"Hai," jawabmu dari seberang sana. Suaramu terdengar seolah-olah kamu juga merasakan perasaan yang sama.
Aku merasa senang dan sedih ketika mendengar suaramu secara bersamaan. "Apa kabarmu?" Tanyaku.
"Baik. Aku hanya merindukanmu, terutama saat hujan begini."
Aku bisa merasakan getaran emosi dalam kata-katamu. Hujan memang selalu mengingatkanku pada momen-momen indah yang pernah kita lewati bersama, puisi-puisi yang kamu kirim ketika hujan, perjalanan pulang kuliah di atas motor dan kehujanan, semua kenangan itu tertuju kepadamu. "Aku juga merindukanmu," akhirnya aku mengatakannya dengan jujur.
Kami berdua terdiam sejenak, seperti mencoba merasakan perasaan yang terbawa oleh suara hujan yang turun di kedua sisi telepon. Namun, ada keheningan yang penuh dengan pertanyaan yang tak terucap di antara kita.
"Aku tahu dan tolong jawab dengan jujur, apa yang kamu pikirkan tentang kita?" kataku akhirnya dengan ragu.
Kamu terdengar ragu juga, seolah-olah mempertimbangkan kata-kata yang akan kamu ucapkan. "Aku merasa... kita punya banyak kenangan indah bersama. Tapi, ada banyak juga hal-hal yang belum bisa terungkap dan diungkapkan, terutama sebelum perpisahan itu."
Aku menggigit bibirku, perasaan penyesalan itu muncul lagi menjalar di hatiku. "Aku tahu, dan aku menyesal tidak mengatakannya sebelum kita berpisah. Ada banyak hal yang ingin aku ungkapkan padamu."
"Hujan ini membuat perasaan itu semakin kuat, bukan?"
Aku mengangguk, meskipun aku tahu kamu tak dapat melihat gerakan itu. "Ya, benar sekali. Aku berharap kita bisa bertemu lagi, kita bicara, dan kita mencari solusi dari semua perasaan yang masih tertinggal di antara kita."
Kami pun terdiam lagi, tetesan hujan yang menggemercik di jendela kamarku itu sepertinya juga ikut berbicara atas nama perasaan kami yang rumit.