Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Kurniawan
Muhammad Iqbal Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Political Science Student | Hanya seorang pembelajar | Sangat terbuka atas kritik dan saran terhadap tulisan-tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UU Cipta Kerja sebagai Sebuah Kebijakan Publik

28 Desember 2020   09:54 Diperbarui: 28 Desember 2020   10:08 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komunikasi politik, dalam konteks situasi negara yang demokratis, adalah segala bentuk komunikasi yang dilakukan politisi dan aktor politik lainnya untuk mencapai tujuan tertentu (McNair, 2011). Dalam kasus UU Ciptaker ini, Presiden, DPR, dan Menteri terkait bisa dikatakan sebagai aktor politik yang berhak (dan bahkan mungkin wajib) untuk menyampaikan maksud dan tujuan dari adanya perumusan beleid ini di parlemen kepada publik. 

Apabila kita melihat pada konteks kepemimpinan politik, komunikasi politik ini wajib dilakukan untuk menjaga kelangsungan kepemimpinan seorang pemimpin politik (Indrananto, 2012). Namun, kita tidak akan membahas soal konteks kepemimpinan politik. Kita akan fokus membahas soal kenyataan bahwa komunikasi politik yang dilakukan oleh pimpinan/aktor politik atas adanya perumusan UU Ciptaker ini penting kehadirannya untuk memperjelas motif dibalik adanya beleid ini kepada publik (masyarakat).

Kenapa penulis menilai komunikasi politik pemerintah atas kasus UU Ciptaker ini bermasalah? Karena, menurut penulis, kita tidak bisa memungkiri bahwa adanya reaksi yang cenderung ke arah penolakan dari masyarakat, salah satunya, adalah karena adanya trust yang lemah dari masyarakat terhadap pemerintah itu sendiri. 

Sederhananya, ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah adalah salah satu faktor yang membuat masyarakat bereaksi di hampir seluruh penjuru negeri. Apabila masyarakat sudah memiliki political trust yang kuat terhadap pemerintah yang sedang menjalankan pemerintahan, maka penulis memiliki keyakinan bahwa tidak mungkin respon keras dengan kecenderungan penolakan ini terjadi di tengah-tengah masyarakat, bahkan sekali lagi, di hampir seluruh penjuru negeri. Memang, survei baru-baru ini menyebutkan bahwa 68 persen masyarakat masih percaya kepada Presiden---sebagai orang nomor satu yang menjalankan pemerintahan (Al-Qodariah, 2020). 

Akan tetapi, kepuasan publik yang dibawah 50 persen membuat kondisi ini perlu diwaspadai, atau bahkan dipertanyakan. Masyarakat percaya, tetapi tidak puas. Menurut penulis, kepercayaan ini adalah kepercayaan yang sifatnya lemah. Bukan bermaksud menantang hasil survei. Akan tetapi, akan lebih baik jikalau kepercayaan masyarakat sama tingginya dengan tingkat kepuasaan masyarakat. Agar posisi trust-nya bisa kita kategorikan trust yang kuat. Ketika trust dari masyarakat sifatnya kuat, bukan hanya minim penolakan, namun bahkan masyarakat itu sendiri yang akan tegak berdiri pasang badan untuk bersama-sama dengan pemerintah mewujudkan tujuan tersebut.

Akar ketidak percayaan publik terhadap pemerintah bisa dilihat dalam berbagai area; masyarakat yang merasa bahwa politisi atau public officials sering menggunakan kekuasaan mereka untuk membesarkan nama; masyarakat merasa tidak terhubung dengan pemerintah; masyarakat yang merasa bahwa pemerintah tidak cakap; sistem pemerintahan yang lemah atau malfunctioning; melemahnya kondisi sosial ataupun ekonomi; kebencian terhadap skandal politik; birokrat yang inkompeten; dsb (Kim, 2010). 

Menurut pandangan penulis, banyaknya isu-isu politik yang dihadapi bangsa ini belakangan adalah salah satu yang membuat trust dari masyarakat tadi melemah, sehingga masyarakat tidak bisa sepenuhnya mendukung segala yang digaungkan pemerintah soal kebijakan, khususnya soal gaung beleid Cipta Kerja ini. 

Adanya isu soal dinasti politik, pembungkaman mereka yang berbeda pandangan dengan pemerintah, kementerian (bc:menteri) yang tidak cakap dalam menangani persoalan, resesi ekonomi, skandal politik di timur Indonesia, isu pejabat pemerintahan yang seolah seperti bagi-bagi kue, kementerian yang tidak menangani persoalan yang masuk dalam cakupan bidangnya, dan masih banyak lagi isu-isu politik membuat masyarakat akhirnya bertanya-tanya dalam kepala mereka: adakah yang salah dalam pemerintahan ini? Haruskah saya sepenuhnya percaya terhadap pemerintahan ini? Sehingga, bisa kita lihat kecenderungan dukungan dari masyarakat melemah. Alhasil, demonstrasi dan penolakan terhadap berbagai kebijakan pemerintah, khususnya UU Ciptaker, menjadi eksis di dalam negeri ini.

Untuk itulah komunikasi politik yang baik dan cakap dari pemerintah penting kehadirannya. Ketika trust dari masyarakat melemah, ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat hal tersebut menjadi kuat. Salah satunya dengan komunikasi politik. Selama masih ada penolakan besar-besaran, maka salama itu pula lah penulis meyakini ada yang salah dengan komunikasi politik pemerintah negeri ini. Intinya, ketika kepercayaan masyarakat melemah, maka kehadiran pemerintah untuk meyakinkan masyarakat melalui komunikasi politik yang baik dan cakap diperlukan.

Stakeholders yang Terlibat. Kaitannya dengan Teori Aktor Politik dalam Penentuan Kebijakan

Polemik beleid UU Ciptaker ini pun menjadi pembahasan menarik apabila kita melihat dari aktor politik yang berperan di belakang perumusannya. Akan tetapi, bukan hanya aktor politik yang memiliki peran di belakang perumusan sebuah kebijakan. Stakeholders selain aktor politik terkadang juga mempengaruhi sebuah pembentukan kebijakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun