Evaluasi Kebijakan: Sekilas Teori dan Penting Kehadirannya
Dalam sebuah kebijakan publik, ada tiga tahapan yang harus dilalui. Yaitu, perencanaan ataupun perumusan model kebijakan publik, implementasi kebijakan, dan yang terakhir evaluasi kebijakan. Pada kesempatan ini, kita akan melihat soal evaluasi kebijakan. Evaluasi merupakan salah satu bagian dari proses pembuatan kebijakan publik yang penting dan tidak boleh untuk terlewatkan. Ia hadir sebagai sebuah bagian dari kesatuan besar kebijakan publik. Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat membuahkan hasil, yaitu dengan tujuan atau target kebijakan publik yang ditentukan (Widodo, 2008).
Pentingnya kehadiran sebuah evaluasi dalam kebijakan publik karena, tidak bisa kita pungkiri, tahapan evaluasi ini sering terabaikan. Kebijakan publik terkadang hanya sebatas implementasi kebijakan. Padahal fungsi kehadiran evaluasi kebijakan publik yang pertama dan paling utama ialah untuk memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat melalui tindakan publik (Dunn, 2003).Â
Intinya, kehadiran evaluasi dibutuhkan untuk melihat: bagaimana realitas program; berbagai dampak dari kemunculan kebijakan, seperti dampak yang diinginkan/ tidak diinginkan, dampak terhadap masa depan, dampak langsung/tidak langsung; dsb. Perlu diingat bahwa evaluasi kebijakan publik bukan hanya dilakukan di bagian paling akhir. Setiap proses kebijakan publik---perumusan model, implementasi, dan bahkan evaluasi kebijakan publik itu sendiri---haruslah melaksanakan evaluasi di dalamnya. Proses perumusan harus dievaluasi. Begitu pula dengan proses implementasi, dan bahkan proses mengevaluasi itu sendiri.
Dalam kasus yang akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan masyarakat, yaitu UU Cipta Kerja, evaluasi dapat dilakukan dengan melihat dampak yang ada. Memang, beleid ini belum sepenuhnya diimplementasikan kepada publik, tetapi evaluasi kebijakan dapat masuk pada bagian untuk melihat dampak yang terjadi di masyarakat sekarang, selama proses perumusan.Â
Adanya dampak yang tak diinginkan---seperti ide Anderson---yang dapat kita lihat ditengah-tengah masyarakat sekarang menunjukkan bahwa evaluasi kebijakan harus hadir untuk menelitinya. Demonstrasi---yang mana penulis klasifikasikan sebagai dampak yang tak diinginkan tadi---di hampir seluruh penjuru negeri meninggalkan pertanyaan, "apa yang salah di beleid ini?". Untuk itu, sudah barang tentu hal ini sangat membutuhkan kehadiran evaluasi kebijakan publik di dalamnya.Â
Polemik UU Cipta Kerja dan Respon Masyarakat. Substansi atau Penyampaian?Â
Polemik Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menjadi suatu isu yang cukup menyita perhatian publik selama kurang lebih satu tahun ini. Semenjak pemerintah mengumumkan bahwa akan menciptakan suatu produk Undang-undang modelan omnibus law pada awal-awal masa pemerintahan 2019-2024, masyarakat memberikan respon yang beragam.Â
Ada kelompok yang mendukung, ada pula yang menolak. Pada kesempatan kali ini, kita tidak akan membahas lebih lanjut soal apa yang mendasari pemikiran pro-kontra dari kedua kubu masyarakat ini. Fokus penulis pada kali ini ialah soal kenyataan bahwa adanya respon masyarakat yang beragam terkait beleid ini. Apa yang menyebabkan masyarakat bereaksi? Soal substansi dalam beleid ini? Atau, hanya soal penyampaian komunikasi politik dari pemerintah?
Sebelum terjun lebih dalam, penulis ingin menyampaikan hipotesis menurut pandangan penulis terkait reaksi masyarakat ini. Kombinasi antara kesalahan 'cara penyampaian' dan 'isi' dari beleid ini yang menyebabkan ragam reaksi. Jikalau penulis diizinkan untuk beranalogi, penulis akan mengatakan bahwa beleid ini bermasalah 60% secara penyampaian, dan 40% sisanya soal isi/substansi. Agaknya pandangan penulis memang berbeda dengan perspektif publik kebanyakan, yang mengatakan bahwa reaksi masyarakat terhadap beleid ini murni karena substansi. Penulis pun sejatinya setuju akan anggapan itu.Â
Akan tetapi, menurut penulis, porsi terbesar permasalahan yang sebenarnya adalah pada komunikasi politik pemerintah. Untuk itu dalam bagian ini, penulis hanya akan fokus kepada porsi cara penyampaian dari pemerintahnya sahaja. Penulis menganggap setuju terhadap segala opini publik ataupun kelompok yang mengkritik keras beleid ini soal substansi. Soal pesangon, berbagai hak pekerja, kerusakan lingkungan, dan banyak lagi kritik terhadap substansi beleid ini dari masyarakat tidak akan penulis jabarkan dalam bagian kedua esai ini. Pada akhirnya, izinkan penulis mengulas sedikit demi sedikit soal---yang mana menurut penulis---kesalahan komunikasi politik pemerintah atas beleid ini.
Komunikasi politik, dalam konteks situasi negara yang demokratis, adalah segala bentuk komunikasi yang dilakukan politisi dan aktor politik lainnya untuk mencapai tujuan tertentu (McNair, 2011). Dalam kasus UU Ciptaker ini, Presiden, DPR, dan Menteri terkait bisa dikatakan sebagai aktor politik yang berhak (dan bahkan mungkin wajib) untuk menyampaikan maksud dan tujuan dari adanya perumusan beleid ini di parlemen kepada publik.Â
Apabila kita melihat pada konteks kepemimpinan politik, komunikasi politik ini wajib dilakukan untuk menjaga kelangsungan kepemimpinan seorang pemimpin politik (Indrananto, 2012). Namun, kita tidak akan membahas soal konteks kepemimpinan politik. Kita akan fokus membahas soal kenyataan bahwa komunikasi politik yang dilakukan oleh pimpinan/aktor politik atas adanya perumusan UU Ciptaker ini penting kehadirannya untuk memperjelas motif dibalik adanya beleid ini kepada publik (masyarakat).
Kenapa penulis menilai komunikasi politik pemerintah atas kasus UU Ciptaker ini bermasalah? Karena, menurut penulis, kita tidak bisa memungkiri bahwa adanya reaksi yang cenderung ke arah penolakan dari masyarakat, salah satunya, adalah karena adanya trust yang lemah dari masyarakat terhadap pemerintah itu sendiri.Â
Sederhananya, ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah adalah salah satu faktor yang membuat masyarakat bereaksi di hampir seluruh penjuru negeri. Apabila masyarakat sudah memiliki political trust yang kuat terhadap pemerintah yang sedang menjalankan pemerintahan, maka penulis memiliki keyakinan bahwa tidak mungkin respon keras dengan kecenderungan penolakan ini terjadi di tengah-tengah masyarakat, bahkan sekali lagi, di hampir seluruh penjuru negeri. Memang, survei baru-baru ini menyebutkan bahwa 68 persen masyarakat masih percaya kepada Presiden---sebagai orang nomor satu yang menjalankan pemerintahan (Al-Qodariah, 2020).Â
Akan tetapi, kepuasan publik yang dibawah 50 persen membuat kondisi ini perlu diwaspadai, atau bahkan dipertanyakan. Masyarakat percaya, tetapi tidak puas. Menurut penulis, kepercayaan ini adalah kepercayaan yang sifatnya lemah. Bukan bermaksud menantang hasil survei. Akan tetapi, akan lebih baik jikalau kepercayaan masyarakat sama tingginya dengan tingkat kepuasaan masyarakat. Agar posisi trust-nya bisa kita kategorikan trust yang kuat. Ketika trust dari masyarakat sifatnya kuat, bukan hanya minim penolakan, namun bahkan masyarakat itu sendiri yang akan tegak berdiri pasang badan untuk bersama-sama dengan pemerintah mewujudkan tujuan tersebut.
Akar ketidak percayaan publik terhadap pemerintah bisa dilihat dalam berbagai area; masyarakat yang merasa bahwa politisi atau public officials sering menggunakan kekuasaan mereka untuk membesarkan nama; masyarakat merasa tidak terhubung dengan pemerintah; masyarakat yang merasa bahwa pemerintah tidak cakap; sistem pemerintahan yang lemah atau malfunctioning; melemahnya kondisi sosial ataupun ekonomi; kebencian terhadap skandal politik; birokrat yang inkompeten; dsb (Kim, 2010).Â
Menurut pandangan penulis, banyaknya isu-isu politik yang dihadapi bangsa ini belakangan adalah salah satu yang membuat trust dari masyarakat tadi melemah, sehingga masyarakat tidak bisa sepenuhnya mendukung segala yang digaungkan pemerintah soal kebijakan, khususnya soal gaung beleid Cipta Kerja ini.Â
Adanya isu soal dinasti politik, pembungkaman mereka yang berbeda pandangan dengan pemerintah, kementerian (bc:menteri) yang tidak cakap dalam menangani persoalan, resesi ekonomi, skandal politik di timur Indonesia, isu pejabat pemerintahan yang seolah seperti bagi-bagi kue, kementerian yang tidak menangani persoalan yang masuk dalam cakupan bidangnya, dan masih banyak lagi isu-isu politik membuat masyarakat akhirnya bertanya-tanya dalam kepala mereka: adakah yang salah dalam pemerintahan ini? Haruskah saya sepenuhnya percaya terhadap pemerintahan ini? Sehingga, bisa kita lihat kecenderungan dukungan dari masyarakat melemah. Alhasil, demonstrasi dan penolakan terhadap berbagai kebijakan pemerintah, khususnya UU Ciptaker, menjadi eksis di dalam negeri ini.
Untuk itulah komunikasi politik yang baik dan cakap dari pemerintah penting kehadirannya. Ketika trust dari masyarakat melemah, ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat hal tersebut menjadi kuat. Salah satunya dengan komunikasi politik. Selama masih ada penolakan besar-besaran, maka salama itu pula lah penulis meyakini ada yang salah dengan komunikasi politik pemerintah negeri ini. Intinya, ketika kepercayaan masyarakat melemah, maka kehadiran pemerintah untuk meyakinkan masyarakat melalui komunikasi politik yang baik dan cakap diperlukan.
Stakeholders yang Terlibat. Kaitannya dengan Teori Aktor Politik dalam Penentuan Kebijakan
Polemik beleid UU Ciptaker ini pun menjadi pembahasan menarik apabila kita melihat dari aktor politik yang berperan di belakang perumusannya. Akan tetapi, bukan hanya aktor politik yang memiliki peran di belakang perumusan sebuah kebijakan. Stakeholders selain aktor politik terkadang juga mempengaruhi sebuah pembentukan kebijakan.Â
Stakeholders diartikan sebagai mereka (pihak-pihak) yang memengaruhi ataupun dipengaruhi (dampak) oleh kebijakan ataupun keputusan yang diambil oleh pembuat kebijakan (Freeman, 1984). Dari sekian banyak teori mengenai analisis stakeholders dalam suatu kebijakan, penulis memilih pemikiran David Viney sebagai rujukan.Â
Menurut David Viney (2004), kita dapat menganalisis peran stakeholders dengan, yang pertama, menetapkan apa saja pengaruh dan kepentingan dari stakeholders yang bersangkutan. Serta, yang kedua, melihat kesepakatan dan komitmen dari stakeholders yang bersangkutan terhadap suatu kebijakan. Dalam bagian ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan mulai dari; siapa saja stakeholders yang, agaknya, terlibat; apa pengaruh dan kepentingan dari masing-masing stakeholders terhadap adanya beleid ini; dan, apa kesepakatan dari masing-masing stakeholders yang terlibat dalam beleid ini.
Untuk mengetahui siapa saja stakeholders yang terlibat dalam perumusan beleid ini, kita perlu tahu terlebih dahulu bahwa dalam perumusan suatu kebijakan, ada dua kelompok besar aktor yang berperan. Pertama, yaitu aktor pemerintah. Kedua, aktor non-pemerintah. Aktor pemerintah di sini ialah, legislatif, eksekutif, instansi administratif, dan lembaga peradilan. Sementara aktor non-pemerintah ialah kelompok kepentingan, partai politik, dan warga negara individu.Â
Legislatif berperan sebagai pembentuk peraturan beleid UU Cipta Kerja ini, dalam hal ini ialah DPR. Eksekutif, selain sebagai persetujuan kebijakan, juga dapat berperan sebagai aktor paling penting dalam pembentukan UU ini. Dalam hal pembentukan UU Ciptaker ini, Presiden merupakan aktor eksekutif-nya.Â
Lembaga peradilan berperan sebagai penguji beleid ini (tentunya ketika sudah diundangkan)---dalam hal ini ialah MK. Instansi administratif dewasa ini juga dapat ambil peran dalam perumusan suatu kebijakan. Dalam hal ini, kementerian terkait adalah aktor-nya.Â
Pada aktor non-pemerintah, kelompok kepentingan berperan sebagai pemberi dukungan ataupun tuntutan terhadap beleid ini. KADIN, kelompok-kelompok pengusaha, serikat pekerja/buruh, kelompok lingkungan, hingga kelompok "cukong" Sumber Daya Alam (SDA) dapat dikategorikan sebagai kelompok kepentingan tersebut.Â
Partai politik berperan sebagai pengusul atau bahkan pemberi alternatif kebijakan. Kemampuan partai politik untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok membuatnya memiliki posisi tawar yang cukup besar dalam mengusulkan kebijakan. Terakhir, warga individu berperan sebagai bagian yang wajib didengar oleh pejabat publik dalam membuat keputusan, karena kebijakan dari pemerintah melalui beleid Ciptaker ini tentunya akan berdampak langsung kepada warga individu itu sendiri.
Menurut berbagai sumber, pemerintah mengklaim telah mengikut sertakan berbagai stakeholders yang memiliki kepentingan dalam perumusan UU Ciptaker ini. Menaker, Kemenkumham, Anggota DPR, Panja DPR, kompak mengatakan kepada media bahwa dalam proses penyusunannya, DPR telah meminta berbagai pendapat kelompok, termasuk kelompok serikat buruh.Â
Namun, di sisi lain, banyak kalangan akademisi yang justru merasa tidak dilibatkan. Zainal Arifin Mochtar misalnya, mengatakan kepada Kompas.com (Ihsan, 2020) bahwa akademisi "tidak dapat mengakses sama sekali". Selain itu, ia juga mengatakan bahwa proses perumusan ini kurang melibatkan peran stakeholders di dalamnya. Sehingga, rumusan beleid ini, sudah bermasalah sejak proses.
Kesimpulan
Polemik UU Cipta Kerja ini tentunya sangat menyita perhatian publik. Pemantik soal apa yang sebenarnya salah di beleid ini? Substansi atau penyampaian? Menjadikan polemik ini menarik untuk dibahas. Evaluasi kebijakan publik tentunya memiliki ruang dan peran yang begitu besar dalam mengkoreksi rumusan ini. Apabila kita melihat dari tiga tahapan, beleid ini memang baru sampai pada tahap perumusan kebijakan. Beleid ini belum memasuki tahap implementasi (sebelum sah menjadi UU No. 11/2020). Namun, proses evaluasi perumusan penting kehadirannya untuk menjawab pertanyaan di awal paragraf ini.
Menurut penulis, salah satu masalah terbesar adalah pada kenyataan bahwa, komunikasi politik ataupun penyampaian dari pemerintah atas keharusan adanya perumusan Undang-undang ini kurang begitu baik. Ditambah, adanya kecenderungan trust yang melemah dari masyarakat kepada pemerintah membuat reaksi masyarakat akan kehadiran rumusan beleid ini menjadi begitu keras.Â
Pemerintah seharusnya tidak boleh jumawa bertepuk dada merasa bahwa seluruh lapisan masyarakat pasti akan mendukung setiap output yang dibuatnya. Pemerintah seharusnya waspada dengan menyadari bahwa kondisi masyarakat sekarang adalah melemahnya trust tadi. Sehingga, memperbaikinya adalah dengan cara membuat masyarakat yakin terhadap keputusan pemerintah untuk mengeluarkan UU Ciptaker ini. Tentunya, melalui komunikasi politik yang baik dan meyakinkan.Â
Terkait stakeholders yang terlibat, penulis tidak ingin berasumsi ada pihak-pihak yang 'memesan' beleid ini di parlemen. Klaim dari pemerintah mengatakan bahwa stakeholders yang terlibat sudah komprehensif. Kelompok pengusaha, dilibatkan sama kuat dengan kelompok serikat pekerja/buruh. Kelompok investor dilibatkan sama kuat dengan kelompok masyarakat atau akademisi.Â
Sehingga, secara kasat mata, menurut penulis, sedikit sulit untuk menilai stakeholders mana yang paling diuntungkan dengan kehadiran beleid ini. Adanya tarik ulur kebenaran (elacticity of reality) membuat masyarakat, terlebih penulis, kesulitan untuk menilai. Untuk itu, penulis menyimpulkan, stakeholders yang terlibat---dan diuntungkan---dalam kasus beleid UU Ciptaker ini tidak dapat dilihat secara kasat mata.
Daftar Pustaka
Al-Qodariah, F. (2020, October 21). Kepuasan Publik ke Jokowi di Bawah 50 Persen, Mahfud MD: Tingkat Kepercayaan Masih Tinggi. Retrieved from pikiran-rakyat.com: https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01855826/kepuasan-publik-ke-jokowi-di-bawah-50-persen-mahfud-md-tingkat-kepercayaan-masih-tinggi
Dunn, W. N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS.
Freeman, R. E. (1984). Strategic Management. A Stakeholder Approach. Massachusetss: Pitman Publishing Inc.
Ihsan, D. (2020, October 07). Pengesahan UU Cipta Kerja, Akademisi: Pemerintah dan DPR Tak Transparan. Retrieved from kompas.com: https://www.kompas.com/edu/read/2020/10/07/202124771/pengesahan-uu-cipta-kerja-akademisi-pemerintah-dan-dpr-tak-transparan
Indrananto, C. (2012). Dramaturgi dalam Komunikasi Politik Walikota Solo Joko Widodo. Jurnal Komunikasi Indonesia, 31.
Kim, P. S. (2010). Building Trust by Improving Governance: Searching for A Feasible Way for Developing Countries. Public Administration Quarterly, Vol. 34, 272-274.
McNair, B. (2011). An Introduction to Political Communication. Fifth Edition. New York: Routledge.
Widodo, J. (2008). Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Bayumedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H