Mohon tunggu...
Ipan Yefta
Ipan Yefta Mohon Tunggu... -

Simple ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

PERMINTAAN "ADAM"

28 Agustus 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tebak! Ada orang yang ingin membiayai sekolahku. Ini sangat luar-luar-luar biasa, Bu, Yah. Aku tidak pernah menyangka akan mendapatkan hal yang paling terbaik di dunia ini setelah kalian berdua kumiliki sebagai orang tuaku!” seru Adam panjang lebar.

Orang tuanya pun menitikkan air mata mereka, kemudian memeluk erat anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki keluarga itu. Walaupun hidup mereka pas-pasan, namun mereka saling menghormati, mencintai, dan melindungi sesama. Kegembiraan itupun melarut setelah mereka mengabiskan waktu untuk bersantap malam, dan berbincang-bincang tentang pelajaran apa saja yang akan Adam pelajari nanti di sekolah. Terdengar, bunyi jangkrik yang membuat malam itu sama sekali tidak hening di sekitar rumahnya.

Tubuh Adam pun telah berbaring di atas tempat tidurnya yang hanya berupa tikar yang terbuat dari bambu. Kedua matanya sulit untuk tertutup, dia tidak mampu tertidur. Entahlah. Apa mungkin dia terlalu bahagia dengan hari esok? Hari dimana pertama kali dia merasakan sekolah? Sebagai seorang anak yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama? Kedua mata hitamnya menerawang langit-langit kamarnya, dia membayangkan berapa ilmu yang besok akan dia dapat. Cepatkan malam ini, dia ingin terbangun saat Fajar tampak dari tempat persembunyiannya, di bawah garis langit itu.

***

Burung bersiul dengan merdu, menyambut datangnya pagi hari. Dari pukul lima pagi tadi, Adam telah terjaga dari bunga tidurnya. Sekarang, dia sedang tiduran di atas padang rumput—tempat favoritnya—, wajahnya memperhatikan Sang Fajar yang perlahan-lahan mulai menampakkan wujudnya di angkasa. Bintang-bintang pun juga telah menghilang entah kemana, dan moment pada saat itu benar-benar dinikmatinya dengan khidmat. Angin berhembus dari arah yang berlawanan, membuat rerumputan itu bergerak lagi sesuai arah angin. Sementara itu, Adam hanya bisa tersenyum. Tasnya yang berisi buku-buku dan alat tulis tepat berada di sebelah kirinya. Baju seragam putih-biru beserta dasi dikenakannya dengan rapi. Rambutnya yang berwarna hitam, baru ia sisir tadi pagi. Sepatu yang dia miliki satu-sautnya, walaupun sudah ada beberapa tambalan di permukaan sepatu itu, dikenakan Adam juga. Atribut lengkap ini hanya untuk mewujudkan rasa bangga dan hormatnya pada sekolah.

Akhirnya, perjuangan selama ini sama sekali tidak sia-sia. Dimana pertama kali dia mulai mengenal sesuatu yang bernama ilmu, sampai setiap hari dia harus mengendap-endap ke sekolah, hanya karena ingin membaca buku yang ada di dalam perpustakaan sekolah itu. Sebelum mengenal ilmu, Adam menganggap hidupnya sangat hampa. Walaupun dia sudah melakukan semua kegiatan yang dianggapnya ‘menarik’, dan ternyata sama sekali tidak menarik. Dia harus berterima kasih kepada seorang yang membuat ilmu. Tanpa orang itu, pasti tidak ada hari ini, bukan?

Ayam berkokok di arah selatan tak jauh dari tempat Adam berada sekarang. Dia beranjak dari tidurnya, kemudian berjalan perlahan-lahan sesuai ritme yang sama. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat, karena hari ini hari pertama ia sekolah. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan yang sangat berharga bagi dirinya saat ini. Dihela napasnya dengan berat seraya dia berjalan menuju sekolah itu. Tinggal beberapa meter lagi anak laki-laki itu sampai di tempat tujuannya.

Adam sekarang sudah berdiri tepat di depan gerbang itu, pandangannya memperhatikan bangunan yang berdiri di depannya. Dia memikirkan semuanya, tidak mau menggagalkan kesempatannya sekali ini. Diapun akhirnya melangkahkan kakinya, memasuki gedung tersebut. Dia berjalan menuju ruang kelas bertuliskan 2-2. Rambut hitamnya mengkilat di bawah sinar matahari. Diperhatikannya beberapa murid yang sedang bersenda gurau dengan kawan-kawannya, dan pada akhirnya, dia duduk di barisan paling depan.

Beberapa pasang mata memperhatikan keberadaan Adam sebagai anak baru di kelas tersebut. Ada beberapa anak yang berkenalan dengan anak laki-laki yang berwajah pucat tersebut, ada juga yang terdiam saja, tidak melakukan apapun, kecuali memperhatikan anak baru dan berbisik ke seorang teman yang duduk di sebelahnya. Bel sekolah pun berdentang tiga kali, dan seorang anak laki-laki yang datang paling terlambat, duduk di sebelah Adam. Adam hanya memperhatikan anak itu, sampai pada akhirnya anak yang berambut acak-acakan itu mengulurkan lengannya untuk berjabat tangan dengan Adam.

“Oi, anak baru, eh?” sapa anak itu, penasaran.

“Ya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun