Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Seni

Tiga Warna Seni Rupa Indonesia - Seniman Itu Seksi

7 September 2024   16:30 Diperbarui: 13 September 2024   21:39 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SENIMAN ITU SEKSI 

Membaca Catatan Kecil ditulis oleh Agus Dermawan T menyoal pameran besar dengan tema Tiga Warna Seni Lukis Indonesia, Affandi, R. Basoeki Abdullah RA dan S. Sudjojono di Galeri Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta13-22 September 1985.

"Seniman itu seksi." 

"Kenapa?" tanya seorang teman penasaran.

"Seniman (pelukis) tampak seksi ketika sedang melukis. Lihat saja, ketika seniman sedang mencipta karya seni, laiknya seorang perempuan sedang bersolek. Seolah mereka menyisir rambut, memakai foundation, menepuk bedak di pipi, menyapukan eye shadow, mascara, blush on, memoles lipstick dan seolah selalu mengakhiri ritual kejutannya itu dengan kata muaacchhh disetiap ending karyannya?"

Benar dan mungkin betul. Sesungguhnya, ketika seniman sedang berkarya itu seperti sedang berhias diri. Ia mempercantik dan memperseksi diri agar nampak bergairah dan mendebarkan. Aktivitas itu bukan untuk mencuri perhatian lawan jenisnya tetapi itu adalah bagian dari strategi atau langkah taktis untuk mereduksi dan menghalau sesama jenisnya? 

Membaca kembali artikel lawas menyoal pertemuan tiga sosok karakter Maestro seni lukis Indonesia dalam satu ruang pamer, bagaikan lengkingan terompet sangkakala yang getir dan menyayat (meskipun saya belum sempat mendengar suara terompet Isrofil). 

Tiga Maestro berbeda prinsip dan karakter dalam berkarya telah menjadi kenangan. Kisah-kisahnya sambung-menyambung dengan kisah lain yang hingga kini fragmen-fragmen dari kisah ketiga Maestro masih terangkai dengan sempurna tiap jejak laku dan bentuk pemikirannya. Kita tahu, mereka telah pulang, damai di sana, berkumpul dengan yang Maha Indah tetapi mungkin saja ada dari mereka yang menginginkan bisa kembali "menemui kita"-dalam banyak hal. Dan sebagian dari kita pun, mungkin juga menginginkan satudua sosok dari mereka hadir kembali, menyaksikan karya seni terkini, karya seni futuristik yang kian bertumbuh.

Meskipun mereka telah menjadi kenangan. Dan (kita telah sepakat), mereka adalah bagian dari scene sejarah kehidupan senirupa Indonesia. Kita akan selalu mengingat itu dan kita tahu harus meletakkan intro, reffrain, atau ending karya mereka menjadi bagian interlude ajeg, tak bisa timbul-tenggelam dalam sejarah seni rupa Indonesia. 

Mereka adalah setetes air hujan yang bisa nyanyi, bisa menari di atas jamur tumbuh, bunga mekar sebatang flamboyan. Mereka sudi mengerutkan diri, membuka selaput agar-agar waktu, mereka mengetuk tapak kaki menari, membangun dinding dan lapisan atsmosfer senirupa Indonesia. Mereka pergi bersama ke padang estetika. Mereka ingin satu perjalanan tapi tidak terbentang pada terang dan malam, masing-masing dari mereka bagai sepotong agar-agar, kenyal melompat jauh ke tempat setetes air hujan. Mereka tidak leha-leha, ongkang-ongkang kaki dalam berkarya. Mereka penentu arah berkesenian. Mereka tak sama dengan gelandangan yang menulis kisahnya sendiri di emperan toko, lorong-lorong, studio, pasar, kios seni-lupa diri. Ya, mereka adalah setetes hujan yang tak sudah membasahi batang-batang kulanjana dan lidi yara.

Terimakasih kenangan. Terimakasih tiga Auctor Intellectualis dalam sejarah seni rupa Indonesia--dianugerahi "Hon" yang abadi dari pemilik kebahagiaan, kehidupan. Damai bersama yang Maha Indah. Aaamiin 

-Pasar Seni Ancol 6 September 2024

Ipon Semesta - Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia).-

------------------------------

TIGA WARNA SENI RUPA INDONESIA

oleh Agus Dermawan T.

Catatan kecil ini untuk mengiringi Pameran Besar Tiga Warna Seni Lukis Indonesia, Affandi, R. Basoeki Abdullah RA dan S. Sudjojono yang diselenggarakan pada tanggal 13 sd 22-September 1985 di Galeri Pasar Seni, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta.

AFFANDI, R. BASOEKI ABDULLAH RA, S. SUDJOJONO

Pelaku sejarah yang saling bertumbur

Menyebut nama pelukis Affandi, Basoeki Abdullah dan S. Sudjojono, akhirnya tak seperti cuma menyebut tiga nama besar belaka. Tetapi juga sama dengan menyerukan tiga pelaku sejarah yang penuh kemelut" dan masing-masing memiliki kontroversi sendiri. Sebab, seperti yang telah dicatat waktu, lewat perjalanan kesenian mereka yang panjang. Sudjojono dan Basoeki terutama, mempunyai kitab lakon yang bisa tak habis-habisnya dibaca. Tak habis-habisnya dibaca, karena memang lakon yang mereka mainkan, tak selesainya dituntaskan

"Persoalan ideologi kesenian, persoalan vision seni lukisan, adalah hak setiap seniman. Jadi memang tidak akan klop dan sama sekali beres," kata Besoeki mengomentan lakon yang la mainkan bersama Sudjojono itu. Dan lakon tersebut adalah kisah pertikaian, pergesekan visi, pertumbuhan pendapat. Seperti sebuah medan pertempuran yang maha luas, medan itu memang nampak masih menyisakan asap di ujung sana ujung sini. Hingga sedikit saja bensin tercecer, api kuat menyulut kembali.

Pertumbuhan itu telah berlangsung sejak sekitar 50 tahun lalu. Apa pasal, sebenarnya sederhana saja yang jadi biang kejadian. Basoeki Abdullah melukis dalam sisa "Mooi Indie. Sebuah gaya pelukisan yang dianggap sangat mengabaikan aspirasi perjuangan bangsa kala itu.

Lukisan-lukisan "Mooi Indie" adalah lukisan-lukisan pelayanan. Lukisan untuk turis. Atau lukisan yang diciptakan semata-mata untuk Kepentingan Lantung pelukisnya belaka. Lukisan yang lahir tanpa clan kreatif yang tinggi. Lukisan yang berbahaya karena dianggap bisa menjerumuskan selera seni bangsa Indonesia.

Kalimat-Kalimat itu tersirat pada berbagai ucapan dan tulisan yang terbit sejak 50 tahun talu. Nada-nada kritik tajam itu mulai disulut oleh pikiran Sudjojono, yang konon memang dikenal kritis sekaligus nasionalis. Di sinilah sebetulnya segala pertikaian itu berawal.

Sebenarnya, pendapat Sudjojono dan kawan-kawannya tersebut bukanlah untuk lukisan-lukisan Basoeki Abdullah belaka. Namun untuk satu kecenderungan besar yang dibawa oleh kelompok yang dinamakan "Mooi Indie" atau "Hindia Jelita" itu. "Mooi Indie" ini, dalam sejarah seni lukis pribumi, dipelopori oleh Abdullah Surio (1878-1941) Seorang pelukis Indonesia yang pernah belajar melukis di Belanda. Dan di belakang Abdullah Suriosubroto inilah hadr nama anaknya, Basoeki Abdullah, di samping nama-nama lain seperti Wakidi, Henk Ngantung, Suyono, Lee Man Fong Siauw Tik Kwie dan Pringadi.

Kecenderungan lukisan-lukisan mereka memang bisa menyentuh rasa perikebangsaan putera Indonesia kala itu Setidaknya, bagi seorang Sudjojono, yang dalam jiwanya gemuruh ingin melibatkan seni lukis Indonesia ke dalam perjuangan bangsa.

Lukisan-lukisan "Mooi Indie" memang lukisan-lukisan teduh tenang, yang nyaris hanya mengandalkan kebiasaan tehnik Dinamika dalam sikap kuranglah nampak. Dan semuanya itu bagi Sudjojono adalah suatu kelemahan mental bangsa yang sedang sibuk-sibuknya membangun tiang-tiang kemerdekaan, yang tak habis-habisnya diperjuangkan. Untuk apa lukisan-lukisan pemandangan seperti karya-karya Abdullah dan rombongannya itu, selain untuk menggamit kantung turis-turis Belanda yang datang ke Indonesia dan balik membawa kenang-kenangan ke negerinya? Begitu yang tersirat di balik surat yang disemburkan sebagai protes pada tahun 30 an itu. Dan Sudjojono melihat, bahwa sesungguhnya di balik keindahan panorama tersebut, terselip penderitaan bangsa yang hebat. Tersembunyi sebuah pemberontakan kemanusiaan yang luar biasa. Apakah Abdullah Suriosubroto dan kawan-kawannya tak merasakan itu?

Di tengah pertarungan kritik inilah figur Basoeki Abdullah kuat menonjol. Dibarengi nama-nama yang telah tersebut di atas, dan ditempel nama pelukis-pelukis Belanda yang ada di sini seperti van Mooyen, Carel Dake Jr. Locatelli, Myskowsky atau Covarrubias, Basoeki nampak berdiri paling kukuh. Bahkan eksistensinya bertahan sampai sekarang. Hingga ajal, pada tahun-tahun itu, pena kritik yang melalap "Mooi Indie" adalah sama dengan melahap kedudukan Basoeki Abdullah. Pada tahun 1937 misalnya, ketika Sudjojono menghujam eksistensi lukisan pemandangan Mooi Indie" yang senantiasa menerapkan trimurti gunung, kelapa dan sawah dalam kanvas-kanvasnya, Basoeki yang paling merasa terkena. Walaupun Sudjojono diam saja, karena tak tahu bagaimana harus membalas.

Basoeki Abdullah terhitung manusia yang tak bisa fasih serta lantang bercakap. Walaupun sesungguhnya ia bisa menulis. Karena itu, hembusan galak yang disemburkan Sudjojono, sepertinya dibiarkan berlalu saja. Meski sebenarnya ia sekali waktu mengantisipasi sebisanya. Misalnya, kecaman atas trimurti gunung, kelapa dan sawah itu berusaha diperhatikan dengan pengembangan tema yang bervariasi. Karya-karyanya lalu merambah ke daerah lukisan potret, legenda, dan sebagainya.

Namun apa yang dihasilkan toh tetap "Mooi Indie Dan pikiran Sudjojono yang sudah kuat tercanang, diwarisi oleh pengamat-pengamat lain sesudahnya. Trisno Sumardjo, penulis seni, dalam kitab Almanak Seni 1957 jelas-jelas melanjutkan pikiran Sudjojono itu. Khusus mengenai lukisan Basoeki ia berkata: perempuan-perempuan molek montok separoh ketelanjangan ala Hollywood "mewakili" masyarakat Indonesia. Yang jelas, dengan begitu, seni terdegradasi menjadi barang pasar kosong, dan rasa seni bangsa kita hancur."

Membaca itu konon Basoeki terkejut. la mengatakan, itu bukan suara Trisno Sumardjo, tetapi Sudjojono. Dan ia lantas "dendam" Dan"dendam" itu berusaha ia Junaskan lewat berbagai tindakan, yang barangkali berupa 'perubahan', 'pengembangan' atau 'kebandelan yang semakin menyulut pena revolusioner pendiri Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) itu. Dalam gemuruh pertikaian itu Affandi merambat dengan gaya langkahnya sendiri. Namun tak berarti ia tidak terlibat ke dalam kehidupan seni lukisan Basoeki Abdullah, yang dari awal nampak flamboyan tersebut.

Tahun 1935, Basoeki Abdullah pulang dari belajar seni lukis di Academie voor Beeldende Kunsten Den Haag. Dari Belanda, Basoeki tak langsung menuju Solo, kota kelahirannya. Tetapi menetap sementara di Bandung, di rumah adiknya, Legowo Abdullah. Kala itu, Affandi sedang berada di Bandung. Mendengar isyu kepintaran Basoeki pelukis akademis, teknik seni rupa yang langka dimiliki pelukis pribumi, Affandi ingin berguru kepada Basoeki. Dan datanglah Affandi ke rumahnya.

Namun yang terjadi selalu di luar dugaan. Konon Basoeki tak menyambut kedatangan Affandi ini dengan tangan terbuka. Affandi mengatakan, gaya hidup Basoeki sungguh tak sesuai dengannya, hingga ia juga tak bisa merasa cocok dengan gaya lukisan yang bakal dipelajarinya. Tapi di lain sisi, Hendra Gunawan (almarhum) menyebutkan, bahwa kegagalan Affandi belajar kepada Basoeki karena penolakan Basoeki Konon Basoeki mengatakan: memberikan pelajaran melukis kepada lain orang hanya akan melahirkan konkurensi!

Benarkah semuanya itu? Basoeki merasa sudah lupa dengan semuanya. Tetapi mengenai belajar seni lukis ia mengatakan, bahwa seni lukis itu tak bisa diajarkan. Karena itu, Affandi, yang tercatat sudah bisa berkarya, sebaiknya belajar sendiri. Dan Affandi memang melakukan itu. Keluar dari hidup mitos kepintaran Basoeki, ia bergabung lagi dengan Abedy, Hendra Gunawan, Sudarso, Wahdi dan Barli di Gang Wangsareja.

Gang yang punya sejarah besar dalam kehidupan seni lukisnya, di Bandung Perasaan-perasaan tak bersatu itu agaknya berjalan terus dari tahun ke tahun. Sungguh pun pada kesempatan-kesempatan tertentu, mereka toh bergabung. Pada tahun 1943 sampai 1945, ketika Jepang masuk, ketiga pelukis ini bernaung dalam Keimin Bunka Sidhoso. Mereka bertindak sebagai pengajar di pusat kebudayaan yang dikelola pemerintah Jepang itu. Tapi yang terjadi juga tidaklah lama. Ketika Jepang pergi dari bumi Indonesia, dan kemerdekaan bangsa berhasil dipetik, Basoeki, Sudjojono dan Affandi melintas-lintas lagi dengan kemerdekaannya sendiri. Dan pertikaian, diam-diam, menampak lagi.

Pertentangan pikiran tersebut mencuat ketika Affandi dan Sudjojono menyaksikan kenyataan Basoeki Abdullah memenangkan lomba melukis di Nicuw Kerk Amsterdam, tahun 1948. Lomba melukis "Penobatan Juliana Sebagai Ratu Belanda. Memang sulit dibayangkan, sementara bangsa Indonesia "remuk redam" karena clash II melawan Belanda di Yogyakarta, Basoeki sempat berpesta pora di negeri keju sana. Basoeki, di mata mereka, terkesan jauh dari sikap "pejuang".

Tapi, apakah sebenarnya yang ingin diperjuangkan oleh manusia yang bernama seniman? Seniman dilahirkan bukan untuk angkat senjata. Tapi untuk mengangkat martabat manusia dan bangsa, lewat karya seninya. Di Belanda, saya mengangkat gengsi bangsa Indonesia, lewat seni lukis yang saya ciptakan. Mereka menghargai saya, menghargai orang Indonesia" Begitu Basoeki menangkis. Mungkin bisa dibenarkan, melihat kenyataan sekarang bahwa lukisan Juliana itu disimpan sebagai benda pusaka di Museum Soestdijk, Amsterdam. Sebagai karya kenangan yang sangat dibanggakan, yang justru lahir dari tangan anak manusia dari bangsa yang pernah dijajah berabad-abad lalu.

Sudjojono, Basoeki Abdullah dan Affandi, tetap dengan sikap kuatnya, lalu berjalan menerobos zaman. Dan ia lantas menjadi besar, dengan caranya sendiri. Dengan warna gaya lukisannya sendin.

S. SUDJOJONO

Profil manusia gegap gempita

S. Sudjojono adalah termasuk salah satu pelukis yang sanggup mempertahankan eksistensinya sebagai yang terbaik di Indonesia. Orang seperti Sudjojono ini jarang Karena, mempertahankan kualitas kanvas selama setengah abad memang bukanlah kerja yang mudah. Kontinuitas kerjanya dituntut tak pernah henti. Semangatnya tak boleh padam. Dan gre get karyanya yang selalu berspirit muda, tidak boleh aus dimakan waktu. Maka bisakah dilihat, yang dihasilkan Sudjojono pada usianya di atas 70 tahun, tidaklah jauh berbeda dengan yang dikerjakan ketika ia 30 tahun. Walaupun bila disimak secara detail, stroke tangan tua seorang Sudjojono menyimpan getaran lain dengan besetan tangan mudanya dahulu. Tapi isi lukisan-lukisan bekas guru Taman Siswa ini tetaplah tak berubah.

S. Sudjojono lahir di Kisaran, Sumatera Timur. Ada yang mencatat tahun 1913. Ada pula yang menulis tahun 1917. Sementara dia sendiri memilih yang mana, tergantung situasi. Baharuddin Marasutan, kritikus seni rupa Indonesia, berkomentar lucu mengenai tahun kelahiran tokoh kita ini. "Ketika ia akan kawin dengan Pandan Wangi, ia mengaku lahir tahun tujuh belas katanya. Maksudnya 1917. Tapi kalau menghadapi Basoeki Abdullah, lahirnya jadi tahun 1913. Lebih dari Basoeki sendiri. Sehingga menang lua

Sudjojono memang memiliki sense of humor tinggi dalam menghadapi kehidupan diri dan kehidupan seni lukisnya. Karena itu, karya-karyanya, bila tidak puitis, sentimental penuh dengan emosi, ya cenderung memancing tawa. Karyanya sering karikatural.

Misalnya saja, ia pernah melukis seorang gelandangan yang mencari puntung dengan mengendarai sepeda Sementara tangan kanan

gelandangan itu gesit memainkan jepit puntung, tangan kirinya crat memegang payung pengayoman. Sementara itu pula, lihatlah, kepalanya santai menyunggi botol. Di atas botol terdapat talam. Di atas talam nampak wanita gemerlap sedang berpesta pora Sepeda gelandangan itu, lalu nampak berjalan gontai.

Akrobat sosial Ya. Dan di dalam lukisan itu tertulis puisi atau tulisan "Ah, indahnya negeriku. Langitnya cerah, lautnya biru. Carilah puisi sambil merokok. Orang bisa menikmatinya di botolku. Siapa yang

Dosa Hawa aku' Senyap dalam segala cuaca" Karya-karya Sudjojono umumnya enak dilihat. Ini bukan hanya karena isi lukisannya yang sarat kritik dan humor itu. Tapi juga karena jelmaan Ichniknya yang cukup tinggi, kasar dan terarah. Dengan sapuan-sapuan kuasnya yang liar.

Gerak batin Sudjojono tahun 1980 an adalah refleksi jiwanya yang progresif, yang muncul 50 tahun lalu.

Tahun 1937, ia mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) di Jakarta. Sebuah organisasi seniman gambar yang punya tujuan membentuk citra seni rupa nasionalistik, dengan keterlibatan total kepada perjuangan bangsa. Dalam organisasi penting ini ia duduk sebagai juru bicara dan sekretarisnya. Sementara Agus Djaya sebagai ketuanya.

Kenapa sebagai juru bicara, sejarah dengan mudah maklum la memang fasih menggerakkan lidah dan penanya. Otaknya lincah. Pikirannya pandai berkelit. Dan pengetahuannya banyak. Ucapan-ucapannya, lewat pilihan katanya yang unik dan mantap sangat sugestif dan mudah mempengaruhi orang. Sebuah brosurnya yang sangat terkenal berjudul, "Kami tahu, Kemana Seni Lukis Indonesia Hendak Kami Bawa"

Tak banyak memang manusia yang selain menyimpan keterampilan melukis, juga mencekal kepandaian menulis serta berbicara seperti Sudjojono ini. Dengan gaya tulis dan bicara yang gegap gempita.

Sudjojono, yang mulai belajar melukis pada Chioyi Yasaki, memiliki banyak karya monumental. Di antaranya ialah "Seko" lukisan perjuangannya. Juga lukisan raksasanya (3 kali 10 meter), "Pertempuran Sultan Agung melawan Jan Pieterszoon Coen Lukisan ini pesanan Gubernur Ali Sadikin, untuk kota Jakarta.

Kegemaran Sudjojono untuk terus melukis, dan menggemari melukis, nampaknya perlu diteliti. Mengapa?

"Ya, pertama karena saya senang, sehingga pekerjaan itu tak menjadi beban. Kedua karena saya bisa. Dan hanya itu kebiasaan saya, hingga saya merasa mesti menolak pekerjaan lain. Ketiga karena pekerjaan melukis saya anggap gampang Gampang dalam arti, saya tahu betul seluk beluknya, hingga semua bisa berjalan lempeng

Hidup tokoh kita ini sedari mula memang hanya dari seni lukisnya. Makan dari kanvas. Tidak makan juga karena kanvas. Dan pada awal karirnya, ia mengaku pernah hampir tewas karena kelaparan yang melilit. Tapi ia kukuh. Dengan karya-karyanya yang murni keluar dari lubuk jiwanya, ia mencari uang.

"Saya tak mau ngeteng dengan menuruti kehendak orang", katanya. Karenanya, orang yang faham segera saja mentransfer lukisan-lukisannya. Agus Djaya, sahabatnya, mempunyai 200 lukisan pastelnya. Almarhum Adam Malik mempunyai 90 sketsanya. ujarnya.

"Semua itu jadi bayem", Tapi bagaimanapun, kehidupan Sudjojono sekarang termasuk lumayan. Menempati rumah sekaligus studionya di daerah Pasar Minggu Jakarta, ia hidup rukun dengan Rose Pandanwangi, isterinya. Seorang penyanyi seriosa. Wanita Manado ini, juga memberikan les pano Pada masa tuanya, Sudjojono ngebut melukis Dahulu, katana, waktunya banyak tersedot organisasi, kegiatan ilmiah dan hal-hal administratif.

Sudjojono, agaknya masih takut ketinggalan sepur. 

R. BASOEKI ABDULLAH RA. Bapak Dua Puluh Menit

Raden Basoeki Abdullah, yang tanggal 27 Januari 1985 lalu genap berusia 70 tahun, figur yang bisa menggegerkan. Dengan caranya sendiri, dan dengan prestasi serta prestise yang secara "kontroversial" ia capai, masyarakat Indonesia memang dengan mudah bisa ia guncang. Dan Basoeki Abdullah, bisa memusatkan gerak guncangan itu dari segala lini. "Saya memang bergerak dari bawah untuk atas. Atau dari atas untuk bawah", katanya. Maka ia pun berbuatlah lewat seni lukisnya. Dari situ, kemudian, lahirlah ratusan lukisan lelaki brilyan ini. Dengan gaya sulut dan gelar pesona yang tak ada habisnya untuk dinikmati. Sekaligus dengan harkat dan nilai yang tak selesainya digunjingkan orang.

Semua orang tahu, dialah pelukis senior Indonesia yang paling hidup namanya. Paling populer dan jadi mitos. Dia pulalah pelukis Indonesia yang menempati sisi terdalam di hati masyarakatnya. Hingga, sekali ia tampil, ia seperti menggertak. Sekali Basoeki Abdullah hadir, ia seperti memanggil. Dan masyarakat pecinta seni pun berduyun-duyun datang. Dalam pameran tunggalnya di Taman Ismail Marzuki akhir tahun lalu, 60.000 pengunjung menyimak karyanya. Prestasi baru dalam sejarah pameran di sini

Basoeki Abdullah, akhirnya harus disebut sebagai figur kharismatik. Akan hal itu, ada satu perbandingan yang bisa dibicarakan secara menarik. Ketebalan kharisma Basoeki Abdullah, selayak kekuatan sorot jiwa seorang Rendra. Dua manusia ini memiliki ketegaran yang sama, walau barangkali berdiri pada kursi yang berbeda. Mereka adalah figur seni yang berhasil memikat publik untuk menonton dan memberikan tepuk tangan tak berkesudahan. Meski untuk semua itu publik harus membayar, misalnya. Rendra mengawali menonton acara puisi dengan tiket. Basoeki Abdullah memulai acara menonton pameran dengan karcis. Dan semuanya menghasilkan keplok gemuruh.

Pada bagian lain, apabila Rendra berhasil memancing reaksi banyak pejabat atas syair-syair pamfletnya, Basoeki Abdullah mampu mengundang orang-orang teras untuk berdiri lebih dekat dan mengapresiasi karya- karyanya. Dalam acara pamerannya di Hotel Hilton bulan Juni tahun lalu misalnya, setiap malam terjadi acara pertemuan dalam cocktail, antara pejabat pemerintah dan pengusaha di ruang pagelaran. Pengusaha Sudwikatmono menjamu kerabat Wapres Umar Wirahadikusumah. Pengusaha Boy Jayanegara, Setiawan Jodi, Soelarto dan Soedjono Respati, mengundang Emil Salim, Ginanjar Kartasasmita, Sri Sultan Hamengku Buwono serta Nani Sudarsono.

Kharisma sosok dan lukisan-lukisan Basoeki Abdullah, agaknya harus dilatih dengan kacamata tersendiri. Pergulatannya untuk terlibat dengan orang-orang teras, seperti melanjutkan upayanya untuk lebih dekat dengan orang-orang nomor satu di banyak negara, yang telah berpuluh tahun dirintisnya itu. Dari raja Muangthai Bhumibol Adulyadej dan Ratu Mon Ratchawong Sirikit, sampai Michael E. deBakey, itu ahli cangkok jantung kesohor Amerika. Dari Bung Karno, pak Harto sampai keluarga Marcos.

Upaya itu dibuka lewat potensinya yang tinggi dalam lukisan potret Kejelian matanya dan kepekaan rasa dan jiwanya dalam menangkap setiap karakter tokoh yang dilukiskan adalah satu hal yang membuat martabatnya segera naik. Dan diakui di mana-mana. Sampai-sampai seorang pencinta lukisan-lukisannya berucap tangan Basoeki menyimpan keterampilan malaikat!

Dari kebiasaan yang tampak tersebut, pelukis kelahiran Solo ini terus melangkah. Tetap realis, dan naturalistik. Nilai manis olah estetik Basoeki Abdullah bisa ditatap pada ciptaan-ciptaannya yang bertahun antara 1957 sampai 1965. Kedetailan atas obyek, serta permainan latar belakang dengan cahaya surgawi, adalah penggabungan keterampilan tangan dan imajinasinya yang tinggi. Lihat misalnya lukisan Ratna Sari Dewi, atau yang mencuplik mitologi semisal "Perkelahian Gatotkaca dan Antasena", dan beberapa yang lain. Sejumlah hasil kerja yang lahir dari bakatnya yang luar biasa, serta dari ketekunannya menggali ilmu di Akademi Kerajaan untuk seni rupa di Den Haag, ketika ia mendaki usia 20 tahun.

Akhir tahun 70 an sampai sekarang, Basoeki Abdullah banyak bermain impresi dalam sebagian karyanya, dengan sapuan-sapuan spontan. Jenis karya ini, menunjukkan bahwa ia tetap memiliki kecepatan dan ketepatan, ketika ia harus melukis potret misalnya. Hingga persis bila kerabat Kesultanan Brunei menyebut Basoeki Abdullah sebagai Mr. Twenty Minates. Pelukis yang juga pernah menempuh pendidikan di Paris dan Roma ini, memang hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk menggarap obyek dalam bentuk sket jadi

Basoeki Abdullah, cucu tokoh pergerakan Dr. Wahidin Sudirohusodo, acapkali disebut para ahli sebagai pelukis realis romantik. Segala yang dilukiskan, memang dilebihkan. Dan kenyataannya, dari "kelebihannya itu. Basoeki lantas menjadi "lebih dari pelukis-pelukis lain.***

AFFANDI

Antara vitalitas karya dan oncenya.

Siapakah yang tak mengenal nama Affandi? Mungkin banyak. Tetapi peminat seni rupa manakah yang tak tahu gaya dan sepak terjang pelukis Indonesia tersohor ini. Barangkali tak ada. Sebab, Affandi, tercatat sebagai pembaharu seni lukis Indonesia yang paling unik. Unik, bukan hanya dari perwujudan karyanya yang rapat garis dan warna-warna menggebu itu. Atau dari gaya pelukisannya yang ekspresionistik dan menampak coreng-moreng itu. Tetapi juga dari pernyataan-pernyataannya, yang umumnya amat merendah, meski terkadang terdengar kontroversial

Pernyataan mengenai dunia kesenimanan, misalnya. Ketika pada suatu kali ia disunggi oleh segala puji-puji, ia segera menetralisasi dengan jawaban "Jangan sebut saya seniman, saya hanya manusia biasa. Pernyataan yang aneh, dan sekaligus konotatif. Apakah seniman itu bukan manusia biasa. Ataukah memang, yang namanya seniman itu begitu tinggi, luhur, agung, melebihi manusia biasa?

Banyak orang menganggap Affandi kala itu salah mengucapkan pikirannya. Tapi banyak orang pula yang mengatakan bahwa itu adalah bahasa "kecongkakan Affandi, yang sebenarnya punya kepandaian berkilah, dan berpikir jernih la taktis dalam kesederhanaan kata-katanya, la sama sekali bukan "orang bodoh" seperti yang sering diakukannya sendiri.

Affandi yang rendah hati, adalah Affandi yang jenial. Affandi lahir di Cirebon tahun 1907. Tanggal dan bulan berapa, ia sendiri tak tahu. Tetapi bahwa ia adalah anak ketiga dari 7 bersaudara keluarga Kusuma, ia ingat benar.

Melukis sejak kanak-kanak, perjalanan karir Affandi berjalan mencapai puncaknya dengan tak banyak belokan. Tetapi yang dihasilkan adalah suatu karya cipta yang gemuruh. Yang mencerminkan ledakan vitalitas yang belum ada duanya di Indonesia. Bahkan menyinggung gaya ciptanya yang sungguh energik itu, tak nampak dalam ensiklopedi seni rupa mana pun di bumi ini. Kecuali hanya pengaruh jiwa, atau ruh, yang dekat dengan Vincent van Gogh atau Oscar Kokoscha

Pada mulanya Affandi melukis realis, sebagaimana pelukis-pelukis lain mengawali dunianya. Tetapi yang dihasilkan Affandi agaknya berbeda dengan banyak orang. Karya realisme Alfandi yang tak banyak itu, justru menjadi semacam monumen besar yang menggamit kepercayaan pengamat, bahwa ia memang pelukis yang bukan main. Simak misalnya lukisan "Ibu yang dibikinnya tahun 1940, yang kini jadi koleksi Direktorat Kesenian itu.

Dari sanalah ia bertolak, berjalan secara pasti menuju karya ekspresionismenya yang sekarang. Yang serba ramai, riuh rendah dan "kusut" tersebut.

Affandi memulai penciptaannya dengan duduk termenung di depan kanvasnya. Semenit dua menit, sampai kemudian ia mengambil setube cat di sampingnya. Kemudian dipelototkan tube itu. Dan cat pun dengan hebat melekat di kanvas sesuai dengan bentuk yang digambarkan. Bisa babi-babi, bisa pengemis, bisa ayam jago yang sekarat dan bisa wajahnya sendiri.

Selesai bentuk itu dimanifestasikan, ia sempat mengamati sebentar. Kemudian, jari-jarinya yang tegar menari di kanvas yang penuh pelototan itu. Sekali-sekali dicelupkannya jarinya ke dalam minyak cat. Dan dibasuhkannya ke atas kanvas. Dan ketika ia sudah menuliskan huruf A (yang mirip atap rumah) di sisi bidang kanvasnya, selesailah sudah pekerjaannya, untuk sementara. Sebelum ia disuruh dirinya sendiri untuk melukis lagi.

Mendengar cara kerja Affandi, mungkin banyak orang yang bosan. Tetapi mendengar Affandi berbicara soal rokok, sponsor dan perdagangan karyanya, barangkali merupakan hal yang lebih menarik.

Suatu hari di bulan Agustus tahun 1979, Affandi terlihat santai di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di mulutnya terjepit once (pipa rokok). Dan Affandi tetap merokok bagai lokomotif. Tembakau selalu siap dalam plastik pembungkus yang sangat sederhana, bagai pembungkus kacang

"Kenapa tidak merokok kretek saja pak? "Saya menikmati rokok, bukan untuk menatap rokok", jawabnya. Ternyata artinya begini merokok kretek banyak menghasilkan serpih- serpih tembakau panas yang meloncat dari batangnya. Ya kalau ke tanah. Kalau ke baju? Kan bolong. Untuk menghindari serpih itu, perokok harus memperhatikan rokok kreteknya terus. Kan berabe.

Kala itu Affandi sedang mempersiapkan pameran lukisannya bersama sang isteri, Maryati, dan anak, Kartika. Pameran keluarga? Ya. Pameran ini disponsori pabrik rokok. Affandi sudah mulai main iklan dengan pabrik rokok? Ternyata tidak

"Justru itu yang saya tak mau", tukasnya "Dalam pameran dengan sponsor ini saya selalu mengajukan dua syarat. Pertama sponsor tak bolch memakai nama saya untuk mengiklankan barang dagangannya. Misalnya, lihat Affandi sekarang merokok Anu! Dan sebagainya. Kedua, lukisan saya dalam pameran itu, harus laku paling sedikit sepuluh buah! Lho. Kalau tak laku?

"Ya sponsor harus membelinya."

Menghadapi persyaratan unik sekaligus berat itu sponsor, setidaknya sampai saat itu, tak terlampau repot. Sebab dalam pameran-pameran terdahulu, luknan Affandi selalu laku di atas 10. Ketika pameran di Medan, laku 14 buah. Di Surabaya, laku semua. Kala itu yang dipamerkan sebanyak 28 buah. Harganya? Kala itu, antara 1 sampai 2 juta rupiah. Sementara harga lukisan Alfandi sekarang, sekitar 4 juta rupiah

Melihat cara berpikir Affandi itu, siapakah yang percaya bahwa Affand tak bisa berdagang karyanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun