidak, tidak! Aku tidak mau! Aku tidak setuju! Aku tidak rela!” Emily menolakku keras.
“Emily, aku mencintaimu. Selalu ingat itu. Selalu ingat aku. Selalu ingat kita.” Aku mencium Emily untuk yang terakhir kalinya.
“Frank, aku juga mencintaimu. Tapi jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Jangan buat aku kehilangan kamu.” Emily memelukku sangat erat.
“Hei, kalian berdua! Cukup sudah drama kalian! Ayo cepat naik mobil! Kita harus segera berangkat! Waktu kita tidak banyak lagi!” teriak Snouck Hurgronje memanggil kami berdua dengan perasaan kesal.
“Sialan! Dia mengganggu kita lagi! Dia selalu mengganggu kita! Dia harus dihentikan! Dia harus dibunuh!” Aku melepaskan pelukan Emily, aku segera berlari menuju Snouck Hurgronje yang sudah menungguku.
“Frank, tunggu! Jangan pergi! Jangan lakukan itu! Kembalilah ke sini!” teriak Emily sambil mengejarku panik.
Aku segera merebut bungkusan yang sedang ia pegang. “Apa? Apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu mau? Lepaskan tanganmu dari bungkusan itu!” bentaknya, ia kaget melihatku berlari mendekatinya dan merebut bungkusan itu dari tangannya.
“Bungkusan ini milikku sekarang!” teriakku, aku berhasil merebut bungkusan itu dari tangannya, “Bungkusan ini milik Aceh sekarang! Bungkusan ini milik dunia sekarang!” Aku merasa senang karena berhasil merebut bungkusan itu dari Snouck Hurgronje dan melemparkannya ke udara.
“Tidak, tidak, tidak! Kamu bodoh! Kamu gila! Kamu pengkhianat! Kamu akan membunuh kita semua!” Snouck Hurgronje berteriak padaku, wajahnya sangat marah dan juga ketakutan.
“Tidak, tidak! Kamu yang bodoh! Kamu yang gila! Kamu yang pengkhianat! Kamu membunuh rakyat Aceh!” Aku berteriak balik pada Snouck Hurgronje dengan perasaan marah dan juga merasa bangga.
“Tidak … Frank … jangan pergi! jangan tinggalkan aku, Frank! jangan buat aku kehilangan kamu!” Emily berteriak padaku, ia berlari ke arahku, terdengar sedih, namun sepertinya ia sangat mencintaiku.
“Boom!” Bom itu meledak dengan dahsyat dan menghancurkan segalanya.
-Tamat-
Iqbal Muchtar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H