
Kapasitas mental fondasional bawaan lahir ini membuat bayi-bayi, yang belum bisa berkomunikasi lisan, memilih untuk menyukai orang dewasa yang memiliki sifat suka menolong dan menghibur bayi lain yang sedang menangis, dan tidak membenarkan dan tidak suka pada individu dewasa lain yang bersikap cuek terhadap bayi lain yang sedang mewek. Hal ini ditemukan Kiley Hamlin dkk dari Yale University di tahun 2007 lewat observasi mereka.
Bayi-bayi usia 4 bulan dan 12 bulan diperlihatkan video-video yang menayangkan adegan seorang perempuan sedang melipat pakaian sementara di dekatnya ada seorang bayi yang terdengar sedang menangis. Bayi-bayi itu lebih lama menatap layar ketika perempuan itu mengabaikan si bayi yang sedang mewek itu. Sikap bayi-bayi ini menunjukkan bahwa mereka sangat berharap si perempuan itu segera mendatangi si bayi itu dan menghiburnya.

Temuan terbaru tentang hubungan gen dan empati baru saja dipublikasi online 12 Maret 2018. Adakah peran genetik dalam empati?Â
Riset yang dilakukan kooperatif antara para peneliti dari Universitas Cambridge, UK, Institute Pasteur, Universitas Paris Diderot di Paris, dan perusahaan analisis genetik personal 23andMe, mengavaluasi empati berdasarkan nilai-nilai Empathy Quotient (EQ) para partisipan yang mengisi kuesioner (60 pertanyaan) dan analisis genetik lewat saliva (liur) masing-masing. EQ yang diukur mencakup empati kognitif (kemampuan untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain) dan empati afektif (kapasitas mental untuk merespons emosi orang lain dengan emosi yang tepat).
Riset Varun Warrier dkk tersebut dilakukan terhadap 46.861 orang (laki dan perempuan) lewat analisis DNA mereka dengan memakai metode analisis statistik yang dinamakan "Genome-Wide Association" (GWA). Inilah riset GWA terbesar sejauh ini. Mereka berhasil menunjukkan ada hubungan antara variasi-variasi genetik (yang tak berhubungan dengan seksualitas) dan perubahan-perubahan empati (juga hubungan dengan autisme, anorexia nervosa, skizofrenia, dan extraversi).
Dengan menganalisis 10 juta varian genetik, Varun Warrier dkk menemukan fakta bahwa varian-varian kecil genetik ini (tidak disebut secara spesifik gen-gen yang dimaksud) secara kolektif berkontribusi 10 (atau 11) persen terhadap perbedaan-perbedaan tingkat empati. Kita sudah ketahui, berbagai gen berperan lumayan dalam membentuk keseluruhan perilaku manusia, termasuk kekerasan dan agresi, yakni 30 persen hingga 50 persen menurut temuan kajian-kajian terhadap orang kembar dan orang satu keluarga seperti yang dilakukan Peter K. Hatemi dkk (silakan baca di sini).
Dolores Garcia-Arocena, Ph.D., dalam artikelnya "The Genetics of Violent Behavior", The Jackson Laboratory, December 2015, menyatakan hal berikut ini (lihat di sini):
"Menurut suatu meta-analisis data dari 24 studi informatif genetik, sampai 50% dari total anekaragan perilaku agresif dijelaskan timbul karena pengaruh-pengaruh genetik."
"Berdasarkan kajian-kajian atas sejumlah besar orang kembar dan orang sesaudara yang berlangsung selama 4 dasawarsa, disimpulkan bahwa pengaruh genetik pada kejahatan orang muda diperkirakan mencapai 50%."