Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kritik Seni dan Obat Kuat

27 Oktober 2024   10:38 Diperbarui: 27 Oktober 2024   10:58 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi buku Apresiasi Seni 1985 Input sumber gambar

Karena itu saya menyimpulkan bahwa ucapan performatif tidak bisa dijadikan ukuran komunikasi yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah ucapan, baik konstatif maupun performatif, harus tetap bersandar pada kriteria kebenaran agar komunikasi bisa berjalan dengan baik. Baik atau tidak baik, dalam konteks individu atau masyarakat, merupakan ukuran dari etika. Dan, menurut saya, setiap etika pasti bersandar pada kriteria kebenaran tertentu. Artinya, ucapan performatif tidak bisa dilepaskan dari logika.

Dalam konteks estetika seni, karya seni rupa yang secara verbal menyampaikan pesan-pesan moral, keagamaan, perbedaan status sosial atau politik akan cenderung menjadi "ucapan performatif" ala J.L. Austin--menjadi "nasihat" yang terlepas dari kriteria kebenaran--menjadi filsafat palsu. Kenapa? Karena watak ucapan performatif yang tidak terkait dengan benar dan salah, tidak terkait dengan epistemologi dan logika. Bila karya seni menjadi ucapan performatif, maka karya seni itu tak akan bisa dinilai dengan kriteria estetika tertentu, tidak bisa dinilai indah atau tidak indah. Estetika, sama seperti etika, sama-sama merupakan bagian dari filsafat aksiologi (filsafat dari tindakan manusia dalam menghasilkan nilai atau filsafat tentang nilai), tidak bisa dilepaskan dari logika dan epistemologi. Setiap kriteria estetika atau konsepsi seni tertentu pasti dibangun dari logika dan epistemologi tertentu pula.

Ketika sebuah karya seni lukis atau karya seni lainnya, semata diacukan kepada senimannya, maka seni itu akan menjadi ucapan performatif. Dengan demikian, seni tidak lagi menjadi sebuah karya seni, tetapi sebuah tindak berbahasa yang terlepas dari kriteria apa pun kecuali kriteria kompetensi (layak atau tidak layak) dari kehidupan personal senimannya. Seni menjadi soal kepercayaan kepada senimannya, dan sama sekali tak ada hubungannya dengan nilai estetika apa pun di dalam karya seni. Seni akan masuk ke dalam wilayah kesantunan borjuasi, bukan wilayah karya seni. Lalu, akhirnya, seni akan menjadi ekuivalen dengan iklan obat kuat cap 78 (agar awet ereksi.)

Apatah indera dan imajinasi berkaitan ketat dengan obat kuat cap 78? Ough tentu saja! Seni sangat erat, rapat dan dekat ke obat kuat. Jadi ketahuilah bahwa salah satu indera yang diabaikan fungsinya, bila dikaitkan dengan sumbernya, adalah lidah. Selama ini fungsi lidah secara inderawi hanya dianggap sebagai alat pencecap dan bercumbu (anggota tubuh peraga gombalan, sumpah-serapah). Tetapi, dalam konteks psikolinguistik, lidah bersamaan dengan ludah, telinga merupakan alat bicara, media pencipta dan pemproses bahasa. Tanpa lidah dan ludah, maka seorang anak kecil tak akan bisa belajar bicara, dan itu artinya juga tak ada kemampuan berbahasa. Tanpa kemampuan berbahasa, maka tak ada pikiran. Lidah dan ludah, secara fungsional, adalah indung dari bahasa, dari pikiran manusia.

Definisi indera bagi saya adalah bagian dari tubuh manusia yang secara langsung terkait dengan fungsi berpikir manusia. Jadi, kaki juga termasuk indera, karena fungsi berjalan kaki adalah fungsi yang menciptakan kesadaran akan jarak. Kesadaran akan jarak inilah yang mumungkinkan kesadaran akan ruang, waktu, dan perspektif. Sementara tangan adalah fungsi dari penciptaan atau kreativitas. Fungsi kreativitas memungkinkan relasi antara berbagai hal di dalam pikiran manusia. Batu dan kayu yang diikat oleh tali kulit kayu merupakan jenis peralatan kreatif yang diciptakan oleh tangan manusia purba. Dan indera terakhir adalah otak manusia. Seluruh fungsi-fungsi inderawi yang ada itu terhubung dengan otak manusia untuk menghasilkan proses berpikir. Jadi, indera manusia itu bukan lima, tetapi delapan. Ingat! Angka 78 (Tujuh Delapan).

Ipon Semesta -- Ketua Persegi (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

27 Oktober 2024, Jelang 50 tahun Pasar Seni Ancol

------------------------------------

Karya Seni dan Kritik Seni

Oleh: Prof. Dr. Fuad Hasan

Karya seni dan kritik seni selalu menarik untuk dibicarakan Pasalnya ialah pertarungan antara karya seni dan kritik seni biasanya melahirkan lubang-lubang perdebatan yang seru. Karena itu penuturan di bawah ini telah saja tak muncul sebagai tulisan final ia mengandung banyak ruang untuk diisi, atau ditukarpikirkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun