"Apa kamu pernah terpikir untuk balikan?" tanyaku akhirnya dengan suara lembut.
Kamu terdengar ragu, kemudian menjawab, "Aku tidak tahu. Tapi aku ingin mencoba memahami perasaanku ini lebih dalam lagi."
Percakapan kita ini menghasilkan perasan tentang harapan dan juga keraguan yang bercampur aduk di dalam diriku. Hujan di luar sana tampaknya juga menjadi saksi bisu atas perasaan yang tengah kami jelajahi. Meskipun ada perdebatan di antara kami, tapi aku merasa masih ada peluang untuk kita menemukan solusi untuk segalanya.
"Aku ingin minta maaf," kataku dengan tulus. "Aku menyesal, karena tidak pernah mengungkapkan perasaanku sebelum kita berpisah. Ada banyak hal yang aku pikirkan dan ingin kusampaikan padamu."
Kamu mendengarkan, aku dapat membayangkan ekspresi seriusmu itu, tatapan mata itu, dan aku bisa merasakan saat ini kamu sedang mencari kata-kata konyol untuk membuatku tertawa, itu yang biasa kita lakukan dulu.
“Radit…” Ia terlalu lama diam, aku memanggilmu.
“Ya…”
“Apakah kamu rindu?”
“Rindu…” Ujarnya, “Aku rindu Hujan.”
“Aku pun rindu, ada banyak belum sempat aku sampaikan, aku ingin bertemu.” Balasku segera ketika ia mengatakan kata itu. Rinduku ini seperti angin sepoi-sepoi yang menyapu hati, membawa aroma kenangan yang membangkitkan kembali momen-momen berharga bersamanya. Ia adalah nostalgia yang terasa begitu nyata, menghadirkan kembali senyum, tawa, dan percakapan dalam bayangan mata. Suara-suara yang pernah terdengar, senyum-senyum yang pernah diberikan, semuanya menjadi hidup kembali dalam sorotan rindu bersama alunan lembut dari suara hujan.
“Radit… aku ingin bertemu.” Sahutku lirih.