Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kritik Seni dan Obat Kuat

27 Oktober 2024   10:38 Diperbarui: 27 Oktober 2024   10:58 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi buku Apresiasi Seni 1985 Input sumber gambar

Kritik Seni dan Obat Kuat

Merespon artikel Prof. Dr. Fuad Hasan berjudul "Karya Seni dan Kritik Seni". Artikel bagian dari buku Apresiasi Seni diterbitkan Pasar Seni tahun 1985. Dengan cermat dan seksama, saya menelaah perspektif berkesenian Profesor Doktor Fuad Hasan, khususnya tentang kritik seni rupa. Mengacu pandangan para filsuf analitik (filsafat bahasa) pada abad ke-20, soal tindak berbahasa (kritik seni) ada juga ucapan atau kritikan di luar ranah logika, di luar ucapan, konstatif. Ukuran dari ucapan konstatif atau proposisi logis adalah benar atau salah. Sedangkan ukuran dari ucapan di luar ranah logika, biasanya diucapkan dalam bahasa sehari-hari (ordinary language), adalah layak atau tidak layak. Ucapan yang di luar ranah logika tersebut, menurut J.L. Austin (1911 -- 1960)--seorang profesor di Oxford dan pelopor filsafat bahasa dalam konteks komunikasi sehari-hari--disebut ucapan performatif (performative utterance). Definisi ucapan performatif menurut J.L. Austin adalah ucapan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan oleh pengucap dan dengan mengungkapkannya berarti perbuatan tersebut diselesaikan pada saat itu juga.

Hal yang dimaksud layak atau tidak layak dalam kriteria ucapan performatif jangan diartikan menjadi santun atau tidak santun, tetapi terkait dengan kompetensi (kelayakan atau otoritas) dari subjek pengucapnya. Jadi, ukuran dari ucapan performatif sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kebenaran dari ucapan, tetapi tergantung pada kompetensi dari orang yang mengucapkannya. Misalnya, "Saudara Mac Aroni, saya putuskan Anda sebagai sosok ikonik seniman Pasar Seni Ancol dan diwajibkan berkarya di sisa usia Anda." Ucapan performatif di atas menjadi layak bila diucapkan oleh seorang yang paling memiliki wewenang di Pasar Seni Ancol (sebagai subjek yang berkompeten atau para tetua seni rupa Indonesia yang berwenang dalam suatu musyawarah besar kebudayaan).

Contoh lainnya, yang menurut pengamatan saya sering terjadi di Medsos atau platform (grup) pesan singkat (yang sebenarnya bisa dipanjangkan) adalah ucapan-ucapan yang bernuansa nasihat keagamaan atau moral. Misalnya:

1. "Jangan posting tentang kecelakaan" (Bila hendak dirumuskan ke dalam bentuk ucapan performatif, maka akan menjadi: "Saya menyarankan kepada Anda silakan posting tentang kecelakaan.")

2. "Orang yang sering posting kecelakaan cenderung jiwanya radikal. Sedangkan orang yang sering posting kelucuan cenderung jiwanya humoris ." (Bila hendak dirumuskan ke dalam bentuk ucapan performatif, maka akan menjadi: "Sering-seringlah posting kecelakaan dan kelucuan.")

Kedua ucapan performatif di atas tak ada kaitannya dengan kebenaran moral atau agama, tetapi terkait pada "tindak pengucapan" (speech acts) oleh subjek pengucapnya. Artinya, kedua ucapan performatif itu dinilai "layak" diucapkan jika dan hanya jika subjek pengucapnya tidak merugikan, tidak menimbulkan perbedaan status sosial, iri hati, sirik kepada orang lain. Jika sebaliknya, maka ucapan performatif di atas menjadi "tidak layak" diucapkan oleh subjek pengucapnya. Namun, bukan berarti isi kalimat yang diucapkanya benar atau salah, hanya layak atau tidak layak diucapkan oleh subjek pengucapnya.

Kajian tentang ucapan performatif berada dalam wilayah sosiolingusitik. Artinya, sebuah ucapan performatif terkait dengan soal cara berkomunikasi di tengah masyarakat. Jadi, ucapan performatif seperti yang dirumuskan J.L. Austin mencoba melepaskan tindak berbahasa dari kriteria kebenaran (korespondensi, koherensi, dan pragmatis), serta semata "mengulur" nilai suatu ucapan dari otoritas subjek pengucapnya. Menurut saya di sinilah letak kelemahan dari ucapan performatif. Kenapa? Karena nilai ucapan performatif tidak ditentukan dari benar atau salahnya suatu ucapan, melainkan dari subjek pengucapnya. Dan hal sedemikian, di dalam logika klasik, termasuk ke dalam kategori ucapan yang mengandung "sesat pikir karena otoritas".

Persoalan untuk menilai ucapan performatif apakah layak atau tidak layak timbul ketika orang mau "mengukur" kompetensi dari subjek pengucap. Bagaimana mengukurnya? Jika ucapan performatif terkait persoalan moral--misalnya: "Jangan mencuri!"--diucapkan oleh seorang seniman yang merangkap jadi ulama atau pendeta (orang-orang yang dianggap memiliki otoritas moral dan keagamaan oleh ekosistem tertentu) apakah itu berarti ucapannya layak diucapkan? Bagaimana bila sebenarnya tidak tahu bahwa si seniman yang merangkap ulama atau pendeta itu telah melakukan tindakan pencurian dana bantuan masyarakat atau jamaahnya (yang beberapa waktu kemudian memang terbukti di pengadilan)? JIka ucapan performatif dikaitkan dalam konteks sosiolinguistik (tindak berbahasa di dalam kehidupan sosial), maka konsekuensi dari "layak" atau "tidak layak" pada suatu ucapan performatif akan berakibat pada kepercayaan atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap pribadi si pengucap. Namun, bila soal keterpercayaan masyarakat tidak dikaitkan dengan kriteria kebenaran, maka yang mungkin terjadi adalah "manipulasi ucapan". Ucapan performatif mungkin layak diucapkan oleh subjek pengucap jika dan hanya jika masyarakat atau individu yang jadi sasaran pengucap tidak tahu "siapa sebenarnya" si pengucap. Bila begitu, jelas sekali, ada unsur kontradiksi di dalam ucapan performatif yang bisa menghasilkan kesimpulan absurd.

Saya pikir ucapan performatif itu hanya soal "persuasi", sama seperti iklan, yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya, tetapi hanya tergantung pada apakah Anda percaya atau tidak percaya kepada si pengiklan. Dan soal keterpercayaan itu bisa dibuat dengan cara mengiklankan satu iklan tertentu secara berulang-ulang melalui pelbagai media massa, sehingga tertanam dalam benak konsumen bahwa konten dari iklan tersebut adalah benar. Namun, ketika konten iklan itu ternyata tidak benar, maka kepercayaan masyarakat akan langsung hilang. Bila begitu, bila konten iklan tersebut tidak sesuai kenyataan, maka ucapan performatif dalam iklan tersebut--misalnya dalam bentuk iklan yang menggunakan kesaksian individu tertentu--adalah sebuah penipuan kepada publik dan bukan merupakan tindak berbahasa yang baik.

Karena itu saya menyimpulkan bahwa ucapan performatif tidak bisa dijadikan ukuran komunikasi yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah ucapan, baik konstatif maupun performatif, harus tetap bersandar pada kriteria kebenaran agar komunikasi bisa berjalan dengan baik. Baik atau tidak baik, dalam konteks individu atau masyarakat, merupakan ukuran dari etika. Dan, menurut saya, setiap etika pasti bersandar pada kriteria kebenaran tertentu. Artinya, ucapan performatif tidak bisa dilepaskan dari logika.

Dalam konteks estetika seni, karya seni rupa yang secara verbal menyampaikan pesan-pesan moral, keagamaan, perbedaan status sosial atau politik akan cenderung menjadi "ucapan performatif" ala J.L. Austin--menjadi "nasihat" yang terlepas dari kriteria kebenaran--menjadi filsafat palsu. Kenapa? Karena watak ucapan performatif yang tidak terkait dengan benar dan salah, tidak terkait dengan epistemologi dan logika. Bila karya seni menjadi ucapan performatif, maka karya seni itu tak akan bisa dinilai dengan kriteria estetika tertentu, tidak bisa dinilai indah atau tidak indah. Estetika, sama seperti etika, sama-sama merupakan bagian dari filsafat aksiologi (filsafat dari tindakan manusia dalam menghasilkan nilai atau filsafat tentang nilai), tidak bisa dilepaskan dari logika dan epistemologi. Setiap kriteria estetika atau konsepsi seni tertentu pasti dibangun dari logika dan epistemologi tertentu pula.

Ketika sebuah karya seni lukis atau karya seni lainnya, semata diacukan kepada senimannya, maka seni itu akan menjadi ucapan performatif. Dengan demikian, seni tidak lagi menjadi sebuah karya seni, tetapi sebuah tindak berbahasa yang terlepas dari kriteria apa pun kecuali kriteria kompetensi (layak atau tidak layak) dari kehidupan personal senimannya. Seni menjadi soal kepercayaan kepada senimannya, dan sama sekali tak ada hubungannya dengan nilai estetika apa pun di dalam karya seni. Seni akan masuk ke dalam wilayah kesantunan borjuasi, bukan wilayah karya seni. Lalu, akhirnya, seni akan menjadi ekuivalen dengan iklan obat kuat cap 78 (agar awet ereksi.)

Apatah indera dan imajinasi berkaitan ketat dengan obat kuat cap 78? Ough tentu saja! Seni sangat erat, rapat dan dekat ke obat kuat. Jadi ketahuilah bahwa salah satu indera yang diabaikan fungsinya, bila dikaitkan dengan sumbernya, adalah lidah. Selama ini fungsi lidah secara inderawi hanya dianggap sebagai alat pencecap dan bercumbu (anggota tubuh peraga gombalan, sumpah-serapah). Tetapi, dalam konteks psikolinguistik, lidah bersamaan dengan ludah, telinga merupakan alat bicara, media pencipta dan pemproses bahasa. Tanpa lidah dan ludah, maka seorang anak kecil tak akan bisa belajar bicara, dan itu artinya juga tak ada kemampuan berbahasa. Tanpa kemampuan berbahasa, maka tak ada pikiran. Lidah dan ludah, secara fungsional, adalah indung dari bahasa, dari pikiran manusia.

Definisi indera bagi saya adalah bagian dari tubuh manusia yang secara langsung terkait dengan fungsi berpikir manusia. Jadi, kaki juga termasuk indera, karena fungsi berjalan kaki adalah fungsi yang menciptakan kesadaran akan jarak. Kesadaran akan jarak inilah yang mumungkinkan kesadaran akan ruang, waktu, dan perspektif. Sementara tangan adalah fungsi dari penciptaan atau kreativitas. Fungsi kreativitas memungkinkan relasi antara berbagai hal di dalam pikiran manusia. Batu dan kayu yang diikat oleh tali kulit kayu merupakan jenis peralatan kreatif yang diciptakan oleh tangan manusia purba. Dan indera terakhir adalah otak manusia. Seluruh fungsi-fungsi inderawi yang ada itu terhubung dengan otak manusia untuk menghasilkan proses berpikir. Jadi, indera manusia itu bukan lima, tetapi delapan. Ingat! Angka 78 (Tujuh Delapan).

Ipon Semesta -- Ketua Persegi (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

27 Oktober 2024, Jelang 50 tahun Pasar Seni Ancol

------------------------------------

Karya Seni dan Kritik Seni

Oleh: Prof. Dr. Fuad Hasan

Karya seni dan kritik seni selalu menarik untuk dibicarakan Pasalnya ialah pertarungan antara karya seni dan kritik seni biasanya melahirkan lubang-lubang perdebatan yang seru. Karena itu penuturan di bawah ini telah saja tak muncul sebagai tulisan final ia mengandung banyak ruang untuk diisi, atau ditukarpikirkan

Untuk memulai persoalan sebaiknya pertama kita harus melihat sejarah barang sejenak. Kalau dilihat dari masa kemerdekaan salah satu kehidupan nasional yang berkembang pesat adalah bidang kesenian. Tak bisa disanggah dari tahun 1945 sampai sekarang ini kira-kira 40 tahun, disimak dari perkembangannya karya-karya seni Indonesia palut dibanggakan. Tak bisa disangkal pula kenyataan bahwa posisi kesenian kita secara universal juga terasa mantap.

Namun rupanya keberhasilan itu tak diimbangi dengan bobot pengenalan masyarakatnya Apresiasi terhadap karya seni di Indonesia nampaknya ketinggalan dibanding kesuksesan yang sempat diraih. Padahal keberhasilan karya seni kita yang tak sekedar kuantitatif dengan daerah liputan seni yang semakin banyak sesungguhnya merangsang dan menuntut timbulnya apresiator-apresiator yang bak kritikus-kritikus yang bagus. Karya seni Indonesia selama 40 tahun perkembangannya, bahkan sanggup menampilkan keorisinalannya yang bisa menstimulasi banyak orang untuk membicarakannya dengan persis dan mendalam. Lalu sebenarnya, sejauh mana masyarakat kita in mempunyai peranan dalam penumbuhan kritikus-kritikus seni yang bak ini masih tanda tanya. Dalam pengkajian ini selayaknya kita lebih dahulu mulai dengan apa sebenarnya hakekat seni itu.

Hal ini saya rasa perlu Karena apa? Karena, terhadap masalah yang paling mendasar pun pikiran masyarakat agaknya telah terpeleset dan keliru Perhatikan saja apa yang terjadi di layar televisi kita Seorang penyanyi umpamanya, sekali dua kali muncul di televisi sudah disebut artis. Sekali menari dan menyanyi di disko klub sudah diangkat sebagai artis, istilah artis ini akhirnya dipakai sembarangan saja. Apalagi liputan "artis-artis yang muncul di televisi ibukota misalnya bisa menyebar secara nasional Dan istilah yang meleset itu pun akan dipakai dan dicamkan, secara benar dalam lingkungan nasional Padahal di manapun dunia seni selalu menggariskan batas yang tegas antara "seniman dan penghibur Antara "arty" dan "entertainer. Namun di Indonesia istilah itu telah terlanjur diterima secara baur dan sudah salah oleh karena itu, sekali lagi saya anggap perlu memulai permasalahan ini dari pengertian hakekat karya seni.

SEEKOR AYAM

Karya seni adalah ungkapan manusia yang paling manusiawi Dan karya seni sebetulnya kalau dilihat dari segi kepentingannya bisa dianggap meniru. Orang bisa hidup tanpa seni. Tanpa mencipta tanpa mengapresiasi. Seni adalah imbuhan saja dan semata-mata sesuatu hal yang muncul dari tuntutan biologis. Kita bisa hidup tanpa nyanyian tanpa seni rupa tanpa tarian. Tapi ingat kehidupan manusia yang tanpa itu akhirnya memang mirip hewan. Manusia menjadi tak lebih bagai hewan belaka.

 Sebab apa karena sesungguhnya sejak manusia berusia dini telah diberkahi naluri untuk berkesenian itu. Untuk menciptakan kesenian itu Sesuatu yang secara biologis dan dianugerahkan tetapi sengaja tak dipakai adalah tindakan yang jauh dari manusiawi. Akan hal itu ada banyak contoh. Berikan sepotong lipstik kepada seorang anak kecil. Dalam sekejap tembok di depan anak itu akan banyak coret-coretan. Berikan kepada seorang anak sepotong kayu di pasir ia pasti akan membuat bentuk bentuk di sana ia akan menggores pasir dengan naluri seninya tetapi apakah dorongan mencipta lukisan atau apapun namanya dalam usaha belia itu suatu waktu yang dikonfirmasikan sebagai karya seni itu persoalannya nanti tapi yang nyata

Sejak dini manusia sudah melakukan eksperimentasi yang sebenarnya tak melekat langsung sebagai kebutuhan hidup. Namun kalau dia hanya makan minum dan bisa tidur pada waktunya dan sebagainya, dan hanya itu saja yang dilakukan pasti ia hidup bagai seekor ayam. Padahal sepatutnya ia berkembang khusus dengan menampilkan ciri-ciri khusus. Dan munculnya ciri-ciri khusus tadi adalah eksperimentasi ciptaan-ciptaan yang ia lakukan. Pada saatnya ia mulai atau menemukan ukuran ukuran yang jauh lebih pribadi dari sekedar obyektif. Bahkan ini pun sejak dini sudah bisa kita lihat Seorang anak bisa saja menggambar seseorang dengan mata yang terlalu lebar dengan mulut yang terlampau besar. Mata melotot dan mulut melebar itu adalah pernyataan sesuatu yang marah, Dia telah bisa memberikan kwalifikasi pada lukisannya yang sangat sederhana.

Pada tingkat dewasa eksperimentasi ini akan lebih majemuk lagi. Banyak sekali kecenderungannya yang disebut 'antroposentrisme di lingkungan kita ini. Apa yang kita lihat semua menjadi ciri-ciri Misalnya, manusia mengatakan pohon-pohon gersang adalah pohon sedih padahal pohon tak bisa sedih. Kita melihat sepatu yang rusak di tengah jalan, kita katakan sepatu itu banyak sejarahnya. Dia sudah ngelayap ke mana-mana padahal sepatu itu tak bisa berbicara apa-apa. Hanya manusia yang memberikan ciri-ciri. Banyak lagi contoh yang bisa diambil. Dan tiap contoh menunjukkan ukuran 'antroposentrisme tadi. Manusia sebagai pusat, akhirnya yang akan menentukan dalam penciptaan dan penafsiran sebuah karya seni. Dan manusia yang menentukan tolok ukurnya. Dan tolak ukur itu lazim disebut kesadaran estetika. Bukan etika, bukan religi bukan rasional, bukan sosial dan lain-lain. Estetika harus lebih dahulu.

 Dan apakah estetika itu tak lain adalah kesadaran akan keindahan. Sense of beauty. Sesuatu yang hanya bisa dilihat manusia mahluk yang memiliki kelebihan melihat sesuatu yang obyektif. Untuk itu ada suatu contoh yang bisa membuat lebih jelas. Pada aliran Zen Budhisme ada anggapan bahwa manusia bisa melihat warna angin Oleh karena itu dia ciptakan salah satu lingkungan yang sama sekali sepi dari gangguan gangguan. Tak sesuatu yang luar biasa. Yang ada hanya semata-mata pasir yang putih lalu ada batu di tengah-tengahnya. Mereka lalu mengatakan bahwa dalam ketenangan tersebut mereka melihat angin Ini bukan sesuatu yang obyektif. Angin tak punya warna. Tapi bagi seorang Zen Budhisme halnya menjadi lain. Begitulah Dilihat dari segi panca indera hembusan angin tak bisa dialihkan menjadi kesan tentang warna. Tapi dalam penghayatan estetika hembusan angin ini bisa dialihkan menjadi suatu pengamatan tentang warna Pengamatan ini dilihat dari ukuran-ukuran estetika juga tak dijumpai keseragaman. Contoh lain, tentang warna putih misalnya warna putih ini dalam kultur Jepang memiliki nilal melankoli yang luar biasa. Karena itulah ketika film Love Story diputar di sana, dan pada sebuah adegannya nampak layar dibiarkan putih dengan dua sosok manusia yang berupa dua bintik hitam berjalan, seluruh penonton Jepang menangis. Dari hal itu barangkali semua lalu bisa mengerti bahwa warna putih tak sama nilainya di mana-mana

Satu misal lagi ialah pasal warna ungu. Sering dikatakan bahwa warna ungu memberikan kesan nepositas suatu sifat yang membawakan sikap nervous. Karenanya, ketika karya pelukis batik kita dipamerkan di luar negeri dan kebetulan banyak karyanya yang didominasi warna ungu publik di sana langsung mencap lukisan itu nervous. Namun bagaimana pun warna ungu toh tak bisa selalu membangkitkan perasaan nervositas. Mungkin di saat-saat lain ia mempunyai nilai mistis yang jauh dari itu. Dari contoh-contoh itu saya hendak mengemukakan bahwa artis yang sebenarnya dalam mengamati realitas mempunyai surplus memiliki kelebihan. Hal ini juga berlaku untuk semua orang. Hanya bentuknya yang berbeda. Misalnya seseorang yang anti rokok karena menganggap rokok itu merusak kesehatan melihat asap rokok mengepul saja ia telah merasa terancam. Dia akan melihat asap itu menimbulkan penyakit dan mempersingkat hidupnya Jadi sebetulnya kita tak bisa mempersoalkan mengapa seorang seniman menggarap surplus pengamatannya dengan caranya. Kenapa tidak begini dan mengapa bukan begitu. Hal ini tak mungkin bisa kita bicarakan. Kalau misalnya di sebuah taman yang semua daunnya berwarna hijau namun si seniman menggambarkannya dengan ungu apa boleh buat. Dia akan melukis pohon ungu. Dan ungu bukan realitas ungu. Dengan kelebihannya itu ia telah mengolah taman menjadi suatu karya seni yang baru yang personal.

DUA THESIS

Sampai disini, sampailah kita pada persoalan yang sering jadi perdebatan hangat. Apakah karya seni yang menggunakan ukuran estetika otonom berdiri sendiri dan lepas dari nilai lainnya, seperti religi sosial etika dan sebagainya? Akan hal ini memang ada 2 thesis yang pertama mengatakan bahwa hak estetika untuk otonomi tak bisa diganggu gugat. Yang kedua mengatakan bahwa estetika tak lebih hanyalah penonjolan nilai. Sebab di balik itu tetap ada latar belakang kerangka nilai lain yang sudah menempel pada pribadi penciptanya. Karena setiap manusia memiliki sejarah sendiri yang setiap kali meminta penilaian kembali baik buruknya Nilai-nilai empiris itulah yang mengusik otonomi estetika.

Sementara itu nilai estetika sendiri sekali waktu perlu diuji itu sebabnya tak mustahil seorang seniman dalam satu kurun waktu bisa berubah ukuran ukuran estetikanya. Hingga tak mustahil dalam 3 dasawarsa si seniman lalu melahirkan 3 gaya Setiap kali seniman berkarya ia mengungkapkan segala isi jiwanya. Tetapi kalau ada seniman yang marah-marah lalu melempar-lemparkan catnya ke kanvas saya tak tahu apakah kamus untuk menilai itu sudah ada. Hal seperti itu sama dengan 'seni" yang membuang segi formatif selain segi material sebab karyanya mubazir Hal seperti kejadian nero yang membakar katanya hanya untuk kepentingan pencarian inspirasinya belaka Sambil menyanyi nero melihat sesuatu yang estetis Sesuatu yang juga disadarinya sebagai sebuah kesintingan. Namun kesintingan dan kreatifitas kadang-kadang memang kabur.

Dalam sejarah banyak peristiwa-peristiwa aneh yang kabur menggambarkan kekaburan itu. Mungkin kita masih ingat tentang seorang seniman yang mengeluarkan biaya 4.500.000 dolar hanya untuk membungkus pulau dengan plastik berwarna. Peristiwa-peristiwa ini lahir karena dorongan ambisi yang begitu besar. Sehingga yang dicari adalah sesuatu yang aneh, dan orisinal, plus anggapan bahwa yang aneh itu musti artistik ini hal yang salah sekali. Hal yang betul ialah karena titik tolaknya estetika, maka sore itu adalah kerja yang memperindah sesuatu yang tak indah. Meski pengertian di atas lalu berkembang pada ujungnya muncul pendapat bahwa seni adalah ungkapan pembangkangan.

Garis yang lurus dibengkokkan. Warna yang putih dimerahkan. Tetapi semua toh bertaut dengan estetika. Seni yang bertolak dari skala estetika itu jelas tak bisa mengikuti logika 2+2-4 Pada seni 2+2 bisa 8. Sebab obyektifitas nilai pada karya seni adalah hasil pertarungannya dengan subyektifitas. Hasil seniman bergumul, berdialog dengan obyektifitas yang diamati

KRITIK SENI

Lalu bagaimana menilainya ? Dalam bahasa lain, bagaimana pisau analisa kritikus bekerja atas karya seni itu ?

Kritik menurut arti katanya bermula dari kritos atau krinein, yang artinya memilah-millah, memisah-misah. Sebuah kritik selalu didahului oleh penalaran. Tanpa penalaran kritik itu menjadi mentah Sebuah kritik yang bermutu adalah kritik yang tak buru-buru masuk kepada kesimpulan.

Sebelumnya ia akan mengalirkan argumentasi Kritik itu ibarat ahli bedah. Dia sudah siap dengan satu set pisau bedah. Di tangan kritikus yang baik pisau tak sekedar untuk mengoyak-oyak Bahkan pisau itu mungkin tak dipakai sama sekali. Seorang kritikus harus bisa menganalisa mengapa sebuah karya estetik yang dihadapi mempunyai hitungan 2+2-8 Dan analisa ini bisa muncul beragam-ragam.

Untuk membantu kerja kritikus dalam mencari ketepatan nilai karya estetika, pada hemat saya adalah perlu dilahirkan kritikus lebih banyak. Sehingga setiap kritik akan memunculkan kontra kritik. Peristiwa antar kritikus melakukan kontra kritik merupakan panorama yang ideal bagi pencarian nilai karya seni itu. Sebab dari sana akan terlihat kesimpulan mana seni dan mana yang bukan seni. Lalu mana artis dan mana yang bukan artis Bila semuanya telah ketemu bila pisau-pisau kritik itu sudah berfungsi tajam, niscaya penampilan karya-karya estetik di media massa akan lebih tersaring. Dan masyarakat banyak akan mudah faham bahwa hanya karya yang betul-betul menyimpan kualitas seni yang bisa ia lihat di media massa. Dari situ masyarakat sudah mendapat pegangan.

Pasar Seni 8 Februari 1984

 Editor Agus Dermawan T

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun