Sampai disini, sampailah kita pada persoalan yang sering jadi perdebatan hangat. Apakah karya seni yang menggunakan ukuran estetika otonom berdiri sendiri dan lepas dari nilai lainnya, seperti religi sosial etika dan sebagainya? Akan hal ini memang ada 2 thesis yang pertama mengatakan bahwa hak estetika untuk otonomi tak bisa diganggu gugat. Yang kedua mengatakan bahwa estetika tak lebih hanyalah penonjolan nilai. Sebab di balik itu tetap ada latar belakang kerangka nilai lain yang sudah menempel pada pribadi penciptanya. Karena setiap manusia memiliki sejarah sendiri yang setiap kali meminta penilaian kembali baik buruknya Nilai-nilai empiris itulah yang mengusik otonomi estetika.
Sementara itu nilai estetika sendiri sekali waktu perlu diuji itu sebabnya tak mustahil seorang seniman dalam satu kurun waktu bisa berubah ukuran ukuran estetikanya. Hingga tak mustahil dalam 3 dasawarsa si seniman lalu melahirkan 3 gaya Setiap kali seniman berkarya ia mengungkapkan segala isi jiwanya. Tetapi kalau ada seniman yang marah-marah lalu melempar-lemparkan catnya ke kanvas saya tak tahu apakah kamus untuk menilai itu sudah ada. Hal seperti itu sama dengan 'seni" yang membuang segi formatif selain segi material sebab karyanya mubazir Hal seperti kejadian nero yang membakar katanya hanya untuk kepentingan pencarian inspirasinya belaka Sambil menyanyi nero melihat sesuatu yang estetis Sesuatu yang juga disadarinya sebagai sebuah kesintingan. Namun kesintingan dan kreatifitas kadang-kadang memang kabur.
Dalam sejarah banyak peristiwa-peristiwa aneh yang kabur menggambarkan kekaburan itu. Mungkin kita masih ingat tentang seorang seniman yang mengeluarkan biaya 4.500.000 dolar hanya untuk membungkus pulau dengan plastik berwarna. Peristiwa-peristiwa ini lahir karena dorongan ambisi yang begitu besar. Sehingga yang dicari adalah sesuatu yang aneh, dan orisinal, plus anggapan bahwa yang aneh itu musti artistik ini hal yang salah sekali. Hal yang betul ialah karena titik tolaknya estetika, maka sore itu adalah kerja yang memperindah sesuatu yang tak indah. Meski pengertian di atas lalu berkembang pada ujungnya muncul pendapat bahwa seni adalah ungkapan pembangkangan.
Garis yang lurus dibengkokkan. Warna yang putih dimerahkan. Tetapi semua toh bertaut dengan estetika. Seni yang bertolak dari skala estetika itu jelas tak bisa mengikuti logika 2+2-4 Pada seni 2+2 bisa 8. Sebab obyektifitas nilai pada karya seni adalah hasil pertarungannya dengan subyektifitas. Hasil seniman bergumul, berdialog dengan obyektifitas yang diamati
KRITIK SENI
Lalu bagaimana menilainya ? Dalam bahasa lain, bagaimana pisau analisa kritikus bekerja atas karya seni itu ?
Kritik menurut arti katanya bermula dari kritos atau krinein, yang artinya memilah-millah, memisah-misah. Sebuah kritik selalu didahului oleh penalaran. Tanpa penalaran kritik itu menjadi mentah Sebuah kritik yang bermutu adalah kritik yang tak buru-buru masuk kepada kesimpulan.
Sebelumnya ia akan mengalirkan argumentasi Kritik itu ibarat ahli bedah. Dia sudah siap dengan satu set pisau bedah. Di tangan kritikus yang baik pisau tak sekedar untuk mengoyak-oyak Bahkan pisau itu mungkin tak dipakai sama sekali. Seorang kritikus harus bisa menganalisa mengapa sebuah karya estetik yang dihadapi mempunyai hitungan 2+2-8 Dan analisa ini bisa muncul beragam-ragam.
Untuk membantu kerja kritikus dalam mencari ketepatan nilai karya estetika, pada hemat saya adalah perlu dilahirkan kritikus lebih banyak. Sehingga setiap kritik akan memunculkan kontra kritik. Peristiwa antar kritikus melakukan kontra kritik merupakan panorama yang ideal bagi pencarian nilai karya seni itu. Sebab dari sana akan terlihat kesimpulan mana seni dan mana yang bukan seni. Lalu mana artis dan mana yang bukan artis Bila semuanya telah ketemu bila pisau-pisau kritik itu sudah berfungsi tajam, niscaya penampilan karya-karya estetik di media massa akan lebih tersaring. Dan masyarakat banyak akan mudah faham bahwa hanya karya yang betul-betul menyimpan kualitas seni yang bisa ia lihat di media massa. Dari situ masyarakat sudah mendapat pegangan.
Pasar Seni 8 Februari 1984
 Editor Agus Dermawan T