Sementara mereka semua berkabung. Jiwa anak laki-laki itu, semakin lama semakin menjauh dari jasadnya, dari Kepulauannya, dari bumi, dan sampai ke suatu tempat entah dimana itu. Semuanya berwarna putih, dan hanya ada dia sendirian di tempat itu. Anak laki-laki itu mendecakkan lidahnya, dia baru teringat akan permohonannya pada Sang Bintang saat itu. Yaitu, agar dia bisa meninggal dengan tenang saat dia mulai merasakan hari pertamanya di sekolah.
Oh, jadi benarkah Sang Bintang mengabulkan permohonannya itu? Dia tidak pernah mengira bahwa saat moment ‘Bintang Jatuh’ semua harapan akan terkabulkan. Namun, ternyata ketidak percayaannya itu sudah dibuktikan menjadi sebuah kenyataan, yang menyebabkan dirinya bisa sampai di tempat yang semuanya putih, dan dia sendirian.
Dilihatnya, ada secercah cahaya yang kian lama kian mendekati dirinya. Kedua mata Adam perlahan-lahan menyipit. Berusaha lebih jelas melihat secercah cahaya itu. Antara percaya atau tidak, mungkin waktunya untuk ‘bergentangan’ sudah habis. Sayang sekali.
“Kau, Adam, ikut aku.”
“Kemana?”
“Ke suatu tempat, peristirahatan terakhirmu, tempat dimana kau diadili.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Puisi Selengkapnya