***
"Halo, Rani. Ini aku, Tan Kian Lie. Aku ingin bicara denganmu." suara dari seberang sana.
"Apa? Kamu siapa? Bagaimana kamu bisa mendapatkan nomor teleponku?" tukasku.
"Jangan pura-pura tidak mengenalku, Rani. Kamu pasti masih ingat aku, kan? Aku adalah mantan bos dan mantan pacarmu yang dulu sangat kamu cintai." balasnya dengan nada sombong.
"Oh, itu kamu. Aku kira kamu sudah mati atau hilang. Sudah lama sekali aku tidak mendengar kabarmu. Apa yang kamu inginkan dariku?" kataku, aku malas berbasa basi dengannya.
"Aku ingin kembali bersamamu, Rani. Aku masih sayang padamu. Aku masih butuh kamu. Aku tidak bisa hidup tanpamu." Ia berusaha merayuku.
"Apa? Kamu gila, ya? Kamu pikir aku mau kembali bersamamu setelah apa yang kamu lakukan kepadaku? Kamu sudah menikah dan punya anak, tapi kamu tetap menggodaku dan bermain-main dengan perasaanku. Kamu sudah berbohong dan berkhianat kepadaku selama dua tahun. Kamu sudah mempermainkan dan menghancurkan hidupku." kataku kesal.
"Aku tahu, Rani. Aku tahu aku salah besar. Tapi, aku sangat menyesal. Aku ingin meminta maaf dan menebus kesalahanku. Aku ingin memulai semuanya dari awal denganmu." Ia seperti memelas
"Sudah terlambat, Tan Kian Lie. Kamu tidak bisa memperbaiki apa yang sudah rusak. Kamu tidak bisa menghapus apa yang sudah terjadi. Kamu tidak bisa mengubah apa yang sudah ditakdirkan." Kataku tegas.
"Jangan begitu, Rani. Jangan menolakku begitu saja. Beri aku kesempatan untuk membuktikan cintaku padamu. Beri aku kesempatan untuk membuatmu bahagia." Ia Kembali memelas.
"Aku sudah bahagia, Tan Kian Lie. Aku sudah bahagia bersama Radit, suamiku yang sekarang. Dia adalah pria yang jujur, setia, dan bertanggung jawab. Dia adalah pria yang mencintaiku dengan tulus, tanpa pamrih, dan tanpa syarat. Dia adalah pria yang bisa membuatku bahagia, tanpa harus memiliki banyak harta atau jabatan." Aku tidak akan memberikan hatiku untuknya.