Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kekuasaan, Empati, dan Belarasa

22 Februari 2018   16:28 Diperbarui: 20 Maret 2018   16:23 1842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Empati dan belarasa lewat sentuhan

Tentang studi GWA terbesar yang disebut di atas, selengkapnya lihat laporan format Pdf hasil riset Varun Warrier, Roberto Toro, Simon Baron-Cohen et al., "Genome-Wide Analyses of self-reported empathy: Correlations with autism, schizophrenia, and anorexia nervosa", Translational Psychiatry 8:35 (2018), diterbitkan online 12 Maret 2018, di sini. Lihat juga Olivia Goldhill, "Your ability to empathise is determined by your genes", World Economic Forum and Quarts, 15 March 2018, di sini.

Ditemukan juga, kaum perempuan (50,4 dari 80) lebih empatetis dibandingkan pria (41,9), tapi bukan karena faktor genetik, tapi lantaran perbedaan cara anak laki-laki dan anak perempuan diasuh dan dibesarkan, pengalaman hidup dan gaya pergaulan sosial (dan mungkin juga karena faktor-faktor hormonal dalam rahim saat seorang perempuan sedang hamil). Selanjutnya lihat Victoria Allen, "Women AREN'T genetically-wired to be more empathetic than men but are more caring 'due to how they are brought-up", DailyMail, 11 Maret 2018 (updated 12 Maret 2018), di sini.

Perlu diingat bahwa kendati empati dipengaruhi gen sampai 10 persen, ini tidak berarti bahwa empati itu statis dan tidak dapat dikontrol. Ada faktor lingkungan hidup dan faktor budaya juga (misalnya cara dan suasana seseorang diasuh dan dididik sejak usia dini) yang memberi andil dominan dalam menentukan ada atau tidak adanya empati dalam diri seseorang, dan dalam meningkatkannya dari empati hanya kepada sesama anggota "in-group" menjadi empati kepada kalangan "out-group" lalu ke "empati universal" yang ditujukan dengan ikhlas kepada beranekaragam sesama manusia penghuni satu planet Bumi.

Nah, sekarang kita beralih fokus ke topik kekuasaan besar yang dijalankan tanpa empati. Kita umumnya sudah mengetahui sejarawan dan politikus Inggris John Emerich Edward Dalberg-Acton, yang lebih dikenal sebagai Lord Acton (1834-1902). Beliau termashyur lewat sebuah pernyataan pendeknya bahwa "kekuasaan cenderung korup. Kekuasaan yang absolut, korup dalam segala hal." 

Ya, apa yang dikatakan Acton tetap benar hingga saat ini sejauh anda menjalankan kekuasaan model Machiavellian yang membenarkan setiap penguasa, demi tetap berkuasa, untuk bertindak impulsif dan sewenang-wenang dan mematikan kemampuan mental mereka untuk memahami perasaan dan keinginan serta sikon kehidupan orang lain. 

Niccolò Machiavelli (1469-1527) dalam karyanya yang terbit di abad ke-16, The Prince, menulis bahwa "jauh lebih aman dan terjamin jika anda ditakuti alih-alih dicintai." Lima ratus tahun setelahnya, Robert Greene menjabarkan perspektif kekuasaan Machivellian dalam bukunya yang laku keras yang berjudul 48 Laws of Power. Kedua orang ini membuat banyak orang percaya bahwa untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, orang perlu menggunakan kekuatan pemaksa, tipudaya, pemelintiran fakta, manipulasi dan tekanan-tekanan fisik dan psikis dalam segala cara.

Namun, menurut Dacher Keltner dalam artikelnya "The Power Paradox" (baca di sini), kekuasaan yang dibangun menurut model Machiavellian kini makin terdesak oleh suatu model lain kekuasaan yang "berakar pada kecerdasan sosial, tanggungjawab dan kerjasama." 

Sesungguhnya, kajian-kajian mutakhir tentang kekuasaan menunjukkan bahwa pendapat dan keyakinan Machiavellian keliru total. Di sisi lain, para neurosaintis juga sudah menemukan fakta bahwa kerusakan pada bagian otak yang dinamakan lobus orbitofrontalis menimbulkan sikap dan kelakuan yang sangat impulsif dan mati rasa pada manusia. Sangat mungkin, kondisi gangguan dan kerusakan bagian otak ini dialami banyak penguasa Machiavellian.

Lobus orbitofrontalis, yang biasa juga disebut korteks orbital (terletak di bagian pusat otak yang mencakup sistim limbik, dan dasar lobus frontalis dan lobus temporalis), terlibat dalam pengaturan emosi, impuls, moralitas dan agresi. Tingkat kemampuan berempati ditentukan juga oleh level aktivitas di korteks ini.

Lewat pemindaian dengan instrumen fMRI, ditemukan fakta bahwa jika korteks orbital kurang aktif, empati berkurang. Jika seseorang tidak mampu berempati sama sekali, dan kerap agresif, jelaslah ada gangguan fungsional dan kelainan struktural yang serius pada korteks orbitalnya. Para psikopat memiliki masalah atau kelainan serius pada korteks orbital mereka. Tentang hal ini, bacalah lebih lanjut di sini.

Psikopati (disebut juga sosiopati, atau lebih luas sebagai "antisocial personality disorder" atau APD, atau "dissocial personality disorder" atau DPD) adalah suatu gangguan kepribadian yang serius, yang membuat seseorang tidak memiliki kewarasan moral dan kemampuan berempati dan bergaul dengan sesama manusia dalam batas-batas etika sosial yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bisa mengakui dan memberikan hak-hak orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun