Pagi itu sungguh cerah, secerah hatiku yang sedang berjalan-jalan di taman kota yang indah. Taman ini selalu menjadi tempatku untuk merenung, menemukan inspirasi, sambil menghirup udara segar. Hari itu, ada sebuah pameran seni yang menarik perhatianku. Aku sangat senang sekali melihat lukisan-lukisan yang dipajang di sana, seorang pelukis telah mengalihkan pandanganku.
Ia seorang seniman dengan bakat yang sangat luar biasa. Melihat lukisan-lukisannya, seolah goresan warna dari cat air itu berbicara padaku mengenai perasaan dan juga pesan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Aku merasa terhubung dengan lukisan-lukisan itu.
Ketika aku sedang mengamati lukisan itu, tanpa sengaja aku menabrak punggung seseorang, hampir saja aku terjatuh. Ternyata Nayla, ia terlihat terkejut, tapi kemudian berubah menjadi senyuman ramah ketika aku meminta maaf.
"Aku sangat menyukai karyamu. Bagaimana kamu bisa menggambarkan perasaan seperti itu di kanvas ini?" Ucapku, mencoba memulai percakapan.
"Terima kasih, aku hanya mencoba mengungkapkan imajinasi perasaanku melalui lukisan," Jawab Nayla dengan senyum tulus di wajahnya.
Sejak saat itu, kami sering bertemu di taman itu. Aku senang menemani Nayla saat dia melukis, dan dia juga senang mendengar cerita-cerita yang aku tulis. Kami berbagi tentang mimpi dan harapan, dan seiring berjalannya waktu, aku merasa semakin dekat dengannya.
Tiap kali kami bersama, aku merasa dunia di sekitarku berhenti berputar. Ada perasaan hangat di dalam dadaku setiap kali aku bersamanya. Aku menyukai segala hal tentang Nayla, dari senyumnya yang indah hingga cara dia menghargai seni dan kreativitas, hingga cara pandangnya tentang dunia, kami menyatukan mimpi bersama dalam ikatan pernikahan.
Belakangan ini, Nayla mengalami perubahan keinginan yang luar biasa, kata ibuku istriku ngidam, anak pertamaku didalam rahimnya. Ngidam Nayla sangat unik. Setiap hari, dia memiliki hastrat ngidam yang selalu berubah-ubah membuatku sedikit kewalahan mencarikan apa yang ia inginkan. Keinginan itu seringkali sulit diprediksi, aku kadang merasa bingung mencari cara untuk memuaskan hasratnya.
Dari ngidam es krim rasa cokelat dengan saus pedas hingga burger dengan selai kacang dan saus tomat, Nayla memiliki selera makan yang berubah-ubah dengan cepat. Bagiku, keinginan dari istri tercinta adalah sebuah tantangan baru dalam mengarungi bahtera pernikahan, tapi aku senang melakukannya karena tahu bahwa semua itu untuk kesehatan dan kebahagiaan sang calon buah hati dan tentu saja istriku tercinta.
Kemarin ia ingin memeluk seekor domba yang dia lihat ketika kami sedang dalam perjanan untuk berlibur. Domba itu sangat lucu dengan bulu putihnya yang lembut. Aku berusaha mencari domba yang mirip dengan yang Nayla lihat, tetapi sulit menemukannya. Akhirnya, aku bertanya kepada peternak domba di sekitar desa tempat kami berlibur yang memiliki domba dengan ciri-ciri yang hampir sama. Peternak itu bersedia mengizinkan Nayla memeluk dombanya, Nayla terlihat sangat bahagia karena keinginannya tercapai.
Kali ini, dia ingin menonton bintang jatuh di langit malam. Aku mengajaknya ke sebuah villa yang berada di desa terpencil, langit malam di sana sangat indah karena tidak terhalang oleh gedung-gedung tinggi seperti di kota. Namun, saat itu langit tiba-tiba mendung tanpa bintang, apa lagi bintang jatuh. Aku merasa khawatir karena tak mungkin bisa memenuhi keinginannya, aku tidak ingin Nayla kecewa. Sebagai gantinya, aku mencari di internet sebuah video hujan bintang dan menayangkannya di layar TV. Aku melihat raut wajah senang itu, hanya 2 menit ia menggantinya dengan Ratatouille, aku melihatnya sedang nyaman berbaring di sofa yang hangat, kuputuskan untuk berbaring disampingnya, aku sudah lelah hari ini, mataku terasa berat sekali.
"Radit..."
"Radit bangun," Nayla membangunkanku, ia menarik rambutku persis seperti adegan tikus di dalam film Ratatouille.
"Nayla, ini masih jam satu," Kulihat jam yang melingkar di tanganku.
"Bangun... aku mau makan," Teriak Nayla yang duduk dipunggunku dengan menarik-narik rambutku dengan kedua tanggannya.
"Kita pulang ke kota aja ya, cari makan di jalan," Ajakku.
"Ngak... Radit harus masak..." Pintanya, dengan menarik-narik rambutku.
"Hah..." Aku terkejut dan kebingungan mata ku terbelalak lebar, rasa kantukku hilang seketika, aku bukan chef, masak telor dadar saja hangus.
"Ayo... cepet," Nayla menarik-narik rambut ku, menyuruhku bangun.
"Iya... iya..." Aku bergegas bangun.
Kami menuju dapur dan melihat ke dalam kulkas, pemilik villa ini menyediakan beberapa jenis sayuran, kol, wotel, kentang.
"Kita mau masak apa?" tanyaku bingung.
"Cucinare la zuppa" Ia berakting seperti chef ala italia.
"Nay... aku gak tahu cara masak sup!" Aku berusaha meyakinkan Nayla, aku takut ia muntah setelah makan masakanku.
Ia berusaha meraih rambutku dari belakang, namun karena perutnya yang semakin membesar ia kesulitan meraihnya, aku menoleh, terlihat lucu sekali, istriku sangat menggemaskan.
"Ngak nyampe nih!" Tukasnya kesal. Ia tidak kehabisan akal, kali ini pinggangku yang jadi sasarannya.
"Aduh..." Nayla mencubit pinggangku.
"Nah... ini berfungsi dengan baik," Ucapnya setelah mencubit pinggangku. Wajahnya yang cantik menyelinap dipundak kiriku.
"Ayo ambil semua sayuran itu, potong-potong," Persis seperti adegan film Ratatouille, ketika Remi si tikus itu memerintah Alfredo untuk memotong sayuran dan memasukan semua bumbu-bumbu kedalam sup.
Aku menuruti semua perintahnya, sudah pasti pinggangku biru karena cubitannya, tidak masalah bagiku. Rasanya seperti menjadi chef, memotong-motong sayuran dengan penuh semangat. "Lebih kecil lagi, sayang," ucapnya sambil memberikan senyum manis yang menghanyutkan tidak lupa cubitan itu.
Canda dan tawa terdengar menggema di dapur. Ketika Nayla mencicipi kuah sup yang kuolah, tiba-tiba wajahnya berubah karena rasanya tidak enak. Kami berdua tertawa, dan tak ada yang bisa menandingi kebahagiaan kami saat bersama.
"Kurang garem," sahutnya. Aku segera menuang garam kedalam sup.
Setelah bersama-sama menciptakan hidangan yang lezat dan menyusun harmoni dalam setiap potongan sayuran, akhirnya sup pun sudah jadi. Aroma hangatnya menyebar di seluruh dapur, mengundang selera untuk segera mencicipi kelezatannya.
Kami berdua duduk di meja makan yang sudah kami siapkan persis seperti restoran di film itu. Suasana di sekitar penuh dengan kebahagiaan dan kehangatan. Tidak hanya sekadar makanan yang mengisi piring-piring itu tetapi juga kebersamaan dan canda tawa yang melimpah.
Kami mengisi piring kami dengan sup yang baru saja aku masak dengan penuh cinta. Setiap suapan rasanya begitu istimewa, sup itu menjadi pelengkap perasaan kami.
"Questa zuppa deliziosa," kali ini ia berlagak seperti pelanggan restoran yang sedang memuji chef kesayangannya, sambil mengecup jarinya.
Senyumku semakin lebar mendengar pujian darinya. Hidup ini begitu indah ketika aku berada di sampingnya. Ia adalah segalanya bagiku, kekasih sejati yang membuat hidup ini berarti.
Kami berdua duduk di sofa setelah selesai makan. Sambil menikmati secangkir teh hangat, kami berbicara tentang impian dan harapan kami untuk masa depan. Kehidupan ini, seperti sup yang kami masak bersama, terus berwarna dan penuh dengan kehangatan cinta.
Di malam yang penuh kedamaian ini, kami saling berpelukan erat, menikmati kehadiran satu sama lain. Setiap momen yang kami lewati bersama adalah bagian dari kisah cinta kami yang takkan pernah pudar. Kehangatan cinta kami menjadi sup pelipur lara dalam perjalanan hidup yang kami jalani bersama, dalam satu ikatan yang tak terpisahkan.
"Radit..."
"Mmmm...." Aku sangat lelah setelah seharian mengikuti keinginannya.
"Pulang yuk," aku mau makan kue pancong.
Mendengar itu, aku pura-pura pingsan dengan menjatuhkan tubuhku di pundaknya. Adegan Remi si tikus masih saja berlaku, pinggangku menjadi sasaran cubitannya.
-TAMAT-
Iqbal Muchtar
#HUTKOMIK9
#LombaBlogKomik
#Ngidam
#Film
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H