Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Cahaya Melalui Ranting Kecil dari Dahan yang Patah

16 Agustus 2023   10:00 Diperbarui: 16 Agustus 2023   10:03 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar oleh Admiral General dari pexel.com

Matahari terbit dengan lembut di cakrawala, mengusir kegelapan dengan sinar lembayungnya. Warna jingga dan merah muda terlihat malu-malu menyapu langit seperti sapuan cat halus di atas kanvas. Cahaya matahari yang baru saja muncul memancar dengan kehangatannya, seperti belaian hangat pada wajah pagi yang dingin.

Cahaya matahari perlahan-lahan menyapu awan-awan dan mengungkapkan kerumunan siluet pepohonan yang berdiri tegak. Sinar matahari yang perlahan memasuki celah-celah daun memberikan sentuhan cahaya kehidupan pada alam yang masih terlelap. Sepertinya alam sedang berusaha membangunkan para penghuninya setelah beristirahat semalaman.

Ketika matahari semakin tinggi naik ke angkasa, sinarnya menjadi semakin terang dan kuat. Langit yang semula dilukis dengan warna-warna lembut perlahan-lahan berubah menjadi biru cerah yang memancarkan energi dan kehidupan. Rona oranye dan kuning yang melingkupi matahari seperti membawa pesan bahwa setiap awal adalah sebuah kesempatan untuk memulai kembali dan berkembang.

Aku bangun dari tidurku yang nyenyak dan merasakan semangat yang tumbuh di dalam diriku. Kupandangi jendela dari tendaku, pemandangan gunung yang menjulang tinggi terhampar di kejauhan. Aku merasa sepertinya hari ini petualangan besar sedang menantiku di luar sana.

Setelah sarapan pagi, aku bersiap untuk menjalani hari yang baru. Aku mengenakan jaket favoritku, menggemas tas ranselku, dan keluar dari tenda. Udara segar menusuk kulitku, dan bunyi burung-burung bernyanyi membuatku merasa hidup.

"Hari ini benar-benar indah, bukan?" Sahutku sambil tersenyum.

"Ya, betul sekali." Jawab radit, "Pemandangan gunung dan hutan ini sungguh menakjubkan." Lanjutnya, saat kami sedang menjelajahi hutan.

"Aku merasa begitu hidup saat ini." Teriakku, "Udara segar, bunyi burung-burung, semuanya begitu menenangkan."

"Udara di hutan memang berbeda. Sepertinya semua stres dan kekhawatiranku langsung hilang begitu saja." Ujar Radit sambil mengambil napas dalam-dalam.

Aku dan Radit menggeluti profesi yang jarang diminati oleh banyak fotografer, kami menyukai petualangan, kami adalah fotografer paruh waktu, hasil jepretan kami di nikmati oleh jutaan mata dalam tayangan-tayangan Discovery Channel yang mempersembahkan gambar-gambar luar biasa dari alam semesta yang luas, mulai dari lautan dalam hingga puncak gunung tertinggi. Cahaya matahari terbit di atas padang savana, cahaya bulan menerangi hutan malam, dan cahaya bintang-bintang yang menghiasi langit malam, semuanya aku tangkap dengan detail menggunakan lensa kameraku. Jutaan mata aku ajak mengelilingi planet ini, menggali dasar laut yang gelap, dan menyaksikan fenomena alam yang luar biasa.

Namun, profesi ini juga mengajarkan aku bahwa petualangan tidak selalu berjalan mulus. Aku harus bersiap menghadapi tantangan cuaca yang tak terduga, peralatan yang bermasalah, dan medan yang menantang. Tapi inilah yang membuat setiap perjalanan menjadi pengalaman yang berharga dan berkesan.

"Radit... Lihat!" teriakku. Saat matahari merayap ke atas cakrawala, aku merasa kagum oleh perubahan warna langit yang lembut. Aku sibuk mengatur setelan kamera, mencoba menangkap keindahan itu dengan akurat. Ketika sinar matahari pertama kali menyentuh bumi, aku merasakan keajaiban yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku berusaha untuk mengambil gambar yang bisa menghantarkan orang lain ke tempat yang sama dalam pikiran mereka.

"Kamu akan foto?" Tanya Radit.

"Tentu saja! Aku ingin menangkap momen ini dengan sempurna." Jawabku.

"Tapi cahayanya begitu kontras, apakah tidak kesulitan mengatur setelan kameranya?" Tanya Radit.

"Iya, kamu benar Dit. Tapi itulah yang membuatnya menarik. Aku akan mencoba mengatur tingkat kecerahan cahaya agar warna langit dan cahaya matahari terlihat seimbang." Ujarku ketika aku sedang sibuk mengatur kameraku.

"Sepertinya cukup rumit."

"Memang agak rumit, tapi aku menikmatinya. Ini seperti menciptakan lukisan hidup dengan bantuan kamera."

"Setiap kali aku melihat matahari dalam situasi seperti ini aku selalu merasa terkagum-kagum dengan keindahan alam seperti ini, sebuah momen yang sangat indah sekali." Ia menatap matahari yang bersinar itu dengan penuh rasa kagum, aku melihat tatapan mata kekaguman yang membuatku semakin cinta padamu.

Setelah puas bermain dengan kamera, kumasukan kamera itu kedalam ranselku, aku bersiap untuk melanjutkan perjalananku, namun ada satu hal mengganjal di hatiku, aku ingin membicarakannya, namun aku masih menanti waktu yang tepat.

"Radit..."

"Ya." Ia menoleh ke arahku.

"Aku ingin berhenti berpetualang." Kutatap matanya dalam-dalam.

"Kenapa... ini semua keinginanmu." Balasnya.

"Hei, Lihat bunga merah itu." Teriakku, Tiba-tiba, mataku tertuju pada bunga liar yang berwarna merah terang di tepi jalan setapak. Aku berlari ke arahnya, membungkuk mendekatinya, aku merasa terpesona oleh keindahannya, setidaknya aku terbius oleh keindahan bunga untuk saat ini. Aku merasa seperti menemukan harta karun di tengah hutan ini. Aku mengeluarkan kamera dari tas ranselku yang baru saja aku kemas setelah mengambil beberapa gambar matahari tadi dan mengambil beberapa foto bunga itu sebagai kenang-kenangan.

"Bunga apa ini?" Tanya Radit yang juga ikut berlari mendekati bunga itu.

"Entahlah, sepertinya Anggrek hutan, namun yang ini berwarna merah, sungguh indah sekali." Jawabku, sembari mengabadikannya dalam jepretanku.

Waktu berlalu begitu cepat, matahari sudah berada di posisi tengah langit. Aku perutku sudah mulai keroncongan, jadi aku makan bekal yang kubawa sambil duduk di bawah pohon rindang. Aku merasa begitu bersyukur bisa merasakan momen seperti ini, bersatu dengan alam dan menjauh sejenak dari hiruk-pikuk kota.

Setelah makan siang, aku melanjutkan perjalananku. Aku mencapai puncak bukit kecil yang menawarkan pemandangan spektakuler. Aku duduk di sana, memandangi lembah yang hijau dan pepohonan yang bergoyang-goyang oleh angin sepoi-sepoi. Aku merenung tentang hidup, tujuan, dan mimpi-mimpi yang ingin kucapai.

"Radit, apakah kamu pernah berfikir untuk berhenti bertualang?" Tanyaku ketika kami sedang beristirahat di atas bukit.

"Kamu bercanda kan Nala?"

"Radit, aku ingin berhenti."

"Nala... apapun keinginanmu aku akan selalu mendukungmu."

"Aku dulu begitu terobsesi menjelajahi tempat-tempat baru, mengalami hal-hal yang berbeda. Tapi sekarang, ada perasaan hampa dalam jiwaku. Aku juga merasa jenuh dengan tekanan untuk selalu memiliki cerita-cerita menarik untuk diceritakan melalui foto-fotoku. Seperti aku harus selalu berada di tempat-tempat yang spektakuler."

"Mungkin kamu perlu istirahat." Jawab Radit sambil merangkulku dan merebahkan kepalau dipundaknya.

"Bukan, bukan istirahat Radit." Balasku segera.

"Lantas, apa?"

"Keluarga, sebuah keluarga yang utuh, kamu, aku dan anak-anak kita." Aku mengangkat kepalaku dari bahunya, "Kita menetap di satu tempat, jauh dari kebisingan kota, mungkin di desa atau mungkin di hutan, kemana saja kamu bawa aku pergi, aku ikut dan juga anak-anak kita" Lanjutku.

"Tujuh tahun sudah kita menikah, selama itu pula semua tempat-tempat yang mengagumkan sudah kita jelajahi, mungkin sudah saatnya kita bertualang dengan cara yang baru, bertualang dengan keluarga kecil kita, anak-anak kita, aku setuju denganmu Nala, sudah saatnya kita pulang ke rumah" Ujar Radit.

"Terima kasih Radit" Aku memeluknya, "Aku mencintaimu dari ketinggian 300 meter di atas permukaan laut." Aku menatapnya dengan penuh rasa cinta yang sangat dalam, kata cinta yang kami ciptakan bersama, diatas ketinggian itu kami mengucap janji bersama.

"Aku mencintaimu dari kedalamam 300 meter di bawah permukaan air laut" Balasnya.

Kami duduk di sana, bercakap-cakap tentang petualangan kami, serta rencana di masa depan, dan juga banyak hal-hal yang telah kami pelajari dari perjalanan ini. Petualangan ini memang memiliki beberapa tantangan, baik yang fisik maupun dalam hal komunikasi, namun itulah yang membuatnya begitu berharga. Petualangan berikutnya adalah keluarga kecilku.

Sore hari mulai menjelang, dan aku memutuskan untuk kembali pulang. Meskipun perjalanan ini berakhir, aku merasa telah mendapatkan begitu banyak hal. Aku merasa lebih terhubung dengan alam, dan juga suamiku Radit, aku menjadi lebih terinspirasi untuk mengejar impian, dan lebih bersyukur atas setiap momen yang diberikan kepadaku.

Saat matahari terbenam di cakrawala, aku tiba di tenda dengan hati yang penuh dengan kebahagiaan. Hari ini adalah petualangan yang takkan pernah kulupakan, dan aku tahu bahwa masih banyak petualangan menanti di masa depan. Dengan penuh semangat, aku siap untuk menjalani setiap hari dengan rasa syukur dan cinta di dalam kehidupanku.

***

"Bunda..."

"Bunda..." Teriak anakku berlari menghampiriku, usianya kini sudah 5 tahun.

"Ada apa sayang." Tanyaku ketika aku sedang menjemur pakaian di halaman belakang.

"Lihat hasil fotoku." teriaknya.

"Wah... bagus sekali foto ini." Ujarku, memuji hasil karya anakku di atas kertas kecil yang ia gambar menggunakan krayon.

"Ayah, lihat nih foto Kayla." Aku memanggil Radit yang sedang sibuk dengan tulisannya, ia menulis sebuah buku tentang kisah perjalanannya menembus awan di atas gunung tenggelam di dasar laut yang kelam yang kini sudah lanjutan yang ketiga.

"Keren... Kayla mau bertualang sama Ayah, Bunda?" Tanya Radit.

"Mau..." teriaknya,

Kami pun tertawa bersama, mungkin suatu saat nanti kami akan mencari cahaya melalui ranting kecil dari dahan yang patah.

-TAMAT-

Iqbal Muchtar    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun