Jika sebagai seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan yang besar, anda juga memiliki dan mempraktekkan empati dan belarasa, maka masyarakat anda dan dunia ini, tentu juga perusahaan anda, bangsa dan negara anda, akan makin sehat, sejahtera, berbahagia, kuat dan kohesif, dan siap untuk berkembang dan maju makin jauh ke depan.
Jika itu yang menjadi visi anda, maka sebagai seorang pemimpin, anda akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi seorang penguasa atau seorang pemimpin yang baik, yang cerdas, yang bercahaya di tengah para begundal yang berperilaku buruk, durjana, gelap, dan tidak pantas.Â
Jika kehidupan anda berisi penuh belarasa, pastilah tidak berlaku bagi anda apa yang ditulis Machiavelli dalam The Prince bahwa "siapapun yang mencoba menjadi orang yang selalu baik setiap saat, niscaya akan menjadi reruntuhan di tengah-tengah sejumlah besar orang yang buruk. Karena itu, seorang pangeran yang ingin tetap berkuasa haruslah belajar tentang bagaimana caranya untuk tidak menjadi orang baik, lalu memakai pengetahuan itu, atau, jika diperlukan, tidak menggunakannya."
Empati dan belarasa yang otentik tidak dapat direkayasa. Jika ada orang yang jahat dan tamak kekuasaan dan uang berpura-pura memiliki empati dan belarasa demi kepentingan politik mereka, kepura-puraan mereka ini tidak akan bertahan lama karena memang sangat menyiksa batin dan pikiran mereka sendiri.
Sekarang ini dan seterusnya, negeri Indonesia memerlukan pemimpin-pemimpin puncak yang bukan saja harus cerdas akal, tapi juga harus cerdas sosial, yakni memiliki empati dan belarasa yang otentik, bukan yang bermental Machiavellian.
22 Februari 2018
ioanes rakhmat
☆ Update mutakhir 20 Maret 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI