Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rinduku Untukmu Bersemayam di Antara Hujan

14 Agustus 2023   09:00 Diperbarui: 14 Agustus 2023   09:02 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetesan-tetesan hujan jatuh dengan lembut, seolah-olah dunia ingin berbicara langsung padaku. Aku merasakan sentuhan dinginnya saat mereka menyentuh kulitku, memberikan sensasi yang segar dan menyejukkan. Suara gemercik hujan di atap memberikan irama yang tenang, seolah-olah alam sedang berbicara dalam bahasa rahasia dan hanya aku yang mengerti.

“Aduh, jangan mandi hujan nak, nanti kamu sakit.” Sahut ibu ketika mendapatiku dalam kondisi basah kuyup.

“Ga apa-apa ma, udah lama juga ngak main hujan.” Jawabku, segera berlari ke kamar.

Aku senang duduk di jendela dengan secangkir kopi hangat di tangan ketika hujan turun sambil memandangi tetesan-tetesan hujan yang bermain-main di jendela. Air mengalir seperti tarian tak terlihat, membentuk pola-pola unik dan kadang-kadang bertabrakan, seakan mengadu siapa yang bisa menari dengan lebih indah. Aku merenung, membiarkan pikiranku terbawa jauh oleh keindahan simponi merdu yang sederhana ini.

Terkadang, hujan datang dengan lebat, menimbulkan suara berdenting di atap dan jalan-jalan. Aku menyukai semua hal tentang hujan, karena ia dapat merubah pemandangan di luar jendela dalam seketika. Daun-daun pohon menjadi lebih hijau dan segar, berkilauan oleh tetesan-tetesan air. Jalanan menjadi berkilauan, mencerminkan cahaya lampu jalan, dan memberikan nuansa romantis pada suasana malam.

Tapi ada juga hujan yang lembut dan pelan, hampir seperti bisikan. Aku merasakan bagaimana hujan ini meresapi tanah, memberinya kehidupan baru. Aku sering membayangkan bagaimana tetesan-tetesan ini menghidupkan bunga-bunga dan tanaman di luar sana. Mereka seolah-olah mendapat sentuhan ajaib yang membuat mereka tumbuh dengan lebih kuat dan indah.

Hujan juga memiliki kekuatan untuk membawa kenangan. Aku teringat saat-saat ketika aku kecil, bermain di taman saat hujan turun. Sensasi air yang mengenai wajahku, suara langkahku yang meninggalkan jejak di tanah basah, semuanya masih terasa begitu nyata. Hujan mengingatkanku akan momen-momen indah yang telah terlewati, hujan mengajarkanku untuk menghargai waktu yang terus bergerak setiap detik dalam hidupku.

Saat ini aku duduk di dekat jendela, memandangi tetesan-tetesan hujan yang turun dengan lembut. Suara rintik-rintik hujan di kaca seolah-olah menggambarkan detak jantungku yang berdebar-debar. Di dalam hatiku, ada perasaan rindu yang begitu kuat.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Aku mengambilnya dan melihat namamu di layar. Hatiku berdegup lebih cepat, aku takut untuk menjawab panggilanmu. Akhirnya, dengan napas berat, aku menerima panggilan itu.

"Halo…?" kataku dengan suara sedikit gemetar.

"Hai," jawabmu dari seberang sana. Suaramu terdengar seolah-olah kamu juga merasakan perasaan yang sama.

Aku merasa senang dan sedih ketika mendengar suaramu secara bersamaan. "Apa kabarmu?" Tanyaku.

"Baik. Aku hanya merindukanmu, terutama saat hujan begini."

Aku bisa merasakan getaran emosi dalam kata-katamu. Hujan memang selalu mengingatkanku pada momen-momen indah yang pernah kita lewati bersama, puisi-puisi yang kamu kirim ketika hujan, perjalanan pulang kuliah di atas motor dan kehujanan, semua kenangan itu tertuju kepadamu. "Aku juga merindukanmu," akhirnya aku mengatakannya dengan jujur.

Kami berdua terdiam sejenak, seperti mencoba merasakan perasaan yang terbawa oleh suara hujan yang turun di kedua sisi telepon. Namun, ada keheningan yang penuh dengan pertanyaan yang tak terucap di antara kita.

"Aku tahu dan tolong jawab dengan jujur, apa yang kamu pikirkan tentang kita?" kataku akhirnya dengan ragu.

Kamu terdengar ragu juga, seolah-olah mempertimbangkan kata-kata yang akan kamu ucapkan. "Aku merasa... kita punya banyak kenangan indah bersama. Tapi, ada banyak juga hal-hal yang belum bisa terungkap dan diungkapkan, terutama sebelum perpisahan itu."

Aku menggigit bibirku, perasaan penyesalan itu muncul lagi menjalar di hatiku. "Aku tahu, dan aku menyesal tidak mengatakannya sebelum kita berpisah. Ada banyak hal yang ingin aku ungkapkan padamu."

"Hujan ini membuat perasaan itu semakin kuat, bukan?"

Aku mengangguk, meskipun aku tahu kamu tak dapat melihat gerakan itu. "Ya, benar sekali. Aku berharap kita bisa bertemu lagi, kita bicara, dan kita mencari solusi dari semua perasaan yang masih tertinggal di antara kita."

Kami pun terdiam lagi, tetesan hujan yang menggemercik di jendela kamarku itu sepertinya juga ikut berbicara atas nama perasaan kami yang rumit.

"Apa kamu pernah terpikir untuk balikan?" tanyaku akhirnya dengan suara lembut.

Kamu terdengar ragu, kemudian menjawab, "Aku tidak tahu. Tapi aku ingin mencoba memahami perasaanku ini lebih dalam lagi."

Percakapan kita ini menghasilkan perasan tentang harapan dan juga keraguan yang bercampur aduk di dalam diriku. Hujan di luar sana tampaknya juga menjadi saksi bisu atas perasaan yang tengah kami jelajahi. Meskipun ada perdebatan di antara kami, tapi aku merasa masih ada peluang untuk kita menemukan solusi untuk segalanya.

"Aku ingin minta maaf," kataku dengan tulus. "Aku menyesal, karena tidak pernah mengungkapkan perasaanku sebelum kita berpisah. Ada banyak hal yang aku pikirkan dan ingin kusampaikan padamu."

Kamu mendengarkan, aku dapat membayangkan ekspresi seriusmu itu, tatapan mata itu, dan aku bisa merasakan saat ini kamu sedang mencari kata-kata konyol untuk membuatku tertawa, itu yang biasa kita lakukan dulu.

“Radit…” Ia terlalu lama diam, aku memanggilmu.

“Ya…”

“Apakah kamu rindu?”

Rindu…” Ujarnya, “Aku rindu Hujan.”

“Aku pun rindu, ada banyak belum sempat aku sampaikan, aku ingin bertemu.” Balasku segera ketika ia mengatakan kata itu. Rinduku ini seperti angin sepoi-sepoi yang menyapu hati, membawa aroma kenangan yang membangkitkan kembali momen-momen berharga bersamanya. Ia adalah nostalgia yang terasa begitu nyata, menghadirkan kembali senyum, tawa, dan percakapan dalam bayangan mata. Suara-suara yang pernah terdengar, senyum-senyum yang pernah diberikan, semuanya menjadi hidup kembali dalam sorotan rindu bersama alunan lembut dari suara hujan.

“Radit… aku ingin bertemu.” Sahutku lirih.

“Hujan…”

“Hujan…” Ibu menepuk pundakku dan juga memelukku, kulihat air mata berkubang di kelopak matanya yang telah keriput itu.

Mama… kenapa?” Tanyaku.

“Radit telepon aku ma.” Aku berusaha membuat Mama senang, ketika saat itu aku mengenalkan Radit, Mama sempat berkata kalau radit adalah pemuda yang baik, aku senang Mama sependapat denganku.

“Hujan…” Suara tangisan Mama semakin menjadi-jadi, air mata itu kini tumpah-ruah membanjiri pipinya yang tak lagi merah merona. Suara tangisan Mama yang berpadu dengan suara hujan membuat suasana kamarku semakin suram.

Kulihat Bi Ira berlari masuk kedalam kamarku, yang aku heran mengapa ia selalu mengenakan baju dan celana berwana putih setiap hari, ia menghampiri Mama dan berusaha mengajaknya keluar kamar, aku masih ingin berbicara dengan Radit di telepon.

“Mama…” Aku memanggilnya, “Mama bicara sama Radit ya.” Pintaku agar Mama tidak sedih.

“Hujan… ini sisir nak.” Teriak Mama, “Ini sisir pemberian Radit, Nak.”

“Ayo bu, kita sebaiknya keluar saja.” Ujar Bi Ira yang menggiring Mama keluar kamarku. “Maaf bu, sejak awal masuk ke sini Hujan selalu bicara tentang Radit, siapa Radit.” lanjutnya, aku mendengar percakapan mereka, aku ingin menjelaskan ketika Bi Ira menanyakannya.

“Radit adalah tunangan Hujan, dia seorang prajurit yang sangat gagah, ia seorang pahlawan bagi negeri ini.” Sahut Mama kepada Bi Ira yang sedang duduk di depan kamar, suara mereka terdengar sangat jelas sekali, meskipun hujan tetap berbisik.

“Lalu kemana Radit?” Tanya Bi Ira.

“Ia gugur dalam tugas, ketika terjadi pemberontakan, sekelompok pemberontak yang ingin memisahkan diri dari negara ini,” Kata Mama. “Hari itu dia sedang tidak bertugas, dia akan pulang untuk persiapan pernikahan dengan Hujan” Kulihat Mama kembali menangis.

Mendengar Mama berbicara dengan Bi ira tentang Radit, aku sadar “Aku dimana?”, siapa yang sedang berbicara dengan Mama, sepertinya dia seorang suster, aku menoleh ke sekeliling kamarku, kulihat hujan menari-nari di jendela kamar itu.

“Radit…” Aku menatap hujan turun dengan lembut, seperti air mata yang jatuh dari langit yang menyayat hati. Setiap tetesan hujan seolah-olah adalah refleksi dari perasaan dalam diri yang terluka dan terpisah. Suara gemercik hujan di jendela mengingatkan aku pada isakan yang terdengar dalam keheningan malam.

Aroma hujan yang membasahi tanah yang tercium terbawa oleh angin memberikan nuansa yang seirama dengan perasaan ini. Semua terasa muram dan hampa, seperti hujan yang juga merasuki jiwa dengan kelemahan dan kesendirian.

Pemandangan di luar jendela tampak pudar, diwarnai oleh buramnya warna abu-abu dan biru gelap. Seperti perasaan yang tengah menggelayuit hatiku, hujan juga mengubah dunia menjadi lebih suram, merangkul kesedihan yang ada.

“Radit… aku rindu.”

Saat kami berdua berjalan di bawah hujan, aku tahu bahwa langkah kisah kami akan membentuk jejak dari tanah basah yang merupakan bagian dari kisah perjalan kami, yang takdirnya akan ditulis oleh perasaan, pertemuan, dan keputusan kami sendiri, meskipun tidak selalu cerah, namun kita masih bisa menemukan keindahan dalam setiap rintikannya.

-TAMAT-

Iqbal Muchtar

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun