Banyak kisah pemimpin hebat yang sering terdengar sehingga mampu menginspirasi langkah gerak banyak orang. Entah, kharisma yang dia tunjukkan, sikap yang dia tampakkan, ataupun bagaimana cara dia memimpin. Namun, saya sedikit banyak akan berbagi mengenai sebuah perspektif saya tentang memimpin.
Dimulai dengan pertanyaan: WHY?
Apa yang akan kita lakukan ketika kita ingin berbuat suatu hal?
Membuat kerangka berpikir? Mencari inspirasi dari banyak orang? Ataupun membaca teks dari berbagai sumber?
Terinspirasi dari buku Start With Why karya Simon Sinek, saya sering memulai suatu hal, bahkan dalam hal memimpin, dengan suatu pertanyaan: mengapa (why).
Kebanyakan orang ketika dia ingin berbuat suatu hal, mereka lebih sering memulai dengan membuat pertanyaan "apa". Tentu hal ini tidaklah salah, terlebih ketika dengan membawa pertanyaan "apa", mereka banyak bertanya kepada siapapun baik ke manusia lainnya yang mereka anggap memiliki kapasitas lebih, ataupun kepada sumber informasi seperti buku dan kanal internet. Dahulu, saya pun sering berbuat demikian dan ketika mencapai titik jenuh akibat tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan dari kata "apa" saya pun mencari bentuk pertanyaan lain, yaitu "mengapa".
Sering juga kita melihat para pembicara dalam suatu pertemuan menyuarakan soal kepemimpinan dengan motivasi dan arahan yang terbilang cukup tinggi, dan jujur saya cukup mual mendengarnya. Mengapa demikian? Karena mereka memberikan satu hal sama yang cukup sering saya dengar yaitu:
"Kalo orang lain bisa, kenapa kamu engga?"
"Kalian sama-sama makan nasi kenapa kamu tidak bisa sementara orang lain bisa"
Atau bahkan, satu perkataan ini:
"Hal paling awal untuk memimpin adalah memimpin diri sendiri."
Loh bukankah itu benar? Ya, memang mungkin benar, namun terlepas dari benar ataupun salah, bagi saya sepertinya itu masih belum cukup tepat.
Maka saya coba mencari perspektif baru dengan pertanyaan: mengapa?
Mengapa dahulu seorang Hitler yang tidak memiliki banyak pengalaman militer namun mampu menguasai ranah politik negaranya, memegang kuasa militer bahkan menggerakkan perekonomian Jerman menjadi lebih maju pasca keruntuhan ekonomi di Perang Dunia I?
Mengapa Samuel Pierpont Langley di awal tahun 1900-an dengan berbagai banyak akses, dana dan sumber daya yang dia miliki tidak berhasil menciptakan gebrakan besar dan kalah pamor dibandingkan dengan Wright bersaudara?
Ataupun hal kecil seperti:
Mengapa ketika kita yang memiliki waktu yang sama luang, latar belakang pendidikan yang sama, guru yang sama, ataupun bahkan nilai yang sama namun masih sering kali tertinggal dengan teman sekelas kita dahulu?
Atau,
Mengapa ketika kita membaca buku yang sama namun pemahaman kita dengan orang lain justru berbeda?
Dengan pertanyaan "mengapa" saya tak hanya mengetahui hakikat suatu hal ataupun fenomena, namun saya juga mengetahui alasan dari suatu hal, dan ini menurut saya cukup memuaskan sebagai langkah awal saya memimpin suatu kelompok atau bahkan diri sendiri.
Ketika saya melihat beberapa individu yang saya pimpin memiliki permasalahan, saya tak hanya bertanya "apa yang kamu alami?", namun saya lebih sering menanyakan "mengapa kamu mengalami ini?".
Sama hal nya ketika saya akan diberitahukan sebuah tanggung jawab, saya tak lagi bertanya "Apa tanggung jawabnya?", namun saya bertanya "Mengapa tanggung jawab ini diberikan ke saya dan mengapa saya yang harus mengerjakan tanggung jawab tersebut?". Dari pertanyaan tersebut, saya mampu memandang lebih luas tentang suatu hal dan tak terbatas pada pemahaman diri sendiri yang memiliki banyak keterbatasan.
Menyadari Keterbatasan Individu
Sebelum beranjak pada tahap menjadi pemimpin, dengan berbekal pertanyaan "mengapa?", sebetulnya secara tidak langsung kita sadar bahwa individu kita yang terbatas. Hal inilah yang membuat saya merasa mual dengan pertanyaan dan pernyataan di atas yaitu:
"Kalo orang lain bisa, kenapa kamu engga?"
"Kalian sama-sama makan nasi kenapa kamu tidak bisa sementara orang lain bisa"
Sebagai manusia, apakah kita sebetulnya selalu mampu untuk berbuat semua hal? Saya rasa tidak. Sekalipun sering kita dengar bahwa manusia hanya menggunakan 10% dari keseluruhan kemampuan dan potensinya, namun tetap saja kita memiliki banyak keterbatasan.
Kita, adalah keterbatasan itu sendiri dan hal inilah yang membuat kita tidak mampu melakukan semua hal.
Lantas apakah itu berarti buruk? Saya rasa tidak.
Ketika kita memahami keterbatasan kita, maka kita sebetulnya mampu untuk memaksimalkan kemampuan yang kita miliki. Ketika ternyata kita tidak mahir dalam olahraga, ternyata kita mampu memiliki kelebihan di bidang lain, akademik contohnya. Coba kita buat analogi seperti ini:
Burung merpati bisa terbang, ketika dia dipaksa berenang, dia pun enggan ya karena dia memiliki sayap dan bukan sirip, sehingga dipaksa sekalipun akan mustahil bagaimanapun dia mencoba hal tersebut. Namun ketika dia menyadari keterbatasannya, maka dia akan berlatih kemampuan yang dia miliki sehingga sangat mahir dalam kemampuan terbang di langit.
Lantas, apakah dengan pengetahuan akan keterbatasan tadi kita menjadi membatasi diri sendiri untuk melakukan suatu hal?
Tentu, kuncinya adalah mengenali diri sendiri. Dengan mengenali diri sendiri kita menjadi memahami bahwa kita sekalipun memiliki keterbatasan atas suatu hal namun kita juga menyadari kelebihan dalam suatu hal lainnya. Dan ketika kita memahami kelebihan di hal lain kita beranjak pada bagaimana mengasah kelebihan tersebut menjadi suatu hal yang dominan bahkan sebuah karakter dalam diri sendiri. Hal ini menjadi penting karena bagaimana kita bisa mengenali orang lain yang memiliki karakteristik abstrak sebelum kita mengenali diri sendiri.
Lantas, apa hubungannya dengan memimpin?
Memimpin bagi saya adalah sebuah seni dalam berpikir, bersikap dan berbuat dalam mengorganisir diri sendiri ataupun orang lain secara luas. Dan bentuk awal mengorganisir diri sendiri dan orang lain adalah dengan proses mengenali karakteristik abstrak dari setiap apapun yang kita pimpin, termasuk keterbatasan diri sendiri dan orang lain.
Dari pemahaman tersebut, kita mampu menyebar pekerjaan yang sesuai dengan pemahaman keterbatasan yang ada di setiap individu, sehingga hasil yang didapat dapat maksimal karena telah disesuaikan dengan kemampuan masing-masing individu tadi.
Memimpin adalah Proses Berbagi
Setelah mengetahui tentang mengapa dan keterbatasan, kita beranjak pada apa yang terjadi ketika memimpin?
"Hal paling awal untuk memimpin adalah memimpin diri sendiri."
Sebuah pernyataan yang cukup sering terdengar bukan? Saya, orang yang tidak sepakat atas hal tersebut.
Bagi saya, memimpin adalah proses berbagi. Hal yang paling awal dengan berbekal pertanyaan mengapa, saya menyadari keterbatasan dan proses pengenalan. Maka, bagi saya untuk ranah diri sendiri adalah mengenali diri sendiri dan dalam prosesnya, dijalankan secara bersamaan, memimpin diri sendiri sekaligus memimpin orang lain.
Mengapa demikian? Karena dari proses memimpin orang lain saya menyadari betapa bodohnya saya dalam memimpin diri sendiri, dan dari kekurangan tersebut, saya menciptakan berbagai perubahan dalam kepemimpinan di diri saya, begitu pula sebaliknya ketika saya menyadari bahwa gaya kepemimpinan saya dirasa kurang tepat kepada orang lain, saya akan berkaca pada diri saya dan saya mengaplikasikan kepemimpinan di diri saya yang dirasa cukup berhasil kepada orang lain.
Karena, saya percaya sebetulnya kita banyak tumbuh besar dari cerita orang lain. Cerita hebat, cerita sedih, cerita atas amarah, cerita tentang mengenali dan cerita tentang memimpin. Dan sudah barang tentu ketika kita memimpin kitalah orang yang diceritakan sekaligus menceritakan, kitalah yang berbagi sekaligus dibagikan. Karena kita sejatinya bukanlah orang yang lebih pintar atas orang lain sekalipun orang tersebut telah kita pimpin. Ketika kehidupan adalah sebuah pembelajaran, maka memimpin adalah salah satu tema pembelajaran yang kita ambil dalam kehidupan kita.
Memimpin adalah Kutukan
Apakah setiap hal hebat dalam memimpin adalah sebuah keberuntungan? Segala hal yang dianggap mewah oleh sebagian besar orang yang dirasakan oleh pemimpin adalah suatu anugerah? Saya rasa tidak.
Ketika memimpin, sering kali kita dihadapkan pada kehormatan, harta, sanjungan dan pujian dari orang lain. Apakah itu sebetulnya nikmat? Saya sendiri adalah orang yang menganggap hal itu sebagai kutukan. Suatu hal yang membuat mual bahkan muntah ketika kita mendapatkan hal tersebut.
Bayangkan, ketika kita memimpin dan tidak mampu memuaskan segala kepercayaan yang dilimpahkan kepada kita? Pasti penuh akan segala hal cacian, makian dan hinaan yang tumbuh dan terlempar kepada kita. Karena ketika memimpin kita tak mampu untuk menghalangi segala lampu yang tersorot kepada kita, dan setiap gerak gerik kita pun akan diperhatikan oleh semua orang. Hal inilah yang sebetulnya mencabut segala kebebasan kita sendiri sekalipun kita menjadi pemimpin yang tidak memiliki moral dan kepedulian, sudah tentu segala sorotan tetap datang menghampiri.
Lantas, kutukan tersebut membuat kita enggan menjadi pemimpin. Ibarat badai yang pasti reda dan sinar hangat menjalari tanah, kutukan tersebut saya anggap sebagai sebuah harapan. Harapan ketika dengan segala tekanan yang datang, kita sebetulnya telah bertumbuh, belajar dan menjadi tahapan yang lebih baik. Kita bertumbuh dari sebuah benih yang belum mampu memberikan banyak manfaat menjadi sebuah pohon besar dengan sejuta manfaat. Kita belajar dari segala hal yang kita sebelumnya tidak mengetahui, menjadi mendapat pengetahuan setelah kita belajar dari segala dinamika dan proses yang kita jalani. Begitu juga dengan beranjak pada tahapan yang lebih baik, dibandingkan berbicara benar dan salah yang begitu abstrak, saya lebih senang berbicara mengenai baik buruk yang dimana setelah menjalani proses memimpin kita mampu memahami bagaimana baik dan buruknya sebuah pemikiran, perkataan dan perbuatan kita saat memimpin serta mampu mengevaluasi dari aktivitas memimpin kita yang sudah tentu berdampak bagi diri sendiri dan orang lain.
Ya, memimpin adalah kutukan dan kutukan adalah sebuah harapan, maka memimpin adalah menjadi harapan bagi diri sendiri dan juga orang lain!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H