Metafora dalam dunia ilmu pengetahuan selain dapat memperjelas suatu pemikiran ilmiah atau suatu posisi ilmu pengetahuan, juga acap kali dipakai para ilmuwan karena mereka kekurangan atau kehabisan kosa kata ilmiah untuk mendeskripsikan suatu fenomena alam. Atau, lebih mungkin, karena jagat raya ini atau dunia ilmu pengetahuan memang penuh dengan hal-hal yang menyentuh dan menggugah kalbu, jiwa dan pikiran sehingga para ilmuwan condong menjadi insan-insan artistik puitik.
Karena memasuki dunia "adinilai", maka ilmu pengetahuan juga bergerak dalam nilai-nilai yang agung, adinilai, nilai-nilai yang "luar biasa besar", dengan kata lain: nilai-nilai transenden. Jadi, selain berurusan dengan fakta-fakta objektif, ilmu pengetahuan juga masuk ke dunia etika.
Karena agama juga kait-mengait dengan dunia-dunia lain yang dipersepsi lebih tinggi dan lebih bernilai, katakanlah dunia para malaikat dan Tuhan yang diyakini penuh pesona dan ketakjuban besar, maka setiap agama tidak bisa lepas dari metafora-metafora.
Yesus tahu betul hal itu. Alhasil, Yesus mengajar dengan banyak metafora, yakni perumpamaan-perumpamaan-Nya dan pepatah-pepatah-Nya yang menggugah jiwa dan menggedor pintu hati dan pikiran. Ada ajaran Yesus untuk kalangan umum (ajaran eksoteris), dan ada juga ajaran tambahan khusus untuk murid-murid inti-Nya, "inner circle" (ajaran bagi kalangan sendiri, kelompok esoteris). Di sinilah ilmu pengetahuan berbeda, karena tidak ada ilmu pengetahuan esoteris, cuma untuk kalangan sendiri.
Tentu saja, sudah sangat lama orang mengklaim bahwa nilai-nilai kehidupan atau "life values" adalah urusan terpenting semua agama. Bahkan, bagi kalangan keagamaan yang ekstrim, nilai-nilai kehidupan hanya dimonopoli oleh agama, sudah tertulis harga mati dalam teks-teks keagamaan. Kata mereka, sains tidak bisa dan tidak berhak berbicara atau berurusan dengan nilai-nilai.
Uupps... tentu saja klaim kalangan ekstrim keagamaan tersebut berlebihan, totalitarian, dan meleset. Sebab sains juga memberi nilai-nilai yang sangat luas dan multidimensional, mengevaluasi nilai-nilai, dan membarui nilai-nilai kehidupan terus-menerus.
Lepas dari aspek-aspek bisnis dan politik dari perusahaan farmasi dan negara, para ilmuwan yang bekerja keras untuk mengembangkan vaksin-vaksin Covid-19 dan menjalankan uji-uji klinis adalah orang-orang cerdas dan berhati mulia yang sedang berjuang memelihara, mempertahankan dan menyelamatkan kehidupan manusia lewat vaksin-vaksin yang aman, manjur atau efektif dan "up-to-date". Nah, jelas terlihat, baik para ilmuwan vaksin, ilmu vaksinologi, maupun vaksin-vaksin yang mereka kembangkan, juga sarat dengan nilai-nilai kehidupan.
Nah, semua pemaparan di atas menimbulkan sejumlah implikasi praktis yang penting dan serius.
Karena bahasa keagamaan adalah bahasa subjungtif, maka beragama adalah berharap, menanti, menunggu, bercita-cita, mempercayai sesuatu, merindukan, memimpikan atau mengangan-angankan sesuatu yang belum ada sekarang. Belum terbukti objektif empiris ada.
Alhasil, beragamalah dengan rendah hati dan berpikiran luas, tidak bisa sombong-sombongan, tidak cupet. Dan terbukalah pada banyak pilihan spiritualitas dan beranekaragam penafsiran. Bangun dunia ini. Bangun dan bela kehidupan. Hindari dan cegah kematian.