Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Kurniawan
Muhammad Iqbal Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Political Science Student | Hanya seorang pembelajar | Sangat terbuka atas kritik dan saran terhadap tulisan-tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UU Cipta Kerja sebagai Sebuah Kebijakan Publik

28 Desember 2020   09:54 Diperbarui: 28 Desember 2020   10:08 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stakeholders diartikan sebagai mereka (pihak-pihak) yang memengaruhi ataupun dipengaruhi (dampak) oleh kebijakan ataupun keputusan yang diambil oleh pembuat kebijakan (Freeman, 1984). Dari sekian banyak teori mengenai analisis stakeholders dalam suatu kebijakan, penulis memilih pemikiran David Viney sebagai rujukan. 

Menurut David Viney (2004), kita dapat menganalisis peran stakeholders dengan, yang pertama, menetapkan apa saja pengaruh dan kepentingan dari stakeholders yang bersangkutan. Serta, yang kedua, melihat kesepakatan dan komitmen dari stakeholders yang bersangkutan terhadap suatu kebijakan. Dalam bagian ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan mulai dari; siapa saja stakeholders yang, agaknya, terlibat; apa pengaruh dan kepentingan dari masing-masing stakeholders terhadap adanya beleid ini; dan, apa kesepakatan dari masing-masing stakeholders yang terlibat dalam beleid ini.

Untuk mengetahui siapa saja stakeholders yang terlibat dalam perumusan beleid ini, kita perlu tahu terlebih dahulu bahwa dalam perumusan suatu kebijakan, ada dua kelompok besar aktor yang berperan. Pertama, yaitu aktor pemerintah. Kedua, aktor non-pemerintah. Aktor pemerintah di sini ialah, legislatif, eksekutif, instansi administratif, dan lembaga peradilan. Sementara aktor non-pemerintah ialah kelompok kepentingan, partai politik, dan warga negara individu. 

Legislatif berperan sebagai pembentuk peraturan beleid UU Cipta Kerja ini, dalam hal ini ialah DPR. Eksekutif, selain sebagai persetujuan kebijakan, juga dapat berperan sebagai aktor paling penting dalam pembentukan UU ini. Dalam hal pembentukan UU Ciptaker ini, Presiden merupakan aktor eksekutif-nya. 

Lembaga peradilan berperan sebagai penguji beleid ini (tentunya ketika sudah diundangkan)---dalam hal ini ialah MK. Instansi administratif dewasa ini juga dapat ambil peran dalam perumusan suatu kebijakan. Dalam hal ini, kementerian terkait adalah aktor-nya. 

Pada aktor non-pemerintah, kelompok kepentingan berperan sebagai pemberi dukungan ataupun tuntutan terhadap beleid ini. KADIN, kelompok-kelompok pengusaha, serikat pekerja/buruh, kelompok lingkungan, hingga kelompok "cukong" Sumber Daya Alam (SDA) dapat dikategorikan sebagai kelompok kepentingan tersebut. 

Partai politik berperan sebagai pengusul atau bahkan pemberi alternatif kebijakan. Kemampuan partai politik untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok membuatnya memiliki posisi tawar yang cukup besar dalam mengusulkan kebijakan. Terakhir, warga individu berperan sebagai bagian yang wajib didengar oleh pejabat publik dalam membuat keputusan, karena kebijakan dari pemerintah melalui beleid Ciptaker ini tentunya akan berdampak langsung kepada warga individu itu sendiri.

Menurut berbagai sumber, pemerintah mengklaim telah mengikut sertakan berbagai stakeholders yang memiliki kepentingan dalam perumusan UU Ciptaker ini. Menaker, Kemenkumham, Anggota DPR, Panja DPR, kompak mengatakan kepada media bahwa dalam proses penyusunannya, DPR telah meminta berbagai pendapat kelompok, termasuk kelompok serikat buruh. 

Namun, di sisi lain, banyak kalangan akademisi yang justru merasa tidak dilibatkan. Zainal Arifin Mochtar misalnya, mengatakan kepada Kompas.com (Ihsan, 2020) bahwa akademisi "tidak dapat mengakses sama sekali". Selain itu, ia juga mengatakan bahwa proses perumusan ini kurang melibatkan peran stakeholders di dalamnya. Sehingga, rumusan beleid ini, sudah bermasalah sejak proses.

Kesimpulan

Polemik UU Cipta Kerja ini tentunya sangat menyita perhatian publik. Pemantik soal apa yang sebenarnya salah di beleid ini? Substansi atau penyampaian? Menjadikan polemik ini menarik untuk dibahas. Evaluasi kebijakan publik tentunya memiliki ruang dan peran yang begitu besar dalam mengkoreksi rumusan ini. Apabila kita melihat dari tiga tahapan, beleid ini memang baru sampai pada tahap perumusan kebijakan. Beleid ini belum memasuki tahap implementasi (sebelum sah menjadi UU No. 11/2020). Namun, proses evaluasi perumusan penting kehadirannya untuk menjawab pertanyaan di awal paragraf ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun