Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kritik Seni dan Obat Kuat

27 Oktober 2024   10:38 Diperbarui: 27 Oktober 2024   10:58 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi buku Apresiasi Seni 1985 Input sumber gambar

Untuk memulai persoalan sebaiknya pertama kita harus melihat sejarah barang sejenak. Kalau dilihat dari masa kemerdekaan salah satu kehidupan nasional yang berkembang pesat adalah bidang kesenian. Tak bisa disanggah dari tahun 1945 sampai sekarang ini kira-kira 40 tahun, disimak dari perkembangannya karya-karya seni Indonesia palut dibanggakan. Tak bisa disangkal pula kenyataan bahwa posisi kesenian kita secara universal juga terasa mantap.

Namun rupanya keberhasilan itu tak diimbangi dengan bobot pengenalan masyarakatnya Apresiasi terhadap karya seni di Indonesia nampaknya ketinggalan dibanding kesuksesan yang sempat diraih. Padahal keberhasilan karya seni kita yang tak sekedar kuantitatif dengan daerah liputan seni yang semakin banyak sesungguhnya merangsang dan menuntut timbulnya apresiator-apresiator yang bak kritikus-kritikus yang bagus. Karya seni Indonesia selama 40 tahun perkembangannya, bahkan sanggup menampilkan keorisinalannya yang bisa menstimulasi banyak orang untuk membicarakannya dengan persis dan mendalam. Lalu sebenarnya, sejauh mana masyarakat kita in mempunyai peranan dalam penumbuhan kritikus-kritikus seni yang bak ini masih tanda tanya. Dalam pengkajian ini selayaknya kita lebih dahulu mulai dengan apa sebenarnya hakekat seni itu.

Hal ini saya rasa perlu Karena apa? Karena, terhadap masalah yang paling mendasar pun pikiran masyarakat agaknya telah terpeleset dan keliru Perhatikan saja apa yang terjadi di layar televisi kita Seorang penyanyi umpamanya, sekali dua kali muncul di televisi sudah disebut artis. Sekali menari dan menyanyi di disko klub sudah diangkat sebagai artis, istilah artis ini akhirnya dipakai sembarangan saja. Apalagi liputan "artis-artis yang muncul di televisi ibukota misalnya bisa menyebar secara nasional Dan istilah yang meleset itu pun akan dipakai dan dicamkan, secara benar dalam lingkungan nasional Padahal di manapun dunia seni selalu menggariskan batas yang tegas antara "seniman dan penghibur Antara "arty" dan "entertainer. Namun di Indonesia istilah itu telah terlanjur diterima secara baur dan sudah salah oleh karena itu, sekali lagi saya anggap perlu memulai permasalahan ini dari pengertian hakekat karya seni.

SEEKOR AYAM

Karya seni adalah ungkapan manusia yang paling manusiawi Dan karya seni sebetulnya kalau dilihat dari segi kepentingannya bisa dianggap meniru. Orang bisa hidup tanpa seni. Tanpa mencipta tanpa mengapresiasi. Seni adalah imbuhan saja dan semata-mata sesuatu hal yang muncul dari tuntutan biologis. Kita bisa hidup tanpa nyanyian tanpa seni rupa tanpa tarian. Tapi ingat kehidupan manusia yang tanpa itu akhirnya memang mirip hewan. Manusia menjadi tak lebih bagai hewan belaka.

 Sebab apa karena sesungguhnya sejak manusia berusia dini telah diberkahi naluri untuk berkesenian itu. Untuk menciptakan kesenian itu Sesuatu yang secara biologis dan dianugerahkan tetapi sengaja tak dipakai adalah tindakan yang jauh dari manusiawi. Akan hal itu ada banyak contoh. Berikan sepotong lipstik kepada seorang anak kecil. Dalam sekejap tembok di depan anak itu akan banyak coret-coretan. Berikan kepada seorang anak sepotong kayu di pasir ia pasti akan membuat bentuk bentuk di sana ia akan menggores pasir dengan naluri seninya tetapi apakah dorongan mencipta lukisan atau apapun namanya dalam usaha belia itu suatu waktu yang dikonfirmasikan sebagai karya seni itu persoalannya nanti tapi yang nyata

Sejak dini manusia sudah melakukan eksperimentasi yang sebenarnya tak melekat langsung sebagai kebutuhan hidup. Namun kalau dia hanya makan minum dan bisa tidur pada waktunya dan sebagainya, dan hanya itu saja yang dilakukan pasti ia hidup bagai seekor ayam. Padahal sepatutnya ia berkembang khusus dengan menampilkan ciri-ciri khusus. Dan munculnya ciri-ciri khusus tadi adalah eksperimentasi ciptaan-ciptaan yang ia lakukan. Pada saatnya ia mulai atau menemukan ukuran ukuran yang jauh lebih pribadi dari sekedar obyektif. Bahkan ini pun sejak dini sudah bisa kita lihat Seorang anak bisa saja menggambar seseorang dengan mata yang terlalu lebar dengan mulut yang terlampau besar. Mata melotot dan mulut melebar itu adalah pernyataan sesuatu yang marah, Dia telah bisa memberikan kwalifikasi pada lukisannya yang sangat sederhana.

Pada tingkat dewasa eksperimentasi ini akan lebih majemuk lagi. Banyak sekali kecenderungannya yang disebut 'antroposentrisme di lingkungan kita ini. Apa yang kita lihat semua menjadi ciri-ciri Misalnya, manusia mengatakan pohon-pohon gersang adalah pohon sedih padahal pohon tak bisa sedih. Kita melihat sepatu yang rusak di tengah jalan, kita katakan sepatu itu banyak sejarahnya. Dia sudah ngelayap ke mana-mana padahal sepatu itu tak bisa berbicara apa-apa. Hanya manusia yang memberikan ciri-ciri. Banyak lagi contoh yang bisa diambil. Dan tiap contoh menunjukkan ukuran 'antroposentrisme tadi. Manusia sebagai pusat, akhirnya yang akan menentukan dalam penciptaan dan penafsiran sebuah karya seni. Dan manusia yang menentukan tolok ukurnya. Dan tolak ukur itu lazim disebut kesadaran estetika. Bukan etika, bukan religi bukan rasional, bukan sosial dan lain-lain. Estetika harus lebih dahulu.

 Dan apakah estetika itu tak lain adalah kesadaran akan keindahan. Sense of beauty. Sesuatu yang hanya bisa dilihat manusia mahluk yang memiliki kelebihan melihat sesuatu yang obyektif. Untuk itu ada suatu contoh yang bisa membuat lebih jelas. Pada aliran Zen Budhisme ada anggapan bahwa manusia bisa melihat warna angin Oleh karena itu dia ciptakan salah satu lingkungan yang sama sekali sepi dari gangguan gangguan. Tak sesuatu yang luar biasa. Yang ada hanya semata-mata pasir yang putih lalu ada batu di tengah-tengahnya. Mereka lalu mengatakan bahwa dalam ketenangan tersebut mereka melihat angin Ini bukan sesuatu yang obyektif. Angin tak punya warna. Tapi bagi seorang Zen Budhisme halnya menjadi lain. Begitulah Dilihat dari segi panca indera hembusan angin tak bisa dialihkan menjadi kesan tentang warna. Tapi dalam penghayatan estetika hembusan angin ini bisa dialihkan menjadi suatu pengamatan tentang warna Pengamatan ini dilihat dari ukuran-ukuran estetika juga tak dijumpai keseragaman. Contoh lain, tentang warna putih misalnya warna putih ini dalam kultur Jepang memiliki nilal melankoli yang luar biasa. Karena itulah ketika film Love Story diputar di sana, dan pada sebuah adegannya nampak layar dibiarkan putih dengan dua sosok manusia yang berupa dua bintik hitam berjalan, seluruh penonton Jepang menangis. Dari hal itu barangkali semua lalu bisa mengerti bahwa warna putih tak sama nilainya di mana-mana

Satu misal lagi ialah pasal warna ungu. Sering dikatakan bahwa warna ungu memberikan kesan nepositas suatu sifat yang membawakan sikap nervous. Karenanya, ketika karya pelukis batik kita dipamerkan di luar negeri dan kebetulan banyak karyanya yang didominasi warna ungu publik di sana langsung mencap lukisan itu nervous. Namun bagaimana pun warna ungu toh tak bisa selalu membangkitkan perasaan nervositas. Mungkin di saat-saat lain ia mempunyai nilai mistis yang jauh dari itu. Dari contoh-contoh itu saya hendak mengemukakan bahwa artis yang sebenarnya dalam mengamati realitas mempunyai surplus memiliki kelebihan. Hal ini juga berlaku untuk semua orang. Hanya bentuknya yang berbeda. Misalnya seseorang yang anti rokok karena menganggap rokok itu merusak kesehatan melihat asap rokok mengepul saja ia telah merasa terancam. Dia akan melihat asap itu menimbulkan penyakit dan mempersingkat hidupnya Jadi sebetulnya kita tak bisa mempersoalkan mengapa seorang seniman menggarap surplus pengamatannya dengan caranya. Kenapa tidak begini dan mengapa bukan begitu. Hal ini tak mungkin bisa kita bicarakan. Kalau misalnya di sebuah taman yang semua daunnya berwarna hijau namun si seniman menggambarkannya dengan ungu apa boleh buat. Dia akan melukis pohon ungu. Dan ungu bukan realitas ungu. Dengan kelebihannya itu ia telah mengolah taman menjadi suatu karya seni yang baru yang personal.

DUA THESIS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun