Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Seni

Tiga Warna Seni Rupa Indonesia - Seniman Itu Seksi

7 September 2024   16:30 Diperbarui: 7 September 2024   18:58 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dan Artikel dari katalog Pameran Tiga Warna Seni Rupa Indonesia di Galeri Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol Jakarta thn 1985 dariInput sumber ga

Namun yang terjadi selalu di luar dugaan. Konon Basoeki tak menyambut kedatangan Affandi ini dengan tangan terbuka. Affandi mengatakan, gaya hidup Basoeki sungguh tak sesuai dengannya, hingga ia juga tak bisa merasa cocok dengan gaya lukisan yang bakal dipelajarinya. Tapi di lain sisi, Hendra Gunawan (almarhum) menyebutkan, bahwa kegagalan Affandi belajar kepada Basoeki karena penolakan Basoeki Konon Basoeki mengatakan: memberikan pelajaran melukis kepada lain orang hanya akan melahirkan konkurensi!

Benarkah semuanya itu? Basoeki merasa sudah lupa dengan semuanya. Tetapi mengenai belajar seni lukis ia mengatakan, bahwa seni lukis itu tak bisa diajarkan. Karena itu, Affandi, yang tercatat sudah bisa berkarya, sebaiknya belajar sendiri. Dan Affandi memang melakukan itu. Keluar dari hidup mitos kepintaran Basoeki, ia bergabung lagi dengan Abedy, Hendra Gunawan, Sudarso, Wahdi dan Barli di Gang Wangsareja.

Gang yang punya sejarah besar dalam kehidupan seni lukisnya, di Bandung Perasaan-perasaan tak bersatu itu agaknya berjalan terus dari tahun ke tahun. Sungguh pun pada kesempatan-kesempatan tertentu, mereka toh bergabung. Pada tahun 1943 sampai 1945, ketika Jepang masuk, ketiga pelukis ini bernaung dalam Keimin Bunka Sidhoso. Mereka bertindak sebagai pengajar di pusat kebudayaan yang dikelola pemerintah Jepang itu. Tapi yang terjadi juga tidaklah lama. Ketika Jepang pergi dari bumi Indonesia, dan kemerdekaan bangsa berhasil dipetik, Basoeki, Sudjojono dan Affandi melintas-lintas lagi dengan kemerdekaannya sendiri. Dan pertikaian, diam-diam, menampak lagi.

Pertentangan pikiran tersebut mencuat ketika Affandi dan Sudjojono menyaksikan kenyataan Basoeki Abdullah memenangkan lomba melukis di Nicuw Kerk Amsterdam, tahun 1948. Lomba melukis "Penobatan Juliana Sebagai Ratu Belanda. Memang sulit dibayangkan, sementara bangsa Indonesia "remuk redam" karena clash II melawan Belanda di Yogyakarta, Basoeki sempat berpesta pora di negeri keju sana. Basoeki, di mata mereka, terkesan jauh dari sikap "pejuang".

Tapi, apakah sebenarnya yang ingin diperjuangkan oleh manusia yang bernama seniman? Seniman dilahirkan bukan untuk angkat senjata. Tapi untuk mengangkat martabat manusia dan bangsa, lewat karya seninya. Di Belanda, saya mengangkat gengsi bangsa Indonesia, lewat seni lukis yang saya ciptakan. Mereka menghargai saya, menghargai orang Indonesia" Begitu Basoeki menangkis. Mungkin bisa dibenarkan, melihat kenyataan sekarang bahwa lukisan Juliana itu disimpan sebagai benda pusaka di Museum Soestdijk, Amsterdam. Sebagai karya kenangan yang sangat dibanggakan, yang justru lahir dari tangan anak manusia dari bangsa yang pernah dijajah berabad-abad lalu.

Sudjojono, Basoeki Abdullah dan Affandi, tetap dengan sikap kuatnya, lalu berjalan menerobos zaman. Dan ia lantas menjadi besar, dengan caranya sendiri. Dengan warna gaya lukisannya sendin.

S. SUDJOJONO

Profil manusia gegap gempita

S. Sudjojono adalah termasuk salah satu pelukis yang sanggup mempertahankan eksistensinya sebagai yang terbaik di Indonesia. Orang seperti Sudjojono ini jarang Karena, mempertahankan kualitas kanvas selama setengah abad memang bukanlah kerja yang mudah. Kontinuitas kerjanya dituntut tak pernah henti. Semangatnya tak boleh padam. Dan gre get karyanya yang selalu berspirit muda, tidak boleh aus dimakan waktu. Maka bisakah dilihat, yang dihasilkan Sudjojono pada usianya di atas 70 tahun, tidaklah jauh berbeda dengan yang dikerjakan ketika ia 30 tahun. Walaupun bila disimak secara detail, stroke tangan tua seorang Sudjojono menyimpan getaran lain dengan besetan tangan mudanya dahulu. Tapi isi lukisan-lukisan bekas guru Taman Siswa ini tetaplah tak berubah.

S. Sudjojono lahir di Kisaran, Sumatera Timur. Ada yang mencatat tahun 1913. Ada pula yang menulis tahun 1917. Sementara dia sendiri memilih yang mana, tergantung situasi. Baharuddin Marasutan, kritikus seni rupa Indonesia, berkomentar lucu mengenai tahun kelahiran tokoh kita ini. "Ketika ia akan kawin dengan Pandan Wangi, ia mengaku lahir tahun tujuh belas katanya. Maksudnya 1917. Tapi kalau menghadapi Basoeki Abdullah, lahirnya jadi tahun 1913. Lebih dari Basoeki sendiri. Sehingga menang lua

Sudjojono memang memiliki sense of humor tinggi dalam menghadapi kehidupan diri dan kehidupan seni lukisnya. Karena itu, karya-karyanya, bila tidak puitis, sentimental penuh dengan emosi, ya cenderung memancing tawa. Karyanya sering karikatural.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun