Bagian pertama tulisan panjang tentang orientasi seksual (OS) HLGBT sudah cukup lama saya publikasi di Kompasiana (baca di sini), yang fokus pada temuan-temuan sains modern tentang OS. Saya minta maaf, jika ada banyak sahabat yang sudah lama menunggu publikasi bagian keduanya.
Kini bagian kedua ini baru sempat saya terbitkan di situs ini, terfokus pada berbagai aspek keagamaan, termasuk tafsir kritis atas sejumlah teks Alkitab yang mengacu ke OS homo, dan pada aspek politik dan hukum yang pernah dan sedang muncul di Indonesia terkait status kaum LGBT Indonesia. Ada sedikit bagian dalam uraian berikut ini yang, mau tak mau, merupakan pengulangan hal-hal yang sudah saya angkat dalam bagian pertama tulisan ini.
PDSKJI diingatkan APA!
Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) edisi 1993, Departemen Kesehatan RI, homoseksualitas tidak dipandang sebagai suatu gangguan jiwa./1/ Pada hlm. 288 buku PPDGJ III tercantum dengan jelas kata-kata ini: “Catatan: Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan.” Dinyatakan juga bahwa yang termasuk orientasi seksual adalah heteroseksualitas, homoseksualitas dan biseksualitas. Ditulis juga di halaman yang sama bahwa meskipun bukan suatu gangguan jiwa, OS LGBT seseorang dapat menimbulkan penderitaan lantaran ketidakpastian tentang identitas jenis kelamin atau OS umumnya dapat menimbulkan kecemasan dan depresi.
Harus jelas buat anda: OS apapun bukan gangguan mental; tetapi ketidaksiapan si individu untuk menerima OS-nya yang LGBT (lantaran stigma negatif banyak diarahkan masyarakat kepada orang LGBT, juga oleh orangtua dan keluarga sendiri) dapat menimbulkan gangguan mental pada dirinya, mulai dari rasa cemas, stres, depresi, kecanduan narkotik, tidak percaya diri, berkeliaran di jalan-jalan, hingga kemungkinan bunuh diri, atau dia berusaha mencari bantuan untuk diterapi menjadi heteroseksual. Dalam psikologi, LGBT jenis ini digolongkan LGBT tipe distonik. Bahkan banyak penelitian telah menemukan bahwa homofobia juga dapat muncul dari LGBT distonik terhadap sesama LGBT, berhubung LGBT homofobik ini mengarahkan kebencian dan penolakan terhadap OS LGBT mereka sendiri kepada LGBT lain.
Sangat disayangkan, saya membaca sebuah berita di koran online Kompas, 19 Februari 2016, bahwa psikiater dan direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA di Kemenkes RI, dr. Fidiansyah SpKJ MPH, pada acara Indonesia Lawyers Club di TV One 16 Februari 2016, menyatakan kepada publik bahwa OS LGBT adalah gangguan jiwa sebagaimana, menurutnya, telah dinyatakan dalam buku tebal PPDGJ III yang sudah dirujuk di atas. Tak lama sesudah acara di TV One itu, muncul cukup banyak kritik di berbagai media massa terhadap dr. Fidiansyah yang dinilai telah memelintir dan menutupi kebenaran ketika dia sengaja tidak membaca bagian-bagian penting dari buku PPDGJ III yang dengan terang menegaskan bahwa OS LGBT bukan gangguan mental, sebagaimana sudah diungkap di atas./2/
Lebih memprihatinkan lagi, saya dapat kabar tak bagus dari sejumlah teman yang mereka kirim dalam bentuk screenshots lewat HP, akun FB dan akun Twitter. Pada 19 Februari 2016 Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI) telah mengeluarkan sebuah pernyataan sikap sepanjang dua halaman yang intinya sejalan dengan pendapat dr. Fidiansyah. Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh Ketua Umum PP PDSKJI, dr. Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ (K). Mereka menyatakan bahwa homoseksualitas dan biseksualitas dapat dikategorikan sebagai Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan kalangan transeksualitas sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Menurut mereka juga, semua kalangan OS ini perlu “direhabilitasi”, dan riset tentang OS perlu diadakan dengan berbasis kearifan lokal, budaya, aspek religi dan spiritual bangsa.
Hemat saya dalam hal ini PP PDSKJI telah mengubah fakta ilmiah bahwa OS LGBT memiliki basis kuat pada genetika dan biologi―dan dengan demikian sama sekali bukan suatu gangguan kejiwaan―dengan menjadikan riset OS LGBT sebagai riset tentang hal-hal yang non-biologis: kearifan lokal, budaya, agama dan kerohanian bangsa sendiri. Kita semua tahu, hasil riset ilmiah yang menemukan basis kuat biologis untuk OS LGBT sama sekali tidak bisa dipelintir atau diubah menjadi riset tentang hal-hal yang non-biologis itu. Tentu saja, pendekatan yang komprehensif terhadap usaha memahami dan menjelaskan OS LGBT sangat disambut baik oleh siapapun sejauh usaha ini tidak menutup fakta terpenting bahwa OS LGBT juga punya basis kuat pada biologi manusia, sebagaimana telah saya beberkan dalam bagian pertama tulisan ini.
Selain itu, belum lama ini Menristek RI, Muhamad Nasir, sempat mengeluarkan sebuah larangan bagi semua bentuk kegiatan yang terkait dengan LGBT di semua kampus di seluruh NKRI (misalnya seminar, diskusi, konsultasi, konseling). Tapi bagi mahaguru psikologi Universitas Indonesia, Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, sikap Menristek ini hanyalah sebuah reaksi bertahan (defense mechanism) yang mewakili salah satu unsur dalam masyarakat yang melihat kaum LGBT sebagai suatu ancaman yang membahayakan masyarakat. Selanjutnya, Prof. Sarlito menegaskan bahwa “Saya yakin LGBT di Indonesia tidak akan punah, karena LGBT itu sebagian dari sunatullah juga.”/3/
Pada 9 Maret 2016, ketua American Psychiatric Association (APA), Ms. Renée Binder, bersama Saul Levin, atas nama APA telah menulis sebuah surat resmi kepada PDSKJI terkait soal LGBT di Indonesia. Lewat surat itu (yang ditujukan kepada Dr. Tun Kurniasih Bastaman), APA mendesak PDSKJI untuk meninjau kembali posisi PDSKJI yang menyatakan bahwa homoseksualitas (atau LGBT) tergolong suatu gangguan jiwa atau suatu penyakit mental, lantaran posisi PDSKJI ini tidak memiliki bukti ilmiah apapun yang mendukung. Selanjutnya APA menegaskan bahwa “ada suatu komponen biologis yang kuat yang membentuk OS, dan bahwa OS dapat dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan kehidupan. Pendek kata, tidak ada bukti ilmiah bahwa OS (baik heteroseksual, homoseksual, maupun yang bukan) adalah suatu pilihan bebas individual.”/4/
Jujur saja, saya merasa malu atas fakta ini bahwa para psikiater Indonesia sampai perlu diingatkan, jika bukan ditegur, oleh APA. Apa saja yang mereka sudah baca dan telaah selama ini? Jurnal-jurnal ilmiah ataukah kitab-kitab lain, kitab suci misalnya?
Belum lama ini saya membaca sebuah berita yang membenarkan dugaan saya. Dibandingkan APA, ternyata para psikiater dalam PDSKJI telah sangat jauh ketinggalan dalam pengetahuan mereka tentang hasil-hasil riset-riset mutakhir dalam sains tentang OS. PDSKJI dan APA memang tidak punya hubungan kelembagaan yang hierarkis. Tapi sifat hubungan organisatoris ini tidak penting, dan sama sekali bukan soal yang utama. Yang jadi soal penting ternyata ini: Pimpinan PDSKJI mengklaim bahwa selama ini PDSKJI memakai standard klinis diagnosis LGBT dari hasil riset kedaluwarsa ICD-10 (International Statistical Classification on Diseases and Related Health Problems-10) yang dikeluarkan WHO tahun 1992. Ini patokan 24 tahun lalu! Alasan inilah yang dikemukakan PDSKJI untuk merasionalisasi pendirian mutakhir mereka yang salah tentang OS LGBT yang diumumkan 2016.
Sudah saya duga, ICD-10 WHO ternyata hanya dijadikan seekor “kambing hitam” saja oleh PDSKJI di tahun 2016 ini! Alasan saya menyatakan hal ini sangat jelas.
Sudah saya tulis di atas bahwa PPDGJ III edisi 1993 memuat sebuah catatan bahwa OS LGBT bukan gangguan jiwa atau penyakit mental. Jika ICD-10 (tahun 1992) menjadi pedoman PPDGJ III, maka pastilah LGBT dalam ICD-10 tidak dinyatakan sebagai suatu penyakit atau gangguan mental. Lagipula, seperti sudah saya tulis pada alinea-alinea awal bagian pertama tulisan ini, pada 17 Mei 1990 WHO sudah mengikuti posisi APA tahun 1973! Jadi, saya tidak perlu membolak-balik halaman-halaman ICD-10 WHO untuk memeriksa sendiri. Masalah muncul ketika di awal 2016 ini dr. Fidiansyah SpKJ MPH menyatakan kepada masyarakat Indonesia bahwa LGBT adalah suatu gangguan jiwa meskipun dia merujuk ke PPDGJ III. Apakah gerangan yang sedang terjadi?
Belum lama ini, 24 Maret 2016, saya baca sebuah berita di Rappler.com bahwa dr. Fidiansyah telah meminta maaf kepada publik atas pernyataannya di ILC TV One 16 Februari 2016 bahwa LGBT adalah suatu gangguan jiwa. Namun beliau tetap berpendapat bahwa LGBT adalah suatu gangguan jiwa. Bahkan beliau menegaskan OS hetero adalah “fitrah seksual yang diridoi dan diberkati Allah SWT.”/5/ Tentu saja, klaim beliau ini sudah berada di luar bidang psikiatri. Mungkinkah beliau sudah mulai jenuh di dunia psikiatri?
Lalu, bagaimana dengan APA? Lembaga yang berpusat di Amerika Serikat ini memakai patokan klinis OS yang dinamakan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-5) tahun 2013. DSM-5 adalah patokan yang umum dipakai sekarang ini di dunia karena kemutakhiran diagnosisnya./6/
Dalam dua puluh tahun terakhir ini riset OS sudah maju pesat dan sudah menghasilkan banyak pengetahuan baru. Bagian pertama tulisan panjang saya ini, yang telah dipublikasi sebelumnya di Kompasiana (dan yang selalu dimutakhirkan), menguraikan temuan-temuan ilmiah tentang OS HLGBT sejak 1993 hingga 2016, tentu tidak seluruhnya. Saya bukan seorang psikiater. Tapi jelas, pengetahuan saya tentang HLGBT lebih maju dibandingkan pengetahuan para psikiater dalam PDSKJI.
Itulah kondisi memprihatinkan dunia psikiatri di Indonesia. Ketinggalan kemajuan pesat dalam riset OS HLGBT. Pantesan sempat muncul desas-desus bahwa LGBT dapat disembuhkan dengan cara Indonesia: yakni mereka perlu direbus dalam air bersuhu 80-85 derajat celcius dengan dicampur ramuan rempah-rempah. Kemudian ada ralat bahwa yang mau disembuhkan dengan direbus itu adalah pasien NAPZA. Hemat saya jika cara ini yang akan ditempuh (entah untuk LGBT atau untuk pecandu NAPZA), bersiaplah kita dengan potensi terjadinya “homicidal crime”. Jika desas-desus ini benar, maka orang-orang yang mengklaim diri profesional dalam usaha menyembuhkan LGBT atau pasien NAPZA sebetulnya memandang setiap pasien mereka sebagai segumpal besar daging sapi segar!
Saya tahu ada usaha untuk mereparasi LGBT dengan “mengotak-atik” apa yang dinamakan Emotional Spiritual Quotient (ESQ), sementara ESQ, kita harus tahu, tidak diterima secara umum di kalangan psikolog kognitif sebagai suatu kecerdasan (“intelligence”). Tapi soal utamanya bukan itu, tetapi ini: LGBT masuk bidang biologi dan genetika, bukan bidang psikologi (kendati berdampak pada psikologi), bukan soal kerohanian (meskipun berdampak pada kerohanian), dan juga bukan soal kecerdasan!
Begitulah situasinya jika para psikiater Indonesia tidak lagi mengikuti perkembangan riset sains tentang OS selama dua puluh tahun belakangan ini. Mungkin mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing sebagai psikiater. Atau, mungkin saja, sebetulnya hal lain yang sudah dan sedang terjadi: sains ditaklukkan oleh agama. Padahal yang seharusnya terjadi ini: sains membimbing agama-agama untuk perumusan ulang. Jika di NKRI sains sedang ditaklukkan agama, maka kita semua sedang masuk kembali ke zaman jahiliah, zaman kegelapan dan kebodohan, zaman prailmiah! Gawatnya, banyak sarjana sains Indonesia sedang membawa NKRI mundur ke sana!
Legalisasi perkawinan sesama jenis seks di Amerika
Jumat, 26 Juni 2015, Mahkamah Agung Amerika Serikat mengambil sebuah keputusan penting melegalisasi perkawinan sesama jenis seks untuk seluruh warganegara Amerika di semua 50 negara bagian. Keputusan ini diambil dengan kemenangan tipis kubu para hakim agung yang liberal versus kubu para hakim agung yang konservatif (5:4). Hakim Agung konservatif John G. Roberts Jr. membuat sebuah pernyataan tertulis yang dibacakannya setelah keputusan diambil,
“Jika anda berada di antara orang Amerika, apapun orientasi seksual anda, dan telah memilih untuk memperluas perkawinan sesama jenis seks, rayakanlah keputusan hari ini dengan segenap hati. Rayakanlah tujuan yang diinginkan dan yang telah dicapai. Rayakanlah kesempatan untuk mengekspresikan secara baru komitmen kepada pasangan anda. Rayakanlah manfaat-manfaat baru yang sudah tersedia. Tapi jangan rayakan UU. Perayaan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan UU.”
Di Rose Garden Gedung Putih, atas keputusan Mahkamah Agung Amerika ini, Presiden Barack Obama menyatakan hal berikut ini,
“Ketentuan perundang-undangan ini adalah sebuah kemenangan bagi Amerika. Keputusan ini mengafirmasi apa yang jutaan orang Amerika telah percayai dalam hati mereka. Di saat semua orang Amerika diperlakukan setara, kita menjadi lebih bebas lagi.”/7/
Reaksi-reaksi keras dan negatif dari banyak aliran agama-agama sudah dan akan pasti bermunculan, di seluruh dunia, terhadap keputusan MA Amerika itu. Mungkin juga, kalangan pedofilik di Amerika akan (atau malah sudah) menuntut hal yang sama, yakni meminta untuk pedofilia dipandang sebagai sebuah OS lain lagi, bukan sebuah tindak kejahatan seksual yang menjadikan anak-anak korban mereka, bukan mitra ikhlas seksual mereka. Begitu juga, inses juga bisa saja nanti diminta untuk dipandang sebagai suatu kewajaran, bahkan sah di mata hukum. Nekrofilia jelas adalah suatu kelainan mental dan pelakunya sangat langka dalam dunia ini. Tentu saja, dua kemungkinan yang disebut pertama (legalisasi pedofilia dan inses) sangat tidak masuk akal, dan pemerintah AS tentu saja tidak akan begitu saja memenuhi tuntutan mereka yang diajukan atas nama kebebasan sipil.
Tetapi bagaimana pandangan rakyat Amerika sendiri terhadap perkawinan sesama jenis? Sebelum MA Amerika mengambil keputusan melegalisasi perkawinan sesama homoseksual, Pew Research Center telah melakukan survei pendahuluan yang luas yang berkaitan dengan isu-isu seksualitas manusia, isu homoseksualitas dan perkawinan sesama jenis khususnya, dalam hubungan dengan berbagai isu sosial, etnisitas, politik, kultural, keagamaan dan lain-lain. Survei PRC yang diadakan 12-18 Mei 2015 mengungkapkan kondisi-kondisi berikut.
- Kurang lebih tiga perempat (73%) orang Amerika yang mengenal banyak gay dan lesbian, dan dua pertiga (66%) dari orang-orang yang memiliki teman-teman dekat atau anggota-anggota keluarga yang gay atau lesbian, menyatakan bahwa mereka mendukung perkawinan sesama jenis seks.
- Dan hampir separuh (48%) orang Amerika yang memiliki banyak kenalan yang gay, dan 38% dari mereka yang memiliki sahabat-sahabat dekat atau anggota-anggota keluarga yang gay, dengan kuat mendukung kalangan gay dan lesbian untuk menikah resmi.
- Tetapi ada jauh lebih sedikit dukungan terhadap perkawinan sesama jenis seks di antara orang-orang yang memiliki sedikit atau sama sekali tidak mempunyai kenalan-kenalan yang gay atau lesbian. Begitu juga keadaannya di antara orang-orang yang tidak mempunyai teman dekat atau anggota keluarga yang gay atau lesbian.
- Hanya 32% dari orang-orang yang tidak mempunyai kenalan yang gay atau lesbian yang mendukung perkawinan sesama gay atau sesama lesbian, dan 58% menolak (dengan 30% menyatakan bahwa mereka menolak keras perkawinan sesama jenis)./8/
Reaksi gereja-gereja di Indonesia
Bagaimana dengan sikap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) terhadap legalisasi pernikahan sejenis? Kepala Biro Hubungan Masyarakat PGI, Jeirry Sumampow, menyatakan, “Kita masih dalam proses untuk melakukan kajian karena di lingkup PGI hal itu masih kontroversial, dengan beberapa pertimbangan.”/9/ Sebaliknya, Sekretaris Umum PGI, Pdt Gomar Gultom, menegaskan bahwa gereja tidak akan merestui dan memberlakukan perkawinan sejenis karena hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan./10/
Gereja Roma Katolik di Indonesia lewat Romo Benny Susetyo sudah menyatakan sikap mereka. Katanya, “Karena mengikuti sikap tahta suci Vatikan dan pendapat Paus (Fransiskus), GRK di Indonesia sejak awal tidak mengakui perkawinan sejenis karena menyalahi kodrat manusia yang diciptakan Tuhan berpasangan laki-laki dan perempuan." Menurut sang romo, MA Amerika dapat melegalisasi perkawinan sejenis karena Partai Demokrat yang sedang berkuasa, yang memang liberal, mendukung perkawinan sejenis. Jadi, keputusan MA Amerika Serikat itu adalah sebuah keputusan politik. Kata sang Romo, “Nanti juga akan diubah lagi jika partai yang nanti akan berkuasa adalah Partai Republik yang memegang pandangan lain (yang konservatif).”/11/
Apakah keputusan MA Amerika itu hanya bersifat politis, tanpa didukung kajian-kajian ilmiah terhadap seksualitas manusia, etika dan prinsip-prinsip HAM, biarlah sang romo itu yang mencari tahu sendiri. Selain itu, jika sang romo ini benar bahwa keputusan MA Amerika itu murni sebuah keputusan politik, hemat saya keputusan politik ini dungu, sebab tidak populer dan akan pasti ditentang sangat banyak rakyat Amerika sehingga akan menggoyahkan partai yang sedang berkuasa. Apa betul, MA Amerika itu dungu? Lagi pula, apa betul MA Amerika bisa diintervensi oleh partai politik yang sedang berkuasa?
Sosok-sosok penting di PGI dan di GRK itu, kendatipun mereka, di satu pihak, menolak legalisasi perkawinan sejenis, namun, di lain pihak, mereka masih bisa menyatakan bahwa mereka, juga gereja-gereja, akan tetap menghargai dan menerima kalangan LGBT untuk hidup, atas nama HAM dan toleransi, bahkan, tegas mereka lagi, gereja-gereja tetap mencintai kalangan ini. Tetapi hemat saya, bagaimana mungkin mereka bisa total menerima kalangan gay dan lesbi sementara kalau kalangan ini mau menikah dengan sesama jenis, sosok-sosok terhormat di dua gereja itu menolak dengan tegas. Ada dualisme di sini dalam diri mereka masing-masing. Setengah hati merangkul, dan setengah hati lagi mendepak. Salah satu hak untuk hidup, sebagai bagian dari HAM, adalah hak untuk menikah. Tanpa hak untuk menikah diakui dan diwujudkan, ya HAM juga dilanggar.
Saya sedang berpikir-pikir, apakah tepat jika mereka saya katakan munafik, berwajah ganda? Selain itu, mereka juga masih memegang pandangan keagamaan yang kuno bahwa ikatan perkawinan dibangun untuk tujuan mendapatkan keturunan; dus, perkawinan sesama jenis tidak bisa dilegalisasi. Siapa bilang, orang menikah hanya untuk tujuan prokreasi?
Juga, siapa bilang, perkawinan sesama jenis tidak memungkinkan mereka mempunyai anak yang mereka akan besarkan bersama? Maksud saya, bukan dengan cara mengadopsi anak, tetapi lahir dari tubuh mereka sendiri! Aah, yang benar? Mana mungkin? OK, mari kita berpaling ke sains! Suatu tim ilmuwan dari Universitas Cambridge, Inggris, dan Weizmann Institute of Science, Israel, baru-baru ini telah berhasil menemukan sebuah teknik genetika untuk menghasilkan bayi manusia dari sel-sel kulit kedua orangtua si bayi dengan menggunakan gen yang dinamakan SOX17.
Gen SOX17 digunakan untuk memprogram ulang sel-sel kulit manusia untuk menjadi “sel-sel germ primordial” (“Primordial Germ Cells”, atau PGCs, yakni sel-sel pendahulu telur dan sel-sel sperma), yang kemudian akan berkembang menjadi janin-janin manusia. Proses ini dapat dijalankan untuk memberikan bayi-bayi baik bagi pasangan heteroseksual yang mandul maupun bagi pasangan homoseksual. Selain itu, teknik mutakhir reproduksi ini juga dapat menghilangkan mutasi-mutasi epigenetik yang menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan pada sel-sel tubuh manusia ketika orang mulai menua, yakni dengan cara menyetel ulang dan meregenerasi sel-sel yang sudah tua./12/
Pernyataan pastoral PGI
Tetapi baru-baru ini muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap dan posisi “terobosan” dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat anti-LGBT umumnya di gereja-gereja di Indonesia, bahkan di komunitas-komunitas keagamaan lain di negara ini, dan juga melawan pendapat sejumlah petinggi pemerintahan NKRI. Terobosan PGI ini sudah dan sedang menimbulkan kontroversi panas, yang diwarnai kata-kata pedas dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, dan berbagai ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari PGI lantaran mereka berasumsi PGI kini sudah menjadi liberal dan bermaksud “menyeragamkan sikap dan posisi doktrinal” semua gereja anggotanya terhadap OS LGBT.
Saya sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya sejak kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap dan posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI mengeluarkan pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau hambatan doktrinal”) dan Imprimatur (“Silakan dicetak/diterbitkan”) pada semua karya tulis para pendeta dalam gereja-gereja anggotanya, tidak seperti dalam Gereja Roma Katolik. Sebaliknya, beberapa gereja anggota PGI bernafsu besar untuk menerapkan sensor pada PGI, organisasi induk mereka.
Di awal minggu ketiga Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di Indonesia bagian timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah konferensi yang bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI terhadap LGBT, dan dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa lewat pernyataan sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan. Bagi saya, tuduhan keji ini harus dibalikkan arahnya: para homofobik atau pembenci dan penyerang LGBT itulah yang justru sedang melakukan kejahatan kemanusiaan, bukan para pembela LGBT seperti PGI dan Peruati (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, 2015-2019).
Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang LGBT yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting, dan, hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks Alkitab yang terkait dengan homoseksualitas. Karena itulah, saya mendukung dan membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di berbagai forum, meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun dengan PGI. Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan sejumlah hal penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang OS LGBT.
- Sebagaimana semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam, dan merupakan sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus bisa kita terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT adalah manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya;
- Kecenderungan LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa lalu, bukan produk kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan Barat. Dalam masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan dalam kebudayaan sejumlah suku;
- Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tapi Alkitab tidak memberi penilaian moral-etik terhadap keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik OS seseorang, tapi mengkritik perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kaum heteroseksual atau kaum yang selama ini dianggap “normal”;
- Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang terkait dengan seks tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab adalah segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak;
- Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu yang “terterima” (“given”, atau “terberi”). Karena itu, menjadi LGBT bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh memaksa mereka untuk bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita harus menolong mereka supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri sebagai pemberian Allah. Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual.
Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja anggotanya untuk mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada keluarga-keluarga Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Diingatkan bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga yang LGBT berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan terhadap diri sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi untuk bunuh diri di kalangan LGBT.
MPH PGI juga mengingatkan bahwa selama ini kalangan LGBT telah mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, spiritual, karena stigmatisasi keagamaan terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan didiskriminasi, bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus berjuang agar hak-hak kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat dan negara, khususnya hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, untuk dilindungi terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk sekolah, untuk menjadi sarjana, dan sebagainya.
Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara untuk menjamin agar HAM dan martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka harus diberi kesempatan untuk hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI juga menyatakan kesadaran mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog dan percakapan yang lebih mendalam menyangkut soal ini.
Di akhir Juli 2013, di saat sedang dalam penerbangan kembali ke Vatikan sehabis berkunjung selama seminggu sejak 22 Juli di Rio de Janeiro, Brazil, Paus Fransiskus mengadakan sebuah acara jumpa pers selama satu jam lebih. Banyak hal yang dipercakapkan, di antaranya tentang homoseksual. Di saat sedang membicarakan kaum gay, Paus Fransiskus menyatakan bahwa
“Ketika aku berjumpa dengan seorang gay, aku harus membicarakan kondisi mereka sebagai gay dan sebagai bagian dari suatu lobby. Jika seseorang itu gay dan dia menerima Tuhan dan berkemauan baik, siapakah aku jika aku harus menghakimi mereka? Mereka harus tidak dimarjinalisasikan. Kecenderungan [ke homoseksualitas] bukan masalahnya,… mereka saudara-saudara kita.”/13/
Pernyataan yang nyaris sepenuhnya sama, diulang kembali oleh Paus Fransiskus 26 Juni 2016 (“Siapakah kita jika kita harus menghakimi mereka?”). Jelas, sang Paus hanya berbicara tentang gay yang “menerima/mencari Tuhan”, maksudnya: para gay yang mencari, lalu menerima dan percaya pada Yesus Kristus, yakni para gay warga GRK, dan bisa juga semua gay yang Kristen saja, atau para gay mualaf Kristen. Selain itu, kalangan LGBT tidak dihakimi GRK sejauh mereka “berkemauan baik”, maksudnya: sejauh kelakuan dan kehendak mereka mememenuhi standard moral GRK.
Begitu juga, saat sang Paus menegaskan bahwa gereja patut meminta maaf kepada kaum gay karena perlakuan buruk gereja kepada mereka selama ini, kaum gay hanya pantas menerima permintaan maaf gereja tentu sejauh mereka sudah menjadi bagian dari komunitas GRK!
Jelas, bagi saya, pendapat Fransiskus ini seriously unfair. LGBT ya LGBT secara biologis genetis, apapun perilaku moral dan apapun keyakinan keagamaan mereka atau ketidakyakinan mereka (sebagai ateis misalnya). Sebagai pembanding: seorang Papua ya tetap seorang manusia, manusia Papua, apapun kelakuan dan apapun kepercayaan ideologisnya. Hal yang genetis dan hal yang etis dan ideologis tidak bisa dicampurbaur.
Sang Paus pernah juga bercerita pendek, tuturnya: “Suatu kali seseorang bertanya kepadaku dengan nada yang provokatif, apakah aku menyetujui homoseksualitas. Aku menjawabnya dengan sebuah pertanyaan lain: ‘Katakan kepadaku, ketika Allah melihat seorang gay, apakah Allah mendukung kehidupan orang ini dengan cinta-Nya, ataukah menolak dan mengutukinya?’ Jadi, kita harus selalu mempertimbangkan si individu yang gay itu!”/14/ Kelihatan jelas dari ucapannya ini, Paus Fransiskus menghargai martabat dan kehormatan kalangan homoseksual, kendatipun, pada sisi lain, yang ada dalam pikirannya hanyalah para gay Kristen yang berkemauan baik.
Tetapi belum lama ini, ketika Irlandia baru saja melegalisasi perkawinan sejenis, Vatikan menegaskan bahwa langkah Irlandia itu “sebuah kekalahan bagi kemanusiaan!” Sebagaimana sudah diketahui, ada sepuluh negara yang berlatarbelakang kuat GRK yang sudah melegalisasi perkawinan sejenis, yakni Belgia, Kanada, Spanyol, Argentina, Portugal, Brazil, Prancis, Uruguai, Luxemburg, dan Irlandia./15/ Sulit bagi kita untuk menyamakan GRK dengan kemanusiaan, tentu saja. Mengapa sang Paus menjadi tidak konsisten padahal dia sudah dikenal sebagai pemimpin GRK sedunia di abad ke-21 yang mampu berpikir bebas?
Selain itu, dalam sebuah wawancara terhadap Paus Fransiskus yang dimuat dalam buku Andrea Tornielli dan Giacomo Galeazzi, This Economy Kills: Pope Francis on Capitalism and Social Justice (2015), sang Paus mengejutkan sekali menyetarakan teori gender (yang melihat seksualitas manusia sebagai sebuah spektrum warna-warni yang lazimnya disebut spektrum LGBTIQ) dengan senjata nuklir yang dapat melenyapkan kehidupan. Kata Paus Fransiskus,
“Mari kita pikirkan persenjataan nuklir, yang mampu melenyapkan sangat banyak manusia dalam sekejap. Mari juga kita pikirkan manipulasi genetik, manipulasi kehidupan, atau teori gender, yang tidak mengakui orde ciptaan. Dengan semua sikap ini, manusia sedang membuat sebuah dosa besar baru yang melawan Allah sang Pencipta.”/16/
Betulkah teori spektrum seksualitas manusia sama bahayanya dengan ledakan sebuah bom nuklir? Ya jelas tidak! Ada baiknya anda usahakan bertanya langsung ke Vatikan apa yang dimaksudkan oleh sang Paus atas pernyataannya itu yang menurut saya tidak arif dan berlebihan.
Ketika diminta untuk menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan kata-katanya “Siapakah aku jika aku sampai menghakimi?”, Paus Fransiskus menegaskan bahwa ucapannya itu dikutip luar kepala dari pernyataan-pernyataan yang jauh lebih panjang tentang sikap dan pendirian GRK tentang homoseksualitas yang ditulis dalam Katekismus GRK./17/ Hingga saat ini, GRK resmi menyatakan bahwa “homoseksualitas bagaimanapun juga bukan bagian dari desain alamiah kemanusiaan.”/18/
Dengan kata lain, LGBT adalah suatu “penyimpangan” kodrat alamiah manusia, tidak berada dalam tatanan ciptaan Allah, sesuatu yang “disordered”. Cuma Paus Fransiskus tidak melanjutkan ke ajaran dasar GRK itu bahwa LGBT itu “penyimpangan” dari tatanan kodrati yang Allah telah ciptakan dengan baik./19/
Meskipun sebagian pimpinan Gereja Roma Katolik menolak diskriminasi yang tak adil terhadap LGBT, buku utama ajaran GRK Katekismus menegaskan bahwa “tindakan-tindakan homoseksual pada hakikatnya tidak bermoral dan bertentangan dengan hukum alam.”/20/
Selain itu, dalam suatu konferensi, para uskup GRK Amerika Serikat menolak keras perkawinan sesama jenis seks. Mereka menyatakan bahwa “GRK menolak perkawinan gay dan penerimaan masyarakat terhadap homoseksualitas dan hubungan personal antar orang sejenis, meskipun gereja mengajarkan bahwa kalangan homoseksual layak dihargai, diperlakukan adil dan patut mendapat bimbingan pastoral.” /21/ Jelas terbaca, dalam satu kalimat panjang ini ada dua posisi yang terbelah dan berbenturan. LGBT harus dihargai dan diperlakukan adil, tetapi mereka tidak boleh membangun hubungan intim satu sama lain! Respek dan adilnya di mana?
Dalam sebuah komentar panjangnya tentang pertemuan pribadi Paus Fransiskus dan Ms. Kim Davis (panitera di Kentucky yang belum lama ini menolak mengeluarkan surat izin nikah bagi pasangan sesama jenis seks), yang berlangsung di Kedutaan Besar Vatikan di Washington, D.C., 24 September 2015, German Lopez antara lain menyatakan bahwa “Paus Fransiskus kadangkala mengucapkan hal-hal…yang kelihatannya bersahabat dengan kalangan gay. Tetapi ketika dianalisis lebih jauh, ajaran-ajaran dasariah GRK dan Paus Fransiskus tidak berubah sama sekali: homoseksualitas masih dipandang sebagai suatu dosa, para gay masih diminta untuk hidup suci, dan perkawinan sesama jenis seks tetap dilawan.”/22/
Ketika diamati lebih luas dan mendalam, ditemukan bahwa kendatipun Paus Fransiskus tampak ramah dan bersahabat dengan kaum homoseksual sejauh menyangkut ucapan-ucapan lisannya, dalam tindakan-tindakannya terlihat jelas bahwa sang Paus tidak ramah dan tidak bersahabat dengan LGBT, setidaknya penulis Hemant Mehta telah menemukan fakta ini./23/
Terus terang, saya merasa iba juga pada sang Paus, karena dia bagaimanapun juga harus tunduk pada dogma dan doktrin GRK, meskipun dia sendiri mempunyai pikiran yang bebas. Ya, begitulah, agama sayangnya lebih sering memenjarakan manusia ketimbang membebaskan. Agama juga sering membelah kepribadian manusia. Agama semacam ini bukan agama yang cerdas. Pertanyaan sufi dari Persia yang terkenal, Jalaluddin Rumi (1207-1273), selalu saya ingat,
“Mengapa anda terus berdiam dalam penjara sementara pintu-pintunya terbuka lebar?”
Rumi juga memerintahkan, “Jadilah langit! Ambil sebuah kapak lalu runtuhkan dinding penjara itu! Lepaskan dirimu!”
Posisi Dalai Lama XIV
Dalam suatu wawancara di bulan Maret 2014 oleh sosok beken di dunia radio dan TV Amerika, Larry King, tentang perkawinan sesama jenis seks, Dalai Lama XIV menegaskan bahwa “jika dua orang―sebagai pasangan―sungguh-sungguh merasa bahwa cara itu lebih praktis dan lebih memuaskan, dan kedua mitra sepakat sepenuhnya, itu OK saja!”
Tetapi Dalai Lama tetap menghargai sikap dan posisi masing-masing agama lain ketika dia menegaskan bahwa umat setiap agama harus mengikuti kaidah-kaidah moral agama mereka masing-masing di bidang seks.
Tentang homoseksualitas di kalangan orang tidak beragama, Dalai Lama menegaskan bahwa “itu terserah mereka. Ada banyak bentuk seks yang berbeda―sejauh itu aman, OK saja. Juga kedua mitra harus sepakat sepenuhnya.” Jika para homoseks “di-bully, diperlakukan sewenang-wenang, itu salah sama sekali. Itu melanggar HAM.”/24/
Jelas ya, Dalai Lama XIV berpandangan jauh lebih maju ketimbang Paus Fransiskus. Selanjutnya adalah tugas para pakar medis Buddhis untuk menjabarkan makna dan cakupan kata “aman” dalam hubungan seksual para homoseksual, yang telah dikatakan Dalai Lama.
Surat terbuka muslimin Reza Aslan dan Hasan Minhaj
Ahli agama Reza Aslan dan komedian sekaligus wartawan Daily Show Hasan Minhaj, keduanya Muslim Amerika, pada 7 Juli 2015, bersama-sama menulis sebuah surat terbuka kepada sesama Muslim Amerika mengenai perkawinan sesama jenis yang baru dilegalisasi oleh MA Amerika dan berlaku di seluruh 50 negara bagian. Surat mereka cukup panjang, dimuat pada web Religion Dispatches, 7 Juli 2015. Saya kutipkan bagian-bagiannya yang hemat saya penting diperhatikan, berikut ini./25/
“Kini perkawinan sesama jenis sudah legal di Amerika. Keadaan ini mengguncang iman kalian. Kalian jadi khawatir tentang masa depan, dan bertanya apa artinya masa depan untuk anak-anak kalian. Kalian tahu, hak-hak kaum gay makin luas diterima, tapi secara pribadi kalian sesungguhnya tidak dapat merangkul perubahan ini. Kalian dapat merasa tidak ada masalah jika berteman dengan gay atau mereka menjadi rekan-rekan sekerja kalian. Bahkan kalian dapat sepakat bahwa menjadi gay tidak membuat kalian terdiskualifikasi sebagai seorang Muslim. Tetapi secara pribadi, diam-diam kalian merasa bahwa adanya komunitas-komunitas LGBT adalah suatu kontradiksi yang real terhadap kepercayaan-kepercayaan yang telah diwariskan kepada kalian.
Sebagai Muslim, kita adalah orang yang telah termarjinalisasi dengan dalam di dalam kebudayaan arus utama Amerika. Lebih dari separuh orang Amerika memandang kita dengan negatif. Sepertiga orang Amerika (yakni, lebih dari seratus juta orang) ingin kita membawa KTP khusus sehingga mereka dengan mudah dapat mengenali kita sebagai Muslim. Kita harus tidak selamanya mempertahankan keadaan kita yang termarjinalisasi dengan memarjinalisasi orang-orang lain. Jika kalian menolak hak untuk perkawinan sesama jenis, tetapi lalu mengharapkan empati terhadap perjuangan komunitas kita, itu sama dengan kemunafikan.
Ingatlah bagaimana orang memandang saudara-saudara perempuan kalian yang memakai hijab atau saudara-saudara pria kalian yang berjenggot lebat saat mereka berjalan di dalam mall-mall. Ingat juga bagaimana di pelabuhan-pelabuhan udara orang melihat ke kalian atau mengomel kepada kalian. Ingat juga bagaimana para pemimpin politik terpilih kalian sendiri dengan tajam mengkritik kalian. Itulah juga semua yang dirasakan saudara-saudaramu, lelaki dan perempuan, dari kaum LGBT, setiap hari dalam kehidupan mereka. Apakah kalian bersikap biasa-biasa saja dengan semua itu?
Kalian boleh berpikir bahwa hak-hak LGBT adalah suatu percakapan baru, sesuatu yang baru-baru ini saja bersentuhan dengan pemikiran Islam modern. Tetapi, percayalah kepada kami, tidak demikian halnya! Menantang status quo untuk memperbaiki masyarakat adalah salah satu fondasi bangunan agama Islam sendiri.
Tapi jika hati kalian tidak bisa menerima kalangan gay pada prinsipnya, ingatlah negara yang di dalamnya kalian ingin berdiam. Bagaimana pun juga, UU yang baru saja menjamin hak-hak komunitas-komunitas LGBT adalah UU yang sama yang melindungi masjid-masjid dan sentra-sentra komunitas kita, yang membuat sekolah-sekolah Islami kita tetap buka, yang memungkinkan kita mempunyai hak-hak dan perlakuan-perlakuan istimewa saat kita semua menghadapi kebencian dan fanatisme yang membanjir dari orang-orang Amerika sesama kita. Kalian tidak dapat merayakan yang satu dengan membuang yang lain.
Karena itulah, tidak cukup jika kita cuma ‘mentolerir’ keputusan MA. Mentolerir suatu komunitas lain hanya akan menimbulkan ketakutan-ketakutan tersembunyi terhadap kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan apatisme terhadap proses politik. Sebagai minoritas-minoritas, kita tidak bisa hidup dengan dua emosi itu memenuhi kita. Kita harus melakukan lebih dari cuma mentolerir. Kita harus merangkulnya. Kita harus memperjuangkan hak orang-orang lain untuk menjalani kehidupan mereka dengan bebas, sama seperti kita juga ingin hidup kita bebas.
Hal terpenting yang kalian harus pikirkan sungguh-sungguh adalah ini: Belalah komunitas-komunitas yang termarjinalisasi, bahkan ketika kalian tidak sepakat dengan mereka. Ini bukan saja hal yang benar untuk kalian lakukan, tetapi ini juga adalah hal Islami yang setiap Muslim harus lakukan. Ingatlah, Allah itu sepenuhnya rahmani dan rahimi. Wujudkan ini bagi semua orang, bukan hanya bagi kalangan heteroseksual!”
Baris terakhir surat terbuka mereka memuat kata-kata ini: “Rayakanlah! Jangan hanya mentolerir! Cinta sungguh-sungguh menang.”
Setelah mengamati sekian waktu, dan sudah saya prediksi sebelumnya, saya menemukan, ada banyak Muslim yang marah terhadap Reza Aslan dan Hasan Minhaj, padahal mereka yang marah ini bukan Muslim Amerika dan tidak memahami konteks sosialbudaya dan politik yang di dalamnya Aslan dan Minhaj hidup. Bahkan ada juga yang meminta surat terbuka mereka dicabut dari web Religion Dispatches, padahal mereka ini belum membaca surat mereka seluruhnya dalam bahasa Inggris dan mungkin sekali mereka juga tidak paham bahasa Inggris. Itulah suasana batin dan intelektual dunia Muslim umumnya sekarang ini.
Reza Aslan dan Hasan Minhaj, dalam pandangan saya, betul saat mereka menyatakan cinta dan kasih sayang serta kemurahan Allah itu tak mengenal batas-batas, diberikan kepada semua orang dari OS apapun. Agama-agama yang dibangun manusia, itulah yang membatasi kerahiman dan kerahmanian Allah dalam nyaris semua bidang kehidupan. Inilah sektarianisme keagamaan sebagai suatu fakta umum.
Literalisme versus kritisisme
Tentang posisi kaum Muslim di Indonesia, tidak perlu saya beberkan lagi, karena mereka pasti juga menolak perkawinan sesama jenis. Yang sudah kita ketahui adalah bahwa beberapa peristiwa telah terjadi belum lama ini di Indonesia yang menunjukkan kebencian kaum beragama Muslim fundamentalis terhadap kaum homoseksual; kebencian ini timbul tidak sedikit karena teks-teks skriptural yang dipahami secara harfiah. Saya menyebut mereka sebagai kalangan literalis dalam memahami teks-teks kuno kitab suci.
Bagi mereka, hal apapun yang sudah tertulis sebagai teks kitab suci, teks ini apa adanya, harfiah, berlaku di segala zaman dan di segala tempat, mutlak mengikat umat pemakai kitab suci, kata mereka, sejak awal dunia hingga kiamat. Kata mereka dengan sangat yakin bahwa teks-teks kitab suci tidak perlu ditafsir-tafsir, tapi cukup hanya dibaca, dan pesan-pesan yang tertulisnya tinggal umat jalankan saja dengan taat, tanpa perlu ada keraguan sedikitpun.
Keyakinan kalangan literalis ini sesungguhnya naif dan tidak tepat, karena minimal dua penyebab. Pertama, mereka mengabaikan fakta kuat bahwa ketika teks-teks kuno kitab suci sudah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa kita sendiri, penerjemahan itu sendiri adalah suatu penafsiran. Tak ada penerjemahan yang bebas dari penafsiran.
Kalaupun kitab suci yang kita pakai masih ditulis dalam bahasa aslinya (misalnya bahasa Ibrani atau bahasa Yunani koine atau bahasa Arab zaman dulu), saat kita pada masa kini di dunia kita membaca teks-teks asli ini dan mau memahaminya kita berpikir dalam bahasa ibu kita, bukan dalam bahasa asli kitab suci kita. Dus, saat ini terjadi, kita pun harus menafsir teks-teks dalam bahasa aslinya itu dan mengubahnya dalam pikiran kita sendiri untuk menjadi teks-teks dalam bahasa ibu kita sendiri. Kondisi ini pasti terjadi dalam benak kita sejauh kita mau memahami teks-teks asli yang kita baca, bukan cuma mau hafal mati dan ulang-ulang ribuan hingga jutaan kali begitu saja tanpa kita ketahui artinya dalam bahasa ibu kita sendiri, sejak kita kanak-kanak sampai kita wafat.
Kedua, mereka tidak bisa melihat dan tidak mau mengakui bahwa tidak ada seorangpun saat mendekati teks-teks kitab suci berpikiran kosong melompong (seperti selembar kertas putih bersih), alhasil, kata mereka, hanya tinggal diisi pesan-pesan kitab suci yang puritan. Sesungguhnya, kapan pun juga kita membaca dan mau menangkap pesan teks-teks suci apapun, dalam benak kita selalu sudah ada paham-paham dan keyakinan-keyakinan yang kuat sebelumnya, yang terbentuk dan dibangun dari berbagai sumber di luar kitab suci sendiri.
Paham-paham dan keyakinan-keyakinan kita sebelumnya tentang teks-teks suci apapun datang dari banyak sumber, antara lain, dari aliran agama yang kita anut, dari indoktrinasi ajaran-ajaran guru-guru agama, dari buku-buku dan berita-berita yang kita baca dan dengar, dari berbagai pengalaman kehidupan kita, dari kedudukan dan tempat kita dalam masyarakat, dari tekanan-tekanan yang datang dari luar diri kita, dan dari ambisi-ambisi individual sosial, politis dan ekonomis kita sendiri.
Berbagai paham dan keyakinan yang sudah ada sebelumnya dalam benak kita ini saat kita mau memahami teks-teks kitab suci dalam ilmu tafsir disebut prapaham atau prasuposisi (presupposition). Nah prapaham ini sangat kuat mengendalikan pikiran kita ketika kita sedang membaca teks-teks kitab suci apapun. Adanya peran prapaham ini dalam setiap usaha memahami kitab suci membuat pemahaman literalis atau pemahaman harfiah sama sekali tidak bisa didapat.
Alih-alih menemukan makna harfiah teks-teks suci, si pembaca kitab suci malah membiarkan prapaham-prapahamnya sendiri menentukan makna teks-teks suci yang sedang dibacanya dan menganggap prapaham-prapahamnya ini sendiri sebagai firman Allah. Ketimbang menemukan satu pesan teks suci yang jelas, pendekatan literalis malah menghasilkan sangat banyak dan beranekaragam pesan teks sejalan dengan banyak dan beranekaragamnya prapaham-prapaham para penafsir.
Jangan anda mau dibodohi seseorang jika dia menyatakan bahwa pemahamannya atas teks-teks suci sungguh-sungguh puritan, sama seratus persen dengan kehendak dan pikiran Allah sendiri! Teologi seseorang itu tidak terpisah dari psikologinya, dan juga dari sosiologinya dalam arti yang luas, dan juga sebaliknya!
Sebaliknya, penafsiran yang bertanggungjawab adalah penafsiran yang tidak dikendalikan atau didikte prapaham, kendatipun prapaham ini masih bisa ada gunanya hanya di langkah-langkah awal penafsiran sebagai ancang-ancang saja, yang kemudian harus dilepaskan demi menemukan makna sebenarnya suatu teks suci sebagaimana dikehendaki penulis-penulisnya di zaman kuno dan dalam dunia mereka. Menolak pendiktean oleh prapaham-prapaham kita hanya mungkin jika kita menafsir teks-teks kitab suci tidak literalistik, tetapi dengan memakai sebuah pendekatan lain, yang kedua.
Dalam situasi sosialpolitik yang tidak menguntungkan seperti sudah disinggung di atas, untuk meniadakan atau minimal mengurangi tekanan sosiopsikologis dan sosiopolitis terhadap kaum homoseksual, teks-teks skriptural yang tampak melarang dan mengutuk homoseksualitas perlu ditafsir ulang untuk melepaskan teks-teks ini dari dominasi konstruksi tafsiran tradisional literalis yang umumnya memang tidak memihak kaum ini.
Pendekatan yang kedua ini pendekatan yang saintifik terhadap teks-teks kuno kitab suci manapun, disebut sebagai pendekatan historis kritis. Digolongkan sebagai pendekatan saintifik karena memang dijalankan dengan melibatkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu sejarah (sejarah sosial dan sejarah politik), linguistik, arkeologi, antropologi budaya, sosiologi, berbagai jenis kritik sastra, sains modern, dan lain-lain.
Dengan pendekatan historis kritis, semua teks kuno kitab-kitab suci mutlak harus diperlakukan sebagai teks-teks yang terikat pada sejarah, kebudayaan dan sistem sosial zaman-zaman kuno yang di dalamnya para penulis teks-teks ini hidup, bergaul, bermasyarakat, berpikir, memahami dan menjelaskan berbagai kenyataan sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka masing-masing di zaman dan tempat mereka. Dengan demikian, makna atau pesan teks-teks kuno kitab suci selalu terikat dengan konteks sejarah dan konteks kebudayaan masa lalu yang di dalamnya teks-teks ini ditulis (siapapun atau apapun yang dianggap sebagai para penulis teks-teks ini).
Jadi, dalam penafsiran historis kritis adalah mutlak untuk kita mengenali konteks sejarah dan konteks kebudayaan di masa lampau ini, sebelum kita membawa teks-teks ini ke zaman kita di tempat kita. Hanya dengan kembali dulu ke masa lampau di dunia yang lain, prapaham-prapaham kita tidak akan mendikte kita dalam proses menafsirkan teks-teks kuno.
Setelah kita menemukan makna dan pesan teks-teks itu untuk orang di zaman kuno dan di dalam sistem sosial mereka sendiri, barulah kita dapat mengayunkan langkah yang kedua (disebut sebagai langkah hermeneutis), yakni menilai dengan teliti apakah teks-teks kuno ini masih relevan untuk zaman sekarang di dunia kita ataukah sudah tidak relevan lagi sehingga tidak perlu kita gunakan lagi.
Sebagai sebuah sumbangan dalam mendekonstruksi tafsiran tradisional literalis terhadap teks-teks homoseksualitas dalam kitab suci, tulisan ini fokus pada teks-teks Alkitab yang dalam pandangan pertama tampak dalam arti harfiah mengutuk kaum homoseksual. Teks-teks ini mau dipahami dalam konteks sejarah dan konteks kebudayaan serta sistem-sistem sosial di zaman-zaman kuno dan di tempat-tempat yang berbeda dari tempat kehidupan kita sekarang.
Ingatlah selalu, makna atau pesan sebuah teks suci kuno ditentukan bukan oleh Tuhan Allah di langit, tetapi oleh sistem-sistem sosial yang di dalamnya para penulis kitab-kitab suci hidup. Relevansi atau irelevansi teks-teks ini untuk kehidupan zaman sekarang di dunia kita dengan mudah kita akan dapat temukan sejauh kita memiliki kesadaran sejarah dan kesadaran konteks kontemporer kita sendiri.
Tujuh teks utama Alkitab
OK, kita mulai. Terdapat kurang lebih dua puluh rujukan ke homoseksualitas atau ke perilaku homoseksual dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tujuh di antaranya, menurut kalangan Kristen literalis, merupakan teks-teks yang sangat jelas melarang dan mengutuk homoseksualitas atau perilaku homoseksual, yakni Kejadian 19; Imamat 18:22; Imamat 20:13; Roma 1:26-27; 1 Korintus 6:9-10; 1 Timotius 1:9-10; Yudas 1:7. Tetapi kalangan Kristen kritis mengajukan tafsiran yang berbeda atas teks-teks ini dengan memakai metode tafsir historis kritis, dan menegaskan bahwa konsep “orientasi seksual” sebagai homoseksual (atau LGBT) belum dikenal oleh para penulis kitab-kitab suci kuno. Berikut ini tinjauan singkat atas tujuh teks ini dan tafsiran yang diberikan masing-masing kalangan Kristen ini terhadap masing-masing teks ini.
Kejadian 19
Perikop ini mengisahkan tentang niat Tuhan untuk memusnahkan kota Sodom (dan Gomora) karena (kedua) kota ini konon sangat besar dosanya dan durjana (18:20; 19:15). Dua orang lelaki (konon, malaikat) diutus Tuhan untuk menyelidiki keadaan kota ini. Ketika mereka sudah tiba di Sodom, mereka diterima oleh Lot dan diberi tumpangan di rumahnya pada malam hari itu juga. Tetapi semua lelaki dari seluruh kota ini, tua dan muda (19:4), pada malam itu mendatangi rumah Lot dan mengepungnya. Mereka memaksa Lot untuk menyerahkan kedua tamunya itu kepada mereka untuk mereka “sodomi” (Ibrani: yada = “mengetahui”, “berhubungan seksual”). Tetapi Lot melindungi mereka, bahkan dia sampai rela menawarkan dua anak perawannya kepada mereka sebagai pengganti dua orang asing tamunya itu.
Ketika keadaan sudah genting, dua tamu itu menarik Lot ke dalam rumahnya, dan mereka membutakan mata orang banyak yang mau mendobrak pintu rumahnya itu sehingga mereka tidak bisa menemukan pintu masuk. Kisahnya berakhir dengan pemusnahan kedua kota ini melalui letusan gunung berapi, dan hanya Lot beserta keluarganya diluputkan dari bencana ini.
Dalam pandangan kalangan Kristen literalis, Tuhan melenyapkan kota Sodom (dan Gomora) karena kaum lelaki penduduknya mempraktekkan hubungan homoseksual. Dengan demikian, dalam pandangan mereka, Tuhan mengutuk dan menghukum segala jenis homoseksualitas, yang, dalam pandangan mereka, merupakan suatu akibat lanjutan dari “kejatuhan” Adam dan Hawa sebagaimana dikisahkan dalam Kejadian 2-3.
Tetapi kalangan Kristen kritis menolak tafsiran semacam ini. Bagi mereka, teks ini tidak memberi petunjuk jelas apapun tentang bentuk kedurjanaan dan dosa kota Sodom. Sebaliknya teks dengan jelas menyatakan apa sebab-musabab kaum lelaki Sodom mau “menyodomi” dua tamu Lot itu, yakni karena mereka menilai keduanya adalah orang asing yang mau menjadi hakim atas mereka (19:9).
Dalam zaman kuno di kawasan Timur Tengah, raja-raja dari suku-suku bangsa yang ditaklukkan kadangkala diperkosa lewat anus oleh pasukan yang menyerbu masuk sebagai tanda kekalahan, pelecehan dan penghinaan atas mereka. Pemerkosaan secara anal ini juga adalah suatu cara untuk menghina dan merendahkan para wisatawan dan orang asing, dan sekaligus untuk menunjukkan kekuatan dan dominasi penduduk asli dan pihak pemenang./26/ Kalaupun dua tamu Lot itu menilai niat kaum lelaki Sodom untuk memperkosa mereka secara anal sebagai suatu dosa, dosa ini bukanlah dosa homoseksualitas, melainkan dosa memperkosa orang asing yang bertujuan untuk menghina mereka dan untuk memperlihatkan kekuatan dan dominasi para pemerkosa. Dalam banyak kasus lain, pemerkosaan juga dilakukan terhadap perempuan-perempuan dan anak-anak negeri-negeri yang sudah ditaklukkan.
Imamat 18:22
“Janganlah engkau tidur dengan laki-laki sama seperti engkau bersetubuh dengan seorang perempuan, karena hal itu suatu kekejian.”
Bagi kalangan literalis, teks ini, yang dilepaskan dari konteks sastranya, dengan tegas melarang hubungan seksual antar sesama lelaki melalui anus. Tetapi bagi kalangan kritis, teks ini tidak berbicara tentang larangan hubungan homoseksual secara umum.
Jika ditempatkan dalam konteks sastranya dan dalam konteks sosioreligius pada masanya, teks ini ternyata mau menyatakan sesuatu yang lain.
Pasal-pasal sebelum dan sesudah teks ini secara meluas berbicara mengenai idolatri (= penyembahan kepada berhala). Imamat 18:6-18 memuat larangan terhadap berbagai macam inses; ayat 19 berisi larangan bersetubuh dengan seorang perempuan yang sedang haid. Ayat 20 memuat larangan perzinahan. Persis pada ayat 21 kita baca larangan mempersembahkan anak-anak kepada suatu dewa pagan yang bernama Molokh; lalu setelah ayat 22 (lihat teks di atas) menyusul ayat 23 yang memuat larangan perkelaminan dengan binatang, baik oleh lelaki maupun oleh perempuan dari antara orang Israel. Sesudah itu menyusul ayat-ayat 24-30 yang dengan sangat jelas menyebut bahwa semua larangan yang telah disebut sebelumnya telah dilakukan oleh “bangsa-bangsa” lain, yang sama sekali tidak boleh diikuti oleh bangsa Israel.
Di dalam kuil-kuil dewa pagan, khususnya kuil dewa pagan Molokh, terdapat pelacur-pelacur bakti (yakni lelaki atau pun perempuan dewasa, dan juga anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan) yang dalam ritual penyembahan kepada sang dewa melakukan aktivitas persetubuhan. Ritual seksual semacam ini melibatkan kegiatan hubungan homoseksual. Seperti juga banyak masyarakat agraris kuno lainnya, para penyembah dewa ini percaya bahwa jika mereka melakukan persetubuhan dengan para pelacur bakti ini di dalam kuil dewa mereka, dewa mereka akan senang dan sebagai akibatnya pasangan mereka, ternak mereka dan lahan garapan mereka, akan mengalami peningkatan kesuburan dan berbuah-buah./27/
Dengan latarbelakang ritual religius paganisme semacam ini, yang marak dilakukan pada masa Israel kuno, Imamat 18:22 jelas tidak berbicara mengenai larangan dan penolakan terhadap homoseksualitas secara umum, tetapi terhadap ritual pelacuran bakti yang dilaksanakan di kuil-kuil dewa-dewa pagan oleh bangsa-bangsa lain yang mengitari bangsa Israel. Dalam Ulangan 23:17 dengan eksplisit larangan semacam ini diberikan: “Di antara anak-anak perempuan Israel janganlah ada pelacur bakti (Ibrani: quedeshaw), dan di antara anak-anak lelaki Israel janganlah ada semburit bakti (Ibrani: quadesh).” Quadesh bertindak sebagai representasi simbolik Dewa; dan quedeshaw sebagai representasi simbolik Dewi.
Imamat 20:13
“Jika seorang laki-laki tidur dengan seorang laki-laki seperti dia bersetubuh dengan seorang perempuan, keduanya telah melakukan suatu kekejian, dan pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
Teks ini juga memiliki konteks ritual pelacuran bakti di kuil-kuil dewa-dewa pagan, khususnya Dewa pagan Molokh (20:1-7), yang melibatkan aktivitas persetubuhan homoseksual yang dipercaya akan mendatangkan kesuburan. Bangsa Israel dilarang keras meniru praktek ritual pagan semacam ini, dan jika mereka melakukannya, mereka akan dihukum mati. Dalam kehidupan bangsa Israel kuno, hukuman mati kadang dijatuhkan pada umumnya kepada orang Israel yang melakukan suatu pelanggaran ritual, di antaranya menyembah allah-allah lain, mengumpulkan kayu api pada hari Sabat (Bilangan 15:32-36), memakan persembahan-persembahan ritual dengan cara yang tidak pantas (Bilangan 18:32), bertindak sebagai imam dengan cara yang tidak sah (Bilangan 3:10)./28/
Roma 1:26-27
“Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar. Demikian juga suami-suamimeninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman (Yunani: hē askhēmosunē), lelaki dengan lelaki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.”
Surat Roma ditujukan Rasul Paulus kepada orang-orang Kristen yang berdiam di Roma (1:7). Mereka terbenam dalam kebudayaan Romawi di mana perilaku homoseksual ditemukan di mana-mana dan diterima oleh masyarakat. Dalam paganisme kota Roma, orang melakukan ibadah dan ritual kesuburan di kuil-kuil dewa-dewa dan di kultus-kultus misteri, dengan di dalamnya aktivitas pesta-pora seksual dilaksanakan gila-gilaan. Dengan bantuan anggur, berbagai macam obat perangsang, musik dan dukungan hadirin, para peserta ritual kesuburan ini terbawa masuk ke dalam keadaan mabuk dan kehilangan kendali diri, yang mendorong mereka tanpa kendali melampiaskan hasrat birahi mereka dalam suatu hubungan seksual yang tidak normal. Inilah konteks religius kultural teks Roma 1 yang sedang kita soroti./29/
Sebutan “hawa nafsu yang memalukan” dalam teks Roma 1:26 mengacu kepada keadaan mabuk dan gila-gilaan ini yang dialami oleh sejumlah orang di jemaat kota Roma, yang telah meninggalkan kekristenan lalu menganut paganisme kota itu (1:18-23). Semula mereka alamiahnya adalah perempuan-perempuan heteroseksual dan laki-laki heteroseksual. Tetapi, ketika mereka sudah beralih ke paganisme kota Roma dan ambil-bagian dalam ritual-ritual kesuburan pagan, perilaku seksual mereka berubah: kaum perempuan heteroseksual menjadi lesbian, dan kaum lelaki heteroseksual menjadi gay. Paulus menyatakan bahwa mereka menerima “balasan yang setimpal”; ini tampaknya mengacu kepada penyakit kelamin yang telah menjadi epidemik di kalangan peserta kultus kesuburan Paganisme kota Roma./30/ Nah, kalangan inilah yang dikecam dan diperingati Rasul Paulus dalam Roma 1:26-27 sebagai kalangan yang bermoral bobrok dan patut dihukum mati (1:28-32), bukan kalangan yang karena orientasi seksual yang ada pada diri mereka menjalani kehidupan homoseksual.
Karena konsep “orientasi seksual” baru diperkenalkan di abad ke-20 ketika seksualitas dikaji secara ilmiah, dan tentu belum dikenal oleh Rasul Paulus, maka sangatlah tidak tepat jika kalangan Kristen literalis memakai teks Roma 1:26-27 untuk menolak dan mengutuk homoseksualitas secara umum yang dalam zaman modern ini sudah dan terus dikaji secara ilmiah.
1 Korintus 6:9-10
“Atau tidak tahukah kamu bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci [malakoi], orang pemburit [arsenokoitai], pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.”
Kata-kata Yunani untuk kata-kata “banci” dan “orang pemburit” (kata-kata ini dipakai dalam Alkitab Terjemahan Baru Lembaga Alkitab Indonesia) adalah malakoi dan arsenokoitai. Ihwal apa yang dimaksud dengan kata-kata ini dalam pikiran Rasul Paulus banyak diperdebatkan; dan mungkin sekali kata arsenokoitai adalah kata yang diciptakan sendiri olehnya mengingat sebelum dia menulis surat 1 Korintus kira-kira di tahun 55 M tidak ada penulis lain yang telah memakainya./31/
Kalangan Kristen literalis menafsirkan kedua kata ini overall sebagai homoseksual dalam arti seumumnya (bandingkan terjemahan arsenokoitai sebagai “homosexual offenders” dalam Alkitab New International Version yang terjemahannya sarat dengan pandangan kekristenan konservatif). Menurut para literalis, para homoseksual tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah, atau dengan kata lain mereka akan masuk neraka setelah kematian. Jelas, ini bukanlah sebuah tafsiran yang tepat.
Jika Rasul Paulus (menulis surat 1 Korintus sekitar tahun 55 M) bermaksud mengacu ke homoseksual, dia akan memakai sebuah kata Yunani lain yang standard, yakni kata paiderasste yang menunjuk kepada orang yang berperilaku homseksual antara lelaki dengan lelaki./32/
Septuaginta (LXX) (terjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani yang dibuat antara abad ke-3 dan abad ke-1 SM) menerjemahkan kata Ibrani quadesh dalam 1 Raja-raja 14:24; 15:12; dan 22:46 ke dalam suatu kata Yunani yang kurang lebih serupa dengan kata arsenokoitai. Perikop ini dalam LXX ini mengacu ke para “pelacur lelaki yang bekerja di kuil”, yaitu kaum pria yang terlibat dalam ritual seksual di dalam kuil-kuil pagan (Indonesia: pemburit bakti)./33/
Beberapa pemimpin lain gereja perdana berpikir bahwa surat 1 Korintus juga mengacu ke para pemburit bakti di kuil-kuil pagan. Ada juga yang berpendapat bahwa arsenokoitai sebetulnya mengacu ke para pelacur laki-laki yang menerima pelanggan perempuan, suatu pekerjaan yang tampaknya umum dilakukan di dalam kekaisaran Romawi./34/ Di samping itu, sangat mungkin arsenokoitai juga mengacu ke orang-orang yang bekerja sebagai germo atau muncikari./35/
Malakoi (yang diterjemahkan sebagai “banci” dalam Alkitab TB LAI) sebetulnya mengacu ke seorang lelaki muda atau seorang anak lelaki yang terlibat dalam hubungan seksual lewat anus dengan seorang lelaki dewasa yang memilikinya sebagai budaknya. Malakoi adalah mitra seks seorang pria dewasa yang kaya raya. Dengan demikian, istilah yang kedua, arsenokoitai, dapat mengacu ke lelaki dewasa yang memiliki seorang budak yang dijadikan mitra seksualnya pada saat si lelaki dewasa ini berhasrat melampiaskan nafsu syahwatnya. Praktek seksual semacam ini, antara tuan dan budak lelaki, antara seorang pedofili dan korbannya, biasa dijumpai dalam dunia Yunani-Romawi pada era permulaan kekristenan./36/
Jelaslah, dalam 1 Korintus 6:9-10 Rasul Paulus tidak sedang mengecam dan mengutuk orang-orang yang memiliki orientasi homoseksual, baik laki-laki maupun perempuan. Yang ditolak olehnya adalah para praktisi hubungan seksual dalam ritual-ritual kesuburan di kuil-kuil pagan, atau, orang-orang lelaki kaya yang memperlakukan budah-budak lelaki mereka sebagai objek-objek pelampiasan nafsu syahwat mereka, atau orang-orang yang bekerja sebagai muncikari. Jelas, Rasul Paulus menyamakan kedudukan semua golongan ini, yakni sebagai orang-orang yang tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah, padahal anak-anak lelaki yang menjadi budak-budak pemuas nasfu seksual para tuan mereka adalah korban-korban yang patut diberi pertolongan.
1 Timotius 1:9-10
“… yakni dengan keinsafan bahwa hukum Taurat itu bukanlah bagi orang yang benar, melainkan bagi… orang cabul dan pemburit [arsenokoitēs], bagi penculik, bagi pendusta,…”
Pandangan negatif Rasul Paulus terhadap arsenokoitēs (yang diutarakannya dalam surat 1 Korintus pada tahun 55 M, sebagaimana telah dibahas di atas) tetap dipertahankan dalam surat 1 Timotius sebagai salah satu surat pastoral yang ditulis oleh para penjaga dan penafsir warisan teologis Paulus (dua lainnya adalah 2 Timotius dan Titus) antara tahun 100–150 M, yakni paling jauh delapan puluh lima tahun setelah Paulus dieksekusi. Bagi penulis surat 1 Timotius, perilaku arsenokoitēs bertentangan dengan “ajaran yang sehat” yang disusun berdasarkan “injil Allah” (ayat 10,11)./37/
Yudas 1:7
“… sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang.”
Sama seperti Kejadian 19 tidak menyatakan dengan spesifik apa dosa kota Sodom (lihat ulasannya di atas), Yudas 1:7 juga tidak dengan spesifik menyatakan apa yang disebut penulisnya sebagai “kepuasan-kepuasaan yang tak wajar”, yang tidak harus ditafsirkan, seperti tafsiran Kristen literalis, sebagai hubungan homoseksual.
Frasa Yunani dari frasa “kepuasan-kepuasan yang tak wajar” dalam teks ini adalah sarkos heteras, yang secara harfiah, karena direndengkan dengan “percabulan” atau pornea dalam bahasa Yunani/38/, dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “nafsu daging yang lain” atau “hasrat seksual yang tidak wajar” atau “hasrat seksual yang menyimpang” atau “syahwat yang tidak alamiah”./39/
Penulis Surat Yudas menempatkan perilaku seksual yang menyimpang ini dalam konteks peristiwa pemusnahan kota Sodom dan Gomora seperti dikisahkan dalam Kejadian 19. Dengan demikian, sarkos heteras ini dapat ditafsirkan sebagai keinginan penduduk laki-laki kota Sodom untuk memperkosa dua malaikat yang mengunjungi kota mereka. Keinginan ini sesungguhnya adalah suatu penyimpangan, karena mereka ingin menggagahi konon dua malaikat ilahi secara seksual, padahal mereka adalah manusia biasa sementara malaikat adalah makhluk bukan-manusia. Perlu diketahui ada sebuah legenda Yahudi kuno yang mengisahkan bahwa perempuan-perempuan Sodom juga terlibat hubungan seksual dengan para malaikat./40/
Jadi, yang dikecam dan dikutuk oleh penulis Surat Yudas bukanlah homoseksualitas, tetapi keinginan penduduk Sodom untuk bersetubuh dengan makhluk bukan manusia. Dalam hukum Taurat terdapat larangan keras manusia bersetubuh dengan binatang sebagai makhluk bukan manusia (Imamat 18:23).
Kesimpulan kajian teks
Tidak satu pun dari tujuh teks utama tentang homoseksualitas dalam kitab suci gereja yang telah dikupas singkat di atas mengutuk homoseksualitas dan perilaku homoseksual sejauh homoseksualitas ini dipahami sebagai suatu orientasi seksual seseorang dan sejauh perilaku homoseksual ini dipandang sebagai suatu relasi homoseksual antar kalangan gay atau antar kalangan lesbian yang dibangun karena kesepakatan kedua mitra, yang dilandasi cinta dan dijaga oleh komitmen untuk membangun suatu persekutuan hidup yang intim dan langgeng.
Jadi, teks-teks yang telah dikupas di atas tidak tepat atau tidak relevan jika dipakai untuk mengutuk homoseksualitas atas nama sebuah doktrin agama atau atas nama suatu Allah atau, lebih parah lagi, untuk mengkriminalisasi para homoseksual di zaman modern ini.
Tentu saja, kesimpulan saya di atas sangat tidak biasa di telinga para literalis skripturalis, sebab mereka sudah diindoktrinasi secara ideologis sejak dini oleh banyak pihak untuk mengecam, menolak, membenci dan melecehkan LGBT. Bahkan ada gereja-gereja tertentu di Amerika (misalnya Gereja Baptis Westboro) dengan sangat merendahkan memberi label “FAGs” (“Freaky Alien Genotypes”, maksudnya: organisme yang memiliki gen individual alien yang aneh) kepada LGBT sebagai sebuah julukan dalam ujaran kebencian (“hate speech”) mereka terhadap LGBT. Saya berimajinasi, seandainya Yesus hidup di zaman sekarang dan tahu temuan-temuan ilmu pengetahuan modern tentang LGBT, Yesus pasti menerima, menyayangi dan mengayomi para LGBT serta membela mereka yang minoritas ini.
Sebaliknya, kalangan kritis tidak membiarkan diri mereka terindoktrinasi oleh akidah ideologis apapun dalam segala hal, khususnya dalam percakapan cerdas di sekitar topik LGBT.
Masih ada sejumlah teks lain dalam Alkitab yang bisa diacu dalam rangka kajian keagamaan terhadap homoseksualitas, yakni Kejadian 1:28; Kejadian 2:18; Kejadian 2:23-24; Kejadian 9:20-29; Ulangan 23:17; 1 Raja-raja 14:24; 15:12; 22:46; 2 Raja-raja 23:7; Hakim-hakim 19:14-29; Matius 8:5-13; Matius 19:4-5; Matius 19:10-12. Silakan semua teks ini dikaji sendiri dengan kritis.
Anda Bela LGBT karena anda pro-Barat!
Seseorang yang bernama Mr. Macho mengecam saya. Katanya, “Anda membela LGBT karena anda telah menerima pendidikan modern di Barat. Anda kini mempromosikan LGBT di Indonesia. Anda penjilat pantat Barat yang kafir. Sementara anda mengecam Arabisasi atas Indonesia. Itulah diri anda yang sebenarnya.” Ya, kecamannya pedas dan hemat saya diucapkan tanpa pengetahuan dan kesadaran yang matang. Berikut ini respons saya dalam dua poin.
Poin pertama. Mengapa saya membela LGBT meskipun saya bukan aktivis LGBT dan orientasi seksual saya dan keluarga saya semuanya hetero (hingga saat ini)?
Saya membela karena saya melihat LGBT di Indonesia cenderung akan makin ditindas berdasarkan ketidaktahuan masyarakat hetero di Indonesia bahwa kondisi sebagai LGBT bukan dosa dan juga bukan suatu kelainan jiwa atau penyakit dan gangguan mental. Berikut ini alasan-alasan religius saya mengapa saya berpendapat demikian.
Tuhan yang saya yakini mahapencipta bukanlah Tuhan dengan OS tertentu. Tuhan melampaui atau mentransendir semua OS HLGBT. Karena itu, Tuhan mahapencipta merangkul, memelihara, memberi kehidupan dan cinta kepada semua manusia yang memiliki OS apapun. Semakin anda meyakini Tuhan itu mahapencipta, maka semakin perlu anda percaya bahwa dia juga sanggup mencipta bukan hanya OS hetero, tapi juga LGBT. Karena dia mahapencipta, maka dia juga sanggup menciptakan apapun yang tidak dikisahkan atau ditulis dalam semua kitab suci.
Karena OS LGBT itu sunatullah, kejadian natural yang diciptakan Tuhan, maka LGBT juga Tuhan kehendaki untuk tetap ada dan terawat dan bertahan dalam dunia ini. Barangsiapa mencintai Tuhan, mereka juga akan mencintai LGBT. Dari mana saya tahu LGBT itu sunatullah? Tentu bukan dari Prof. Sarlito Wirawan, mahaguru psikologi UI.
Ya saya tahu dari ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah yang mahatahu. Semakin anda percaya Tuhan anda itu mahatahu, maka semakin bersemangat anda dalam mencari pengetahuan-pengetahuan baru. Bahkan sebagai sang pencipta yang mahabaik dan mahatahu, Tuhan juga menghendaki manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dengan tanpa batas dan menemukan dan membangun ilmu pengetahuan baru juga tanpa batas. Ilmu pengetahuan itu adalah sebuah jalan mulia menuju Tuhan, meskipun jalan ini umumnya tidak lurus, dan lebih sering naik turun dan berbelok-belok, sambung-menyambung sejak pertama kali ditemukan, dan terbentang terus ke depan tanpa ujung.
Semakin Tuhan itu dipercaya mahacerdas, maka semakin kuat keinginan anda untuk berakal dan bernalar dengan cerdas. Tuhan yang mahatahu, sebagai orangtua kita yang sayang pada kita, akan luar biasa masygul di hati jika manusia memilih berjalan di jalan kedunguan tanpa batas. Ilmu pengetahuan kerap mencapai batas terjauh di suatu era, yang akan ditembus lagi di era berikutnya, dan masih akan terbatas lagi. Tapi kedunguan itu, kata Albert Einstein, tak punya batas.
Nah dari ilmu pengetahuan (yang sudah saya paparkan dalam bagian pertama tulisan ini), kini kita tahu OS HLGBT terbentuk dari interaksi sejumlah faktor yang sudah diobservasi, yakni faktor-faktor genetik, epigenetik, biologis, serebral, hormonal, fisiologis, psikologis; dan lingkungan kehidupan juga ikut memberi andil.
Semua hal lain yang menyangkut bentuk fisik dan keadaan mental dan pembawaan serta kebiasaan hidup kita juga dibentuk oleh faktor-faktor yang sama. Informasi genetik, bagaimanapun juga, berperan besar dalam membentuk diri seseorang (fisik dan mental) dalam segala aspek kehidupan. Alis mata anda, atau kumis anda, atau seluruh rambut di kepala anda, apa warnanya, bagaimana bentuknya, bahkan sampai ke soal ubanan dan kebotakan, semuanya telah ditemukan punya basis genetik yang kuat./41/
Nah, karena OS itu berbasis biologis dalam arti luas, tentu saja sejak manusia cerdas (Homo sapiens) ada di muka Bumi, OS HLGBT tentu juga sudah ada, sebagaimana sudah saya singgung dalam bagian pertama tulisan ini.
Kembali ke Tuhan. Dia juga sanggup mencipta hukum-hukum alam yang tak pernah habis yang diberinya kuasa untuk berjalan dan berlaku sendiri tanpa kendalinya lagi. Dia juga sanggup membiarkan hukum-hukum alam berkembang dan berproses sendiri apapun akibatnya bagi dunia dan semua organisme dan non-organisme penghuni seluruh alam yang tanpa batas.
Dia juga memberi kehendak bebas atau freewill kepada bukan hanya manusia dan organisme sentien tapi juga kepada hukum-hukum alam untuk bekerja sendiri sejalan dengan kehendak internal hukum-hukum ini, termasuk hukum evolusi “by natural selection”, termasuk juga hukum fisika dan hukum kimiawi yang bekerja dalam tubuh setiap organisme sehingga setiap organisme dapat terbentuk, mula-mula sebagai embrio, lalu lahir dan tumbuh dan berkembang makin matang secara ragawi dan mental.
Poin kedua. Menurut saya, orang yang eling dan sehat mental adalah orang yang mau hidup maju terus, makin modern, menuju peradaban yang makin maju dan besar, dari peradaban Bumi menuju peradaban sistem Matahari. Dalam peradaban tahap dua lanjutan ini, Homo sapiens yang sudah merancang sendiri evolusi mereka akan mendiami bukan hanya planet Bumi, tapi juga planet-planet dan bulan-bulan lain dalam sistem Matahari dan membangun peradaban baru mereka di sana. Hanya orang yang mengalami masalah mental berat yang tak mau maju atau malah tak mau hidup lagi. Juga orang yang dungu atau lahir dengan mental terbelakang.
Kemajuan peradaban realitanya berlangsung di dunia Barat modern, sebuah model dunia yang orang di dalamnya umumnya terbiasa berpikir saintifik. Sudah melek sains. Telah bebas dari buta sains. Dunia ini adalah dunia Amerika, Kanada, Eropa Barat, Australia, Jepang, Korsel, Rusia (pasca perang dingin), China, dan mungkin juga India dll negeri kecil di Asia. Juga Israel. Dengan Iran, saya tak yakin.
Barangsiapa ingin maju dan menjadi modern dan mau ambil bagian dalam pembangunan peradaban sistem Matahari strateginya hanya ini: bersahabat dengan Barat dan belajar dan mencari dan menguasai sains-tek Barat. Menjilat pantat Barat hanya dilakukan orang yang berjiwa kerdil dan bermental pengemis. Hanya akan menjadi budak Barat.
Alternatifnya yang kontras ya ini: Tetap saling membunuh dalam perang atas nama ideologi agama seperti yang kini sedang berlangsung di gurun-gurun pasir mulai dari negeri-negeri Arab di Timteng hingga Turki, bahkan juga Afrika, antar sesama negara Islam aliran-aliran berbeda. Perangnya perang agama. Ironinya, yang diperangi satu sama lain adalah agama yang sama, Islam itu sendiri. Barat intervensi? Tentu saja.
Anda pilih alternatif yang mana? Bawa budaya perang dan radikalisme agama Timteng ke NKRI yang akan memporakporandakan negeri luas ini? Atau mempertemukan budaya Indonesia nusantara yang saya lihat jauh lebih unggul dari budaya Arab dan mengawinkannya dengan modernitas supaya NKRI bisa ikut serta dalam membangun peradaban yang makin modern dan makin luas di planet Bumi dan, tentu saja, nanti juga di luar planet Bumi sebagai suatu peradaban sistem Matahari?
Kita semua perlu melahirkan Albert Einstein Indonesia. Martin Luther King Indonesia. Bill Gates Indonesia. Mark Zuckeberg Indonesia. Max Planck Indonesia. Fabiola Gianotti Indonesia. Peter Higgs Indonesia. Stephen Hawking Indonesia. Mozart Indonesia. Celine Dion Indonesia. Ray Kurzweil Indonesia. Michio Kaku Indonesia. Elon Musk Indonesia. Steven Allan Spielberg Indonesia. Gay penyanyi yang telah memenangkan Piala Oscar (2016) Sam Smith Indonesia. NASA dan ESA Indonesia.
Orang yang eling, cerdas dan tak taklid buta pada agama pasti akan pilih alternatif bersahabat dengan dan belajar dari Barat. Penjilat pantat itu bukan sahabat, tapi akan nantinya berubah jadi musuh yang akan menikam dari belakang.
Serangan paranoia!
Beberapa orang telah menyatakan kepada saya dengan rasa cemas bahwa gerakan kaum LGBT yang marak dewasa ini sebetulnya punya tujuan jangka panjang untuk merebut kendali dunia dari tangan kalangan hetero yang kini sedang mengendalikan dunia. Kata mereka, para hetero yang anti-LGBT khawatir negeri-negeri berpenduduk besar seperti RRC dan Indonesia yang sekarang dipimpin para hetero nantinya akan jatuh ke tangan kalangan LGBT.
Apa tanggapan saya terhadap orang yang saya harus nilai sedang terkena neurotisisme paranoia itu? Dari semula mereka pakai alasan agama, kini mereka menambah alasan politik (konspirasi) dalam menyerang kaum LGBT. Berikut ini tanggapan saya lebih jauh.
LGBT di dunia ini minoritas dan mereka juga tak bisa membuat yang hetero jadi LGBT, karena jadi LGBT bukan pilihan sendiri, tapi berbasis genetis dan biologis. Pengaruh lingkungan bisa ada, tapi jauh lebih lemah dibandingkan sunatullah gen dan biologi secara umum. OS HLGBT juga bukan penyakit menular. Bukan cacar air. Bukan virus HIV/AIDS. Bukan herpes. Bukan TBC. OS LGBT juga bukan kanker, suatu penyakit pembunuh yang kini sudah ditemukan sangat mungkin bisa menular ke orang lain./42/
Sejauh menyangkut LGBT sintonik―yaitu LGBT yang happy, relaxed, punya harkat dan martabat, kehormatan diri, percaya diri dan hidup mereka teraktualisasi―OS LGBT adalah sesuatu yang normal saja, bagian dari sunatullah, sesuatu yang genetik dan biologis, sama seperti OS hetero. Kalau anda yang hetero bertanya dengan nada curiga mengapa mereka menjadi LGBT, ajukanlah juga pertanyaan yang sama kepada diri anda dengan curiga, mengapa diri anda hetero. Jika anda ingin jawaban to the point apakah LGBT itu dosa atau tidak, tanyalah juga ke diri anda jika anda hetero: Apakah hetero itu dosa atau bukan. Ketika anda mengacungkan satu jari telunjuk anda ke orang lain, ingatlah bahwa tiga jari anda lainnya dengan ditopang oleh jempol juga terarah kepada diri anda sendiri. Sudah saya ingatkan berulang kali, sikap dan perilaku homofobik juga muncul dalam diri para LGBT distonik yang membenci dan menolak diri mereka sendiri sebagai LGBT karena represi, sikap otoriter dan antipati yang diperlihatkan orangtua dan saudara-saudara mereka terhadap mereka.
Lagi pula tidak ada gerakan LGBT yang bertujuan mau mengubah seluruh warga masyarakat jadi LGBT. Tidak ada gerakan LGBT sedunia yang dengan paranoid dikaitkan oleh sementara orang dengan isu sedang dibangunnya New World Order oleh para kapitalis Barat. Juga tidak benar sama sekali jika orang hetero menyatakan bahwa maraknya gerakan LGBT pada aras global sama bahayanya dengan perang nuklir (seperti dinyatakan dengan berlebihan oleh Paus Fransiskus seperti sudah diungkap di awal tulisan panjang ini!), cuma perang yang sedang dilancarkan para LGBT ini, mereka berteori, memakai cara-cara yang lunak atau soft war. Pendapat politis inilah yang dengan yakin sekali telah dinyatakan oleh seorang pejabat tinggi negara RI baru-baru ini kepada masyarakat.
Kata sang pejabat tinggi NKRI itu, tujuan soft war yang sedang digelar kaum LGBT adalah untuk “memanipulasi pola pikir generasi muda”, dan, katanya juga, kaum LGBT di NKRI tidak perlu dilindungi, tapi harus diperangi./43/ Selain itu, sang pejabat tinggi NKRI itu juga menempatkan gerakan LGBT di Indonesia sebagai bagian dari suatu perang yang sekarang dinamakan Proxy War atau Perang Proxy (PP) yang bertujuan untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu bangsa lain yang menyerang itu mengerahkan kekuatan militer sendiri. Dalam PP, dipakai kekuatan pihak ketiga oleh pihak penyerang untuk mengalahkan dan menaklukkan pihak yang diserang./44/
Dalam konteks NKRI, kaum LGBT itu jadinya, menurut beliau, menempati posisi ketiga yang dikerahkan dan didanai oleh pihak pertama yang menyerang (siapa pihak pertama ini? Mungkin bagi beliau, para pelaku ekonomi yang berideologi kapitalisme pasar bebas!) untuk mengalahkan dan menaklukkan pihak kedua yang sedang diserang secara tidak langsung oleh pihak pertama (siapa pihak kedua dalam NKRI ini? Mungkin menurut beliau, para pelaku ekonomi di NKRI yang berideologi antikapitalisme dan anti-pasar bebas! Siapakah mereka ini?).
Jika hal-hal itu yang menjadi pendapat politis beliau tentang LGBT WNI, pantas saja jika bagi beliau kaum LGBT WNI itu perlu diperangi, karena mereka ditempatkan dalam konteks perang modern soft war atau proxy war. Pilu betul hati saya mengetahui sikap dan pendirian beliau ini. Bagi saya, WNI LGBT ya WNI, dan negara yang benar ya melindungi semua warganegaranya, bukan memerangi mereka sejauh mereka tidak melakukan tindak kriminal atau terorisme atau makar. Jauh dari akal sehat dan akal ilmiah saya bahwa LGBT WNI kini sedang dilibatkan dalam perang modern di dalam NKRI!
Cara berpikir yang militeristik ini, bahayanya, juga bisa dikenakan pada gerakan-gerakan kelompok-kelompok minoritas apapun dalam NKRI, misalnya komunitas Ahmadiyah atau komunitas Syiah atau komunitas etnis minoritas manapun, atau bahkan pada semua perusahaan multinasional yang beroperasi dalam wilayah NKRI, apalagi dalam era MEA yang dimulai 2016.
Ya, betul, gerakan LGBT di Indonesia dewasa ini memang marak, tapi bukan dalam konteks soft war atau proxy war. Mereka aktif hanya dengan satu tujuan: berjuang untuk HAM mereka diakui sama seperti HAM para hetero diakui. Juga sangat mustahil mereka yang berjumlah sangat kecil ini sedang melakukan aksi pencucian otak generasi muda mayoritas besar yang bukan LGBT. Tak ada kekuatan pada LGBT WNI untuk melakukan aksi keji cuci otak kaum muda. Segala kecurigaan mudah sekali ditujukan kepada kaum LGBT yang rentan.
Pada sisi lain, yang sangat mungkin terjadi malah sebaliknya: kalangan hetero yang berideologi anti-LGBT punya banyak kekuatan untuk memusnahkan LGBT bak seekor gajah dengan tapak kakinya yang besar dengan tenang dan mudah menginjak seekor semut sampai lumat mat mat.
Di seluruh dunia, LGBT itu minoritas, juga di Indonesia. Maksimal di NKRI saya perkirakan hanya ada 0,5 persen saja yang LGBT dari 270 juta kepala, dan hanya sedikit yang sudah “coming out”, terang-terangan menyatakan diri kepada publik bahwa mereka ada. Sisanya tetap silent and hidden. Jadi adalah suatu kecemasan dan kecurigaan yang berlebihan jika ada kalangan yang berasumsi bahwa kaum LGBT akan merebut seluruh kendali dunia entah lewat soft war atau hard war atau proxy war. Dalam sikon ini, yang punya masalah kejiwaan bukan LGBT, tetapi mereka yang berideologi anti-LGBT!
Lagipula, dengan sains-tek reproduktif baru, para homoseksual juga bisa punya anak sendiri yang satu gen dengan mereka lewat sel-sel kulit mereka yang dengan bantuan gen SOX17 dapat diubah dan diprogram ulang untuk menjadi sel-sel pendahulu sel sperma dan sel telur yang dapat dipertemukan untuk menghasilkan janin manusia yang sehat.
Jadi, kalau LGBT mau mengembangkan jumlah populasi mereka di dunia, ya sains-tek terobosan baru itu yang mereka akan gunakan, bukan dengan memanipulasi pola pikir atau mencuci otak orang lain yang bukan LGBT. Orang LGBT lahir bukan lewat cuci otak dengan deterjen jenis apapun, tapi karena biologi, karena peran gen. Tapi penting untuk saya tekankan fakta ini bahwa anak-anak dari orangtua LGBT tidak otomatis akan jadi LGBT juga. Ada banyak faktor lain yang berperan yang akan membentuk OS mereka.
Siapapun yang sedang terkena paranoia, sebaiknya berkonsultasi dengan seorang psikiater. Bukan LGBT-nya yang dibawa ke psikiater untuk direparasi. Daripada jilat pantat dan terkena paranoia, mari kita nikmati es krim saja dengan lidah kita. Nikmat dan fresh.
Ketika seorang saintis ditaklukkan agama!
Sikap dan posisi para saintis jelas sangat berbeda dari sikap para agamawan dan hakikat agama. Agama dan para agamawan memandang semua pengetahuan kuno manusia di era pra-modern dan pra-ilmiah tentang seksualitas, yang masuk ke dalam kitab-kitab suci zaman dulu, sudah final dan benar mutlak. Ketika mereka diminta untuk memberi bukti-bukti atas klaim mutlak-mutlakan mereka ini, mereka selalu mengelak dengan menjawab, “Wah, itu semua wahyu Allah yang pasti tidak bisa salah.”
Betulkah? Ya, betul, sejauh hanya sebagai asumsi-asumsi belaka tanpa pembuktian empiris klinis apapun. Dengan sikap seperti ini tentu saja mereka tidak akan pernah bisa membicarakan orientasi seksual manusia di ranah ilmiah, kapan pun juga.
Begitu juga, jika seseorang yang sudah menjalani studi panjang dalam dunia sains, lalu telah lulus menjadi seorang doktor, katakanlah seorang Ph.D., tetapi, setelah itu, semua pikirannya masih dikendalikan mutlak oleh agamanya, maka dia akhirnya akan berubah juga menjadi seorang pseudosaintis, alias saintis gadungan.
Sebagai para pseudosaintis, mereka akan memelintir sains apapun untuk dicocok-cocokkan dengan kemauan agama mereka. Temuan-temuan sains modern tentang homoseksualitas pun akan dengan segala cara berusaha mereka telikung di sana-sini, dan akhirnya akan mereka abaikan sama sekali, atau mereka kabarkan ke mana-mana bahwa pandangan-pandangan saintifik tentang orientasi seksual semuanya salah. Yang benar, kata mereka, hanyalah apa yang telah ditulis dalam kitab suci mereka! Di kalangan Kristen, ada segelintir orang jenis ini yang sedang berupaya membangun sebuah ilmu kedokteran baru yang mereka namakan ilmu kedokteran alkitabiah! Saya bertanya-tanya sendiri, ini ilmu atau ngelmu? Ini ilmu normal atau ngelmu paranormal?
Para saintis gadungan yang telah ditundukkan oleh agama mereka ini ada sangat banyak, bukan hanya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tapi bahkan juga di negara maju Amerika Serikat, misalnya Dr. Ben Carson yang sudah saya beberkan dalam bagian pertama tulisan saya ini. Status Carson yang pernah dikenal sebagai seorang dokter yang hebat di bidangnya (yakni sebagai dokter pertama di dunia yang sukses memisahkan bayi kembar siam) kini sedang dirusaknya sendiri oleh kepercayaan-kepercayaan keagamaannya sebagai seorang Kristen evangelikal skripturalis literalis, yang mengendalikan seluruh pikiran, pengetahuan dan perasaannya.
Jangan diabaikan: agama apapun mempunyai kekuatan untuk membuat anda yakin bahwa anda benar meskipun anda tahu anda tetap salah! Inilah yang dinamakan “backfire effect”, efek bumerang, yang lazimnya terjadi pada orang-orang yang hidup “in denial”, hidup dengan menyangkal semua fakta keras yang tidak sejalan dengan keyakinan-keyakinan ideologis (religius dan sekular) yang mereka pertahankan mati atau hidup. Orang yang hidup seperti ini sesungguhnya sedang menanggung banyak problem sosiopsikologis yang sangat berat!
Hiduplah dengan happy!
Jadi, jika anda memang seorang homoseksual, dan anda percaya bahwa OS anda ini genetis, bawaan kelahiran, ya hiduplah dengan happy, jangan tertekan, dan jika memungkinkan, berterusteranglah kepada semua orang, kepada masyarakat anda, bahwa anda memang memiliki OS homoseksual, tentu lewat gaya hidup dan pergaulan yang sesuai dengan tata-krama pergaulan yang pantas dalam masyarakat anda. Jangan berlebihan. Jangan ekstrim. Jangan juga suka teriak-teriak histeris dalam demo di jalan-jalan.
Jika anda merasa sendirian, ya carilah dan temukan komunitas-komunitas yang dapat menerima anda apa adanya, seperti semua anggota yang lainnya juga dapat menerima diri mereka apa adanya dan merasa happy dalam kehidupan mereka. Jika anda dan pasangan sejenis anda tidak bisa menikah resmi karena ketentuan hukum yang mendukung perkawinan sejenis tidak ada, ya anda hidup bersama saja tanpa ikatan perkawinan yang resmi. Negara memang tidak perlu mencampuri.
Tetapi saya mau membangun semangat anda. Lewat perjuangan yang tidak kenal lelah, anda masih bisa punya masa depan yang bagus. Belajarlah dari kasus yang mau saya beberkan berikut ini, khususnya yang menyangkut kasus hukumnya, yang pernah sangat terkenal di Indonesia di awal 1970-an.
Kasus ini menyangkut kaum waria (lakuran kata-kata “wanita” dan “pria”) atau “transgender”. Waria (pernah juga disebut “wadam”, lakuran hawa dan adam) adalah seorang insan yang secara lahiriah kelihatan sebagai pria, tetapi dalam kehidupan sehari-hari menampakkan pola-pola kelakuan, perasaan, sifat, gerak-gerik, dan pembawaan sebagai wanita. Ada sejumlah waria di Indonesia yang sudah mengganti kelamin mereka, dari kelamin pria menjadi kelamin wanita. Ada yang melakukannya diam-diam, dan ada yang menjadi terbuka dalam masyarakat karena mereka memperjuangkan status hukum mereka setelah mengganti kelamin. Saya ingin anda fokus pada perjuangan waria Iwan Robbyanto Iskandar di ranah hukum.
Iwan Robbyanto Iskandar dilahirkan sebagai lelaki, 1 Januari 1944, dengan nama China Khan Kok Hian. Tetapi sejak kecil, khususnya sejak dia berusia 5 tahun, pola-pola kelakuan, sifat, gerak-gerik, dan pembawaannya menunjukkan dia wanita. Akhirnya, ketika sudah dewasa, dia menjadi perempuan lewat operasi dan terapi hormonal di RS Universitas Singapura, Januari 1973. Ketika sudah jadi perempuan, pada September 1973 dia mengajukan permohonan ke pengadilan negeri Jakarta Barat-Selatan untuk statusnya sebagai perempuan diabsahkan. Waktu itu kasusnya menjadi isu yang panas dibicarakan dalam masyarakat. Sejumlah lembaga keagamaan mengutuknya. Sebagian masyarakat bersimpati kepadanya dan membelanya, termasuk lembaga-lembaga yang bergerak dalam kajian-kajian seksualitas manusia.
Akhirnya pada 11 November 1973, pengadilan mengabsahkan Iwan sebagai seorang perempuan dengan nama Vivian Rubianti Iskandar. Lalu Vivian menikah, dengan mencatatkan perkawinannya di catatan sipil awal November 1975. Sayang, pernikahannya kandas dan selanjutnya dia memilih berdiam di Australia. Saya jadinya merenung-renung. Mungkin jauh lebih baik dan jauh lebih membahagiakan jika Iwan Robbyanto Iskandar dulu bertahan dengan happy dan relaks saja sebagai waria, dan sangat mungkin dia akan bisa berbahagia dan hidupnya teraktualisasi jika keluarga dan masyarakatnya menerimanya apa adanya, sebagai waria.
Tetapi, bagi saya pada kesempatan ini, hal yang menarik adalah diskusi-diskusi tentang aspek-aspek hukum penggantian kelamin pria Iwan Robbyanto Iskandar menjadi wanita Vivian Rubianti Iskandar. Waktu itu, Adnan Buyung Nasution menjadi pengacara yang memperjuangkan pengakuan negara atas status barunya sebagai perempuan. Tentang ini, saya kutipkan satu paragraf bagus dari sebuah kolom yang saya temukan via Internet, berikut ini:
“Secara hukum, ada yang berpendapat pengadilan seharusnya menolak permohonan Iwan. Alasannya, belum ada undang-undang (UU) yang mengatur pergantian kelamin dan hakim bukanlah pembuat UU. Adnan Buyung Nasution, pengacara Iwan, berpendapat sebaliknya. Belum adanya UU justru merupakan sebuah kesempatan bagi para hakim untuk membuat hukum. Permohonan pengesahan status yang diajukan Iwan tidak boleh ditolak hanya karena belum ada UU yang mengaturnya. Ini sesuai pula dengan UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tahun 1970.”/45/
Nah, pahamilah, ketiadaan ketentuan hukum apapun di NKRI sekarang ini untuk perkawinan sesama jenis tidak berarti masa depan anda gelap sama sekali. Berjuanglah bersama rekan-rekan anda dan semua orang lain yang memahami anda, tentu dengan cara-cara yang lemah-lembut, cerdas, sabar, bersahabat, happy, pantas, bermartabat, dan dengan kepercayaan bahwa Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang tidak pernah akan meninggalkan anda.
Nah, untuk orang-orang lain yang suka melecehkan bahkan membenci para homoseksual, umumnya karena alasan-alasan keagamaan yang kolot dan karena memang tidak mengikuti perkembangan kajian-kajian sains atas homoseksualitas, saya mau kutipkan pernyataan Paul Henry Gebhard dalam sebuah artikelnya di Encyclopaedia Britannica yang berjudul “Human Sexual Behaviour”, bahwa
“Setelah segalanya diperhitungkan, maka seperti semua aspek penting lainnya dalam kehidupan manusia, seksualitas juga harus ditangani pada level individual dan level sosial, dengan sekaligus memakai rasionalitas, sensitivitas, dan toleransi. Hanya dengan sikap seperti ini, masyarakat dapat menghindari masalah-masalah individual dan sosial yang muncul dari kebodohan dan kesalahan konsep.”/46/
Kalau anda memakai dalil-dalil agama untuk menolak hak hidup dan hak bermasyarakat kalangan LGBT, berilah juga ruang lebar untuk orang bersikap simpatik dan empatetik terhadap kalangan ini atas dasar temuan-temuan ilmu pengetahuan modern tentang orientasi seksual dan atas nama kemanusiaan global.
Tokh kita semua sudah tahu, ilmu pengetahuan itu tidak memihak ideologi apapun (meskipun para politikus dan para pengpeng kerap juga berusaha keras untuk mencari dan memperoleh banyak keuntungan pribadi dari dunia sains), tetapi berlaku universal, dan dinamis, dan kini sudah dan sedang masuk ke semua bidang kehidupan kita, bahkan mengendalikan kehidupan kita sampai ke hal-hal yang paling personal.
Di tangan para saintis agung, ilmu pengetahuan (dan teknologi sebagai terapannya) menjadi suatu wahana paling cerdas untuk memajukan peradaban manusia, bukan hanya di planet Bumi ini, tetapi juga demi mempertahankan kehidupan spesies Homo sapiens ketika nanti spesies ini, dalam proses evolusi mereka (yang alamiah dan yang dirancang sendiri lewat teknologi), akan membangun sebuah peradaban sistem Matahari, yang akan disusul dengan sebuah peradaban galaktik dan seterusnya.
Soal LGBT hanyalah soal setitik debu partikel dalam kosmos kita yang tanpa batas dan terus mengembang makin cepat, dan abadi. Masih ada segunung persoalan lain yang sangat jauh lebih besar yang kita semua sedang dan akan hadapi dengan cerdas.
Meski hanya isu sebesar satu titik debu dalam jagat raya, di planet Bumi dan di Indonesia khususnya perjuangan untuk menerima dan menyayangi para LGBT adalah suatu perjuangan besar, sebab akan tetap ada usaha-usaha dari para ideolog anti-LGBT untuk menjahati dan mengkriminalisasi kelompok minoritas LGBT.
Terkait berbagai usaha legal dalam beberapa tahun terakhir ini untuk mengkriminalisasi LGBT, kita sudah mengetahui ihwal bahwa Mahkamah Konstitusi RI sudah mengambil suatu keputusan yang patut.
Di Jakarta, Kamis, 14 Desember 2017, Mahkamah Konstitusi RI memutuskan menolak LGBT (dan hubungan di luar nikah) dikriminalisasi, karena bukan wewenang MK sebagai suatu lembaga yudikatif untuk merumuskan tindak pidana baru yang menjadi wewenang pembentuk UU (yakni DPR dan Presiden, sebagai "positive legislator"). Sejauh menyangkut UU, MK memiliki wewenang hanya sebagai "negative legislator" yang dapat menolak suatu UU jika terbukti UU tersebut bertentangan atau tidak konsisten dengan UU lain yang lebih tinggi.
Dari 9 hakim MK, yang mendukung keputusan itu 5 orang hakim (Saldi Isra, Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, M. Sitompul, dan Suhartoyo), sedangkan 4 hakim lainnya mengambil sikap berbeda.
Keputusan MK tersebut diambil sebagai respons atas permohonan uji material atas KUHP pasal-pasal 284 (tentang perzinahan), 285 (tentang perkosaan), dan 292 (tentang percabulan anak) yang diajukan AILA (Aliansi Cinta Keluarga Indonesia) yang diketuai Rita Hendrawaty Soebagio, dengan salah seorang anggotanya Prof. Euis Sunarti (guru besar bidang ketahanan keluarga Institut Pertanian Bogor). Pada sisi lain, Dian Kartikasari, seorang anggota Koalisi Perempuan, menyatakan bahwa keputusan MK itu menunjukkan MK "memenangkan akal sehat."
Segera saja keputusan MK tersebut dinilai oleh banyak orang yang tidak paham sebagai legalisasi LGBT dan zina. Menanggapi penilaian yang keliru itu, juru bicara MK, Fajar Laksono, menegaskan bahwa dalam putusan MK terhadap perkara uji material nomor 46/PUU-XIV/2016, MK tidak melegalkan perbuatan seksual sejenis. Kata Laksono dalam sebuah keterangan tertulis (Senin, 18 Desember 2017), "Tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan Mahkamah yang menyebut istilah LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), apalagi dikatakan melegalkannya."
Mantan ketua MK, Mahfud MD, juga ikut memberi respons atas penilaian atau sangkaan yang keliru itu lewat akun Twitter-nya di @mohmahfudmd, 15, 16 dan 17 Des 2017. Cuitannya berbunyi, "Yang kurang paham, menuding MK membuat vonis membolehkan zina dan LGBT. Yang benar, MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas yang ada di KUHP, bukan membolehkan, atau melarang. MK memang tidak boleh membuat norma." Mahfud MD juga menyatakan bahwa "mengatur untuk membolehkan atau melarang sesuatu adalah ranah legislatif, bukan ranah yudikatif. MK menolak memberi tafsir karena sudah diatur jelas di KUHP. Zina tetap dilarang...."/47/
Penutup
Saya melihat, ada tiga pilihan dalam menghadapi soal seksualitas manusia, khususnya homoseksualitas: pertama, bersikap acuh tak acuh karena merasa soal ini bukan urusan anda; kedua, menanggapinya dengan kebodohan dan fanatisme karena memegang keyakinan-keyakinan lama dan kolot tentang homoseksualitas; atau, ketiga, menanggapinya dengan cerdas dan memberi sikap yang tepat berdasarkan masukan-masukan dari ilmu pengetahuan dan etika.
Perlu diingat bahwa gagasan tentang OS HLGBTIQ muncul ke permukaan lalu menjadi sebuah gagasan yang makin umum baru pada abad ke-20 ketika seksualitas manusia mulai dikaji secara saintifik. Di zaman-zaman kuno ketika berbagai kitab suci ditulis konsep OS sama sekali belum dikenal; sains yang mempelajari seksualitas manusia secara klinis belum ada. Jadi, jangan memaksa membawa masuk dunia kuno ke dalam zaman modern, zaman di mana sains telah dan sedang memasuki nyaris semua bidang kehidupan manusia.
Supaya orang dengan OS homoseksual diperlakukan setara dengan orang dengan OS heteroseksual, dan juga supaya para heteroseksual diperlakukan sama dengan para homoseksual, saya memandang perlu untuk kalangan heteroseksual dimasukkan ke dalam LGBTIQ sehingga singkatan yang lebih inklusif dan adil adalah HLGBTIQ. Saya berharap, seterusnya singkatan HLGBTIQ dipakai dalam setiap percakapan atau tulisan atau ketentuan hukum (nasional dan internasional) tentang OS.
Saya sekarang perlu menegaskan dengan kuat, bahwa saya sama sekali tidak mampu untuk menentukan apakah NKRI nantinya mau melegalisasi perkawinan sesama jenis atau tidak. Untuk bergerak ke arah sana, saya sama sekali tidak punya kekuatan apapun, karena saya bukan seorang politikus tangguh yang duduk di lembaga legislatif negara ini. Saya hanyalah seorang kawulo kecil yang sedang berusaha mengamalkan agama besar Kebaikan Hati.
Tujuan saya yang utama menulis panjang lebar (dalam dua bagian) tentang orientasi seksual, khususnya homoseksualitas, adalah untuk mencelikkan mata masyarakat Indonesia di manapun bahwa orang-orang LGBT adalah orang-orang yang tidak memilih diri mereka sendiri sejak dalam rahim ibu mereka untuk menjadi LGBT. Ada faktor-faktor biologis dan genetis yang berpengaruh kuat dalam membentuk mereka menjadi LGBT, yang mereka tidak bisa tolak atau lawan ketika dilahirkan.
Jadi, sebagaimana kita bisa menerima dan bisa mencintai lelaki dan perempuan heteroseksual, mustinya kita bisa juga menerima dan bisa mencintai kalangan LGBT, sebagai sama-sama ciptaan sang Khalik yang mahabesar, al-Rahman dan al-Rahim. Tuhan yang mahapenyayang ini telah menciptakan bintang Matahari kita supaya cahayanya, panasnya dan terangnya memberi manfaat besar bagi kehidupan setiap insan dari orientasi seksual apapun.
Sebagai penutup, saya sekali lagi ingin membangun semangat anda yang LGBT dengan mengacu ke kasus pedangdut SJ yang kini sedang ditangani pihak kepolisian RI (sejak Februari 2016) atas laporan seorang lelaki muda korbannya. Kasus ini, memprihatinkan sekali, kini sedang dijadikan dalih oleh banyak ideolog anti-LGBT untuk makin mendiskreditkan kalangan LGBT. Kata mereka, itulah kebejatan moral para LGBT dengan mereka mengacu ke SJ yang sudah dikonfirmasi sebagai gay dan juga pedofilik. Dengan dalih ini mereka makin bertekad kuat untuk memerangi LGBT di Indonesia.
Sejumlah orang, karena kasus SJ itu, bertanya kepada saya, “Bagaimana nih Pak jadinya ke depan untuk kalangan LGBT?” Berikut ini jawaban pendek saya.
“Sama seperti banyak hetero yang mata keranjang, pacaran di tempat umum dengan berlebihan, mempraktekkan freesex, suka pesta seks eksperimental gila, suka narkotik, jadi playboys/playgirls, dan suka cari dan bersetubuh dengan PSK ganti-ganti, dari kelas rendah hingga kelas atas, dan banyak yang terkena dan menularkan HIV/AIDS, mengkhianati istri/suami, tentu ada juga LGBT yang berlebihan. Tapi sama seperti ada banyak hetero yang punya martabat dan kawin monogamis, begitu juga halnya dengan LGBT. Realistiklah dalam memandang dunia ini.”
Jika ada rekan saya yang LGBT, jalanilah kehidupan anda dengan relaks, kalem, cerdas, happy, jangan mata keranjang, jangan suka freesex. Pilihlah satu saja mitra hidup sejati, setia sampai mati satu sama lain, dan kerja keras dan kerja cerdaslah untuk dapat penghasilan halal. Jika ini jalan hidup teman-teman LGBT, maka anda semua adalah LGBT yang punya self-esteem, punya harkat dan martabat diri. Apalagi jika anda punya IQ tinggi. Bangun dan kembangkan sains dan teknologi di negeri kita supaya lewat anda yang LGBT, Indonesia dapat menjadi negara maju yang mampu bersaing di arena global dalam dunia sains dan teknologi.
Jika anda LBGT yang percaya diri, happy, relaxed, dan mampu mempertahankan harkat dan martabat anda dengan agung, maka dalam psikologi anda digolongkan sebagai LGBT tipe sintonik. Jika anda LGBT tipe distonik, tidak berbahagia dengan diri dan kehidupan anda sendiri, saya yakinkan anda bahwa anda pasti mampu memberdayakan diri anda sendiri, atau dengan bantuan teman-teman anda, untuk juga menjadi LGBT tipe sintonik. SELESAI.
Salam dalam kesunyian
Jakarta, 13 Juli 2016
ioanes rakhmat
Notes
/1/ Lihat berita Heru Margianto, “Homoseksual Bukan Penyimpangan Seksual”, Kompas.com, 11 November 2008, pada http://nasional.kompas.com/read/2008/11/11/13081144/Homoseksual.Bukan.Penyimpangan.Seksual.
/2/ Lihat Yunanto Wiji Utomo, “Nyatakan LGBT Gangguan Jiwa, dr. Fidiansyah Dituding Menutupi Kebenaran”, Kompas.com, 19 Februari 2016, pada http://sains.kompas.com/read/2016/02/19/16141561/Nyatakan.LGBT.Gangguan.Jiwa.dr.Fidiansyah.Dituding.Menutupi.Kebenaran.
/3/ Sarlito Wirawan Sarwono, “LGBT Gaul”, Gatra News, No. 14, tahun XXII, 5 Februari 2016, pada http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/185467-lgbt-gaul.
/4/ Saul Levin, “Homosexuality as a Mental Disorder Simply Not Backed Up by Science”, American Psychiatric Association, 10 March 2016, pada http://psychiatry.org/news-room/apa-blogs/apa-blog/2016/03/homosexuality-as-a-mental-disorder-simply-not-backed-up-by-science. Pranala ke naskah asli PDF surat APA tersedia dalam artikel Saul Levin ini.
/5/ Lihat berita “Dokter yang sebut LGBT penyakit jiwa minta maaf”, Rappler.com, 24 Maret 2016, pada http://www.rappler.com/indonesia/126952-fidiansyah-minta-maaf-lgbt-penyakit-jiwa.
/6/ Lihat Agus Lukman, “Diprotes Asosiasi Psikiater Amerika Soal LGBT, Ini Tanggapan PDSKJI”, KBR, 17 Maret 2016, pada http://m.portalkbr.com/nasional/03-2016/diprotes__asosiasi_psikiater_amerika_soal_lgbt__ini_tanggapan_pdskji/79483.html.
/7/ Lihat reportase Robert Barnes, “Supreme Court rules gay couples nationwide have a right to marry”, The Washington Post, 26 June 2015, pada http://www.washingtonpost.com/politics/gay-marriage-and-other-major-rulings-at-the-supreme-court/2015/06/25/ef75a120-1b6d-11e5-bd7f-4611a60dd8e5_story.html.
/8/ Lihat Pew Research Center, “Section 2: Knowing Gays and Lesbians, Religious Conflicts, Beliefs about Homosexuality. Gay or Lesbian Friends and Support for Same-Sex Marriage ”, Pew Research Center, 8 June 2015, pada http://www.people-press.org/2015/06/08/section-2-knowing-gays-and-lesbians-religious-conflicts-beliefs-about-homosexuality/.
/9/ Lihat berita “Sikap PGI terhadap Pernikahan Sesama Jenis”, Jawaban.com, 1 Juli 2015, pada http://www.jawaban.com/read/article/id/2015/07/01/90/150701115541/Sikap-PGI-Terhadap-Pernikahan-Sesama-Jenis.
/10/ Lihat berita “PGI: Gereja Tak Restui Pernikahan Sejenis”, Republika Online, 10 Juli 2015, pada http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/07/10/nr9qur-pgi-gereja-tak-restui-pernikahan-sejenis.
/11/ Lihat reportase “Gereja Katolik Tidak Mengakui Perkawinan Sejenis”, Suara Indonesia Baru, 5 Juli 2015, pada http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=66400.
/12/ Untuk makalah ilmiah penemuan ini, lihat M. Azim Surani, Naoko Irie, Leehee Weinberger, et al., “SOX17 Is a Critical Specifier of Human Primordial Germ Cell Fate, Cell, Vol. 160, Issues 1-2, 15 January 2015, hlm. 253-268, pada http://www.cell.com/cell/abstract/S0092-8674%2814%2901583-9; lihat reportase populer BBC Crew, “Two-dad babies could soon be a reality: Scientists have made human egg and sperm cells using skin from adults of the same sex”, Science Alert, 25 February 2015, pada http://www.sciencealert.com/two-dad-babies-could-soon-be-a-reality.
/13/ John L. Allen, Jr., “Pope on Homosexual: ‘Who Am I to Judge?’”, National Catholic Reporter, 29 July 2013, pada http://ncronline.org/blogs/ncr-today/pope-homosexuals-who-am-i-judge.
/14/ Lihat reportase Jenn Selby, “Pope Francis Named ‘Person of the Year’ by Leading Gay Rights Magazine”, The Independent, 17 December 2013, pada http://www.independent.co.uk/news/people/news/pope-francis-named-person-of-the-year-by-leading-gay-rights-magazine-9009729.html.
/15/ Lihat video berita “Why Gay Marriage Poses A ‘Difficult’ Problem for Pope Francis”, The Huffington Post, 1 June 2015, pada http://www.huffingtonpost.com/2015/06/01/pope-francis-gay-marriage_n_7484106.html.
/16/ Lihat Joshua J. McElwee, “Francis Strongly Criticizes Gender Theory, Comparing It to Nuclear Weapons”, National Catholic Reporter, 13 February 2015, pada http://ncronline.org/news/vatican/francis-strongly-criticizes-gender-theory-comparing-nuclear-arms. Wawancara dengan Paus Fransiskus tersebut dimuat dalam buku Andrea Tornielli dan Giacomo Galeazzi, This Economy Kills: Pope Francis on Capitalism and Social Justice(Liturgical Press, 2015).
/17/ Joshua J. McElwee, “Francis explains ‘who am I to judge?’”, National Catholic Reporter, 10 January 2016, pada https://www.ncronline.org/news/vatican/francis-explains-who-am-i-judge.
/18/ Lihat artikel “Homosexuality”, Catholic Answers, 10 August 2004, pada http://www.catholic.com/tracts/homosexuality.
/19/ Lihat John Thavis, “‘Who Am I to Judge?’ marks new tone on homosexuality”, John Thavis The Blog, 29 July 2013, pada http://www.johnthavis.com/who-am-i-to-judge-marks-new-tone-on-homosexuality#.V4SGFte5LK1.
/20/ Lihat “Stances of Faiths on LGBT Issues: Roman Catholic Church”, Human Rights Campaign, 5 September 2015, pada http://www.hrc.org/resources/stances-of-faiths-on-lgbt-issues-roman-catholic-church.
/21/ Lihat “U.S. Bishops Urge Constitutional Amendment to Protect Marriage”, Americancatholic.org, 2003, pada http://www.americancatholic.org/News/Homosexuality/.
/22/ German Lopez, “Why Pope Francis’s meeting with Kim Davis isn’t surprising?, Vox Policy and Politics, 30 September 2015, pada http://www.vox.com/2015/9/30/9423093/pope-francis-kim-davis. Lihat juga berita tentang pertemuan Paus Fransiskus dan Kim Davis, “Pope Francis Met Privately with Kim Davis and Encouraged Her to ‘Stay Strong’”, Liberty Council, 29 September 2015, pada https://www.lc.org/newsroom/details/pope-francis-met-privately-with-kim-davis-and-encouraged-her-to-stay-strong-1.
/23/ Hemant Mehta, “Pope Francis Says Gay People Deserve an Apology, but His Actions Show Otherwise”, Patheos Friendly Atheist, 26 June 2016, pada http://www.patheos.com/blogs/friendlyatheist/2016/06/26/pope-francis-says-gay-people-deserve-an-apology-but-his-actions-show-otherwise/.
/24/ AFP, “Dalai Lama supports gay marriage”, The Telegraph, 07 March 2014, pada http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/tibet/10682492/Dalai-Lama-supports-gay-marriage.html.
/25/ Reza Aslan dan Hasan Minhaj, “An Open Letter to American Muslims on Same-Sex Marriage”, Religion Dispatches, 7 July 2015, pada http://religiondispatches.org/an-open-letter-to-american-muslims-on-same-sex-marriage/.
/26/ Lihat “The Bible and Homosexuality: Detailed Introduction, Part 1” di http://www.religioustolerance.org/hom_bibi.htm; juga “The Bible and Homosexuality: Detailed Introduction, Part 2” di http://www.religioustolerance.org/hom_bibi1.htm.
/27/ Lihat “Context and analysis of Leviticus 18:22” di http://www.religioustolerance./hom_bibh4.htm; Paul Turner, “Seeds of Hope: ‘But Leviticus Says’”, Whosoever, di http://www.whosoever.org/seeds/letter84.shtml; dan juga Anon, “What does Leviticus 18:22 really say?”, Pamphlet, National Gay Pentacostal Alliance (NGPA), P.O. Box 20428, Ferndale, MI.
/28/ Lihat “Leviticus 20:13” di http://www.religioustolerance.org/hom_bibh3.htm.
/29/ Untuk informasi konteks religius kultural surat Roma, khususnya bagian-bagiannya yang mengacu ke perilaku seksual, lihat R. S. Truluck, “The six Bible passages used to condemn homosexuals”, di http://www.truluck.com/html/; dan artikel “Free to be gay: A brief look at the Bible and homosexuality”, Universal Fellowship of Metropolitant Community Churches”, di http://www.ualberta.ca/~cbidwell/UFMCC/.
/30/ Lihat “Romans 1:26-27. Introduction” pada http://www.religioustolerance.org/hom_bibc3.htm.
/31/ Lihat artikel “Homosexuality in the Christian Scriptures, the ‘clobber passages’, 1 Timothy 1:9-10” di http://www.religioustolerance.org/hom_bibc7.htm.
/32/ Lihat tafsiran 1 Korintus 6:9-10 dalam http://www.relgioustolerance.org/hom_bibc1.htm.
/33/ Paul Thomas Cahill, “An Investigation into the Bible and homosexuality” di http://www.christianlesbians.com/.
/34/ Lihat artikel “Meanings of the Greek word ‘arsenokoitai’ (1 Corinthians 6 and 1 Timothy 1)” di http://www.religioustolerance.org/homarsen.htm.
/35/ Lihat artikel “How to be true to the Bible and say ‘Yes’ to same-sex unions”, di http://members.aol.com/DrSwiney/bennett.html; lihat juga “Celebrating diversity: texts recently applied to homosexuality”, di http://members.tripod.com/~uniting/resource/bible.html.
/36/ Paul Thomas Cahill, “An Investigation into the Bible and homosexuality” di http://www.christianlesbians.com/; lihat juga Justin Cannon, “The Bible, Christianity and Homosexuality”, di http://www.truthsetsfree.net/study.html.
/37/ Selain sumber-sumber yang sudah dirujuk di atas, kajian atas kata arsenokoitēs juga dapat dilihat pada “Homosexuality in the Christian Scriptures, the ‘clobber passages’, 1 Timothy 1:9-10” di http://www.religioustolerance.org/hom_bibc7.htm.
/38/ Untuk berbagai kemungkinan arti kata pornea, lihat kata “fornication” dalam The American Heritage® Dictionary of the English Language, edisi keempat, di http://www.dictionary.com/; danStrong’s Concordance di http://www.freedom2201. tripod.com/.
/39/ Dalam The New Oxford Annotated Bible Revised Standard Version (editor: Herbert G. May & Bruce M. Metzger) (New York: Oxford University Press, 1962, 1973), frasa sarkos heteras pada Yudas 1:7 diterjemahkan sebagai “unnatural lust” (begitu juga NRSV edisi 1989). Harper Collin’s New Revised Standard Version of the Bible memberi komentar pada catatan Yudas 1:7 demikian, “Orang-orang Sodom mencoba berhubungan seks dengan para malaikat”.
/40/ Untuk tafsiran ini, lihat komentar atas Yudas 1:7 pada http://www.religioustolerance.org/hom_bibc2.htm.
/41/ Lihat Nathaniel Scharping, “When Eyebrows Colllide: Scientists Map the Genetics of Facial Hair”, Discover Magazine, 1 March 2016, pada http://blogs.discovermagazine.com/d-brief/2016/03/01/gray-hair-genes-unibrow/#.Vthsmsu5Lgk.
/42/ George Johnson, “Scientists Ponder the Prospect of Contagious Cancer”, The New York Times, 22 February 2016, pada http://mobile.nytimes.com/2016/02/23/science/scientists-ponder-the-prospect-of-contagious-cancer.html.
/43/ Lihat berita Postmetro, “Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu Serukan Perang Melawan LGBT”, Postmetro, 23 Februari 2016, pada http://www.posmetro.info/2016/02/menteri-pertahanan-ryamizard-ryacudu.html. Lihat juga berita “Kecam Keras LGBT, Menhan Ryamizard: ‘Kalau Tuhan Marah, Akan Dihancurkan Bangsa Ini’”, Salam-Online.com, 28 Februari 2016, pada http://www.salam-online.com/2016/02/kecam-keras-lgbt-menhan-ryamizard-kalau-tuhan-marah-akan-dihancurkan-bangsa-ini.html.
/44/ Lihat reportase Bayu Galih, “Menhan Menilai LGBT Bagian dari Proxy War yang Harus diwaspadai”, Kompas.com, 23 Februari 2016, pada http://nasional.kompas.com/read/2016/02/23/22085741/Menhan.Nilai.LGBT.Bagian.dari.Proxy.War.yang.Harus.Diwaspadai. Lihat juga Kabar LGBT, “Menhan Menganggap LGBT Musuh dan Menyatakan LGBT Bagian dari Proxy War”, Kabar LGBT, 23 Februari 2016, pada http://kabarlgbt.org/2016/02/23/menhan-menganggap-lgbt-musuh-dan-menyatakan-lgbt-sebagai-bagian-dari-proxy-war/.
/45/ Lihat Hendri F. Isnaeni, “Viva Vivian!”, Historia, pada http://historia.id/budaya/viva-vivian.
/46/ Paul Henry Gebhard, “Human Sexual Behaviour”, Encyclopaedia Britannica, pada http://www.britannica.com/topic/human-sexual-behaviour/Legal-regulation.
/47/ Tentang keputusan MK yang menolak kriminalisasi atas LGBT dan pelaku hubungan seks di luar nikah dan hal-hal lain yang terkait, lihat Tito Sianipar, "MK tolak kriminalisasi LGBT dan hubungan di luar nikah", BBC Indonesia, 14 Desember 2017, https://www.bbc.com/indonesia/amp/indonesia-42348089; Kristian Edianto, "Penjelasan MK Soal Tuduhan Putusan Yang Melegalkan Zina dan LGBT", Kompas.com, 18 Desember 2017, https://nasional.kompas.com/read/2017/12/18/20155601/penjelasan-mk-soal-tuduhan-putusan-yang-melegalkan-zina-dan-lgbt; Kristian Edianto, "Mahfud MD: Yang Kurang Paham Menuduh MK Perbolehkan Zina dan LGBT", Kompas.com, 17 Desember 2017, https://nasional.kompas.com/read/2017/12/17/16235281/mahfud-md-yang-kurang-paham-menuduh-mk-perbolehkan-zina-dan-lgbt.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H