Dari sanalah ia bertolak, berjalan secara pasti menuju karya ekspresionismenya yang sekarang. Yang serba ramai, riuh rendah dan "kusut" tersebut.
Affandi memulai penciptaannya dengan duduk termenung di depan kanvasnya. Semenit dua menit, sampai kemudian ia mengambil setube cat di sampingnya. Kemudian dipelototkan tube itu. Dan cat pun dengan hebat melekat di kanvas sesuai dengan bentuk yang digambarkan. Bisa babi-babi, bisa pengemis, bisa ayam jago yang sekarat dan bisa wajahnya sendiri.
Selesai bentuk itu dimanifestasikan, ia sempat mengamati sebentar. Kemudian, jari-jarinya yang tegar menari di kanvas yang penuh pelototan itu. Sekali-sekali dicelupkannya jarinya ke dalam minyak cat. Dan dibasuhkannya ke atas kanvas. Dan ketika ia sudah menuliskan huruf A (yang mirip atap rumah) di sisi bidang kanvasnya, selesailah sudah pekerjaannya, untuk sementara. Sebelum ia disuruh dirinya sendiri untuk melukis lagi.
Mendengar cara kerja Affandi, mungkin banyak orang yang bosan. Tetapi mendengar Affandi berbicara soal rokok, sponsor dan perdagangan karyanya, barangkali merupakan hal yang lebih menarik.
Suatu hari di bulan Agustus tahun 1979, Affandi terlihat santai di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di mulutnya terjepit once (pipa rokok). Dan Affandi tetap merokok bagai lokomotif. Tembakau selalu siap dalam plastik pembungkus yang sangat sederhana, bagai pembungkus kacang
"Kenapa tidak merokok kretek saja pak? "Saya menikmati rokok, bukan untuk menatap rokok", jawabnya. Ternyata artinya begini merokok kretek banyak menghasilkan serpih- serpih tembakau panas yang meloncat dari batangnya. Ya kalau ke tanah. Kalau ke baju? Kan bolong. Untuk menghindari serpih itu, perokok harus memperhatikan rokok kreteknya terus. Kan berabe.
Kala itu Affandi sedang mempersiapkan pameran lukisannya bersama sang isteri, Maryati, dan anak, Kartika. Pameran keluarga? Ya. Pameran ini disponsori pabrik rokok. Affandi sudah mulai main iklan dengan pabrik rokok? Ternyata tidak
"Justru itu yang saya tak mau", tukasnya "Dalam pameran dengan sponsor ini saya selalu mengajukan dua syarat. Pertama sponsor tak bolch memakai nama saya untuk mengiklankan barang dagangannya. Misalnya, lihat Affandi sekarang merokok Anu! Dan sebagainya. Kedua, lukisan saya dalam pameran itu, harus laku paling sedikit sepuluh buah! Lho. Kalau tak laku?
"Ya sponsor harus membelinya."
Menghadapi persyaratan unik sekaligus berat itu sponsor, setidaknya sampai saat itu, tak terlampau repot. Sebab dalam pameran-pameran terdahulu, luknan Affandi selalu laku di atas 10. Ketika pameran di Medan, laku 14 buah. Di Surabaya, laku semua. Kala itu yang dipamerkan sebanyak 28 buah. Harganya? Kala itu, antara 1 sampai 2 juta rupiah. Sementara harga lukisan Alfandi sekarang, sekitar 4 juta rupiah
Melihat cara berpikir Affandi itu, siapakah yang percaya bahwa Affand tak bisa berdagang karyanya.