“Ia gugur dalam tugas, ketika terjadi pemberontakan, sekelompok pemberontak yang ingin memisahkan diri dari negara ini,” Kata Mama. “Hari itu dia sedang tidak bertugas, dia akan pulang untuk persiapan pernikahan dengan Hujan” Kulihat Mama kembali menangis.
Mendengar Mama berbicara dengan Bi ira tentang Radit, aku sadar “Aku dimana?”, siapa yang sedang berbicara dengan Mama, sepertinya dia seorang suster, aku menoleh ke sekeliling kamarku, kulihat hujan menari-nari di jendela kamar itu.
“Radit…” Aku menatap hujan turun dengan lembut, seperti air mata yang jatuh dari langit yang menyayat hati. Setiap tetesan hujan seolah-olah adalah refleksi dari perasaan dalam diri yang terluka dan terpisah. Suara gemercik hujan di jendela mengingatkan aku pada isakan yang terdengar dalam keheningan malam.
Aroma hujan yang membasahi tanah yang tercium terbawa oleh angin memberikan nuansa yang seirama dengan perasaan ini. Semua terasa muram dan hampa, seperti hujan yang juga merasuki jiwa dengan kelemahan dan kesendirian.
Pemandangan di luar jendela tampak pudar, diwarnai oleh buramnya warna abu-abu dan biru gelap. Seperti perasaan yang tengah menggelayuit hatiku, hujan juga mengubah dunia menjadi lebih suram, merangkul kesedihan yang ada.
“Radit… aku rindu.”
Saat kami berdua berjalan di bawah hujan, aku tahu bahwa langkah kisah kami akan membentuk jejak dari tanah basah yang merupakan bagian dari kisah perjalan kami, yang takdirnya akan ditulis oleh perasaan, pertemuan, dan keputusan kami sendiri, meskipun tidak selalu cerah, namun kita masih bisa menemukan keindahan dalam setiap rintikannya.
-TAMAT-
Iqbal Muchtar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H