Dengan demikian, sikap negatif, seperti ketakutan terhadap sains, dapat bertindak sebagai filter afektif dan menghambat pemahaman dan tujuan pembelajaran di masa depan. Di Amerika Serikat, sikap siswa terhadap sains diketahui menurun mulai dari kelas empat dan terus menurun hingga sekolah menengah pertama dan atas. Permulaan perasaan negatif terhadap sains berasal dari penekanan yang lebih besar pada nilai. Siswa mulai merasa kurang berprestasi yang menyebabkan mereka kehilangan motivasi di kelas dan partisipasi siswa menurun. Telah didokumentasikan dengan baik bahwa siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi akan memiliki sikap yang lebih positif terhadap mata pelajaran tersebut.
Studi terhadap sikap mahasiswa tentang pembelajaran fisika menunjukkan bahwa sikap ini dapat dibagi ke dalam kategori koneksi dunia nyata, koneksi pribadi, koneksi konseptual, upaya siswa, dan pemecahan masalah.
Aspek pengambilan keputusan dalam literasi sains menunjukkan sikap lebih lanjut mengenai keadaan dunia, tanggung jawab seseorang terhadap kesejahteraannya, dan rasa pemberdayaan untuk membuat perbedaan. Sikap-sikap ini mungkin merupakan ukuran penting dari literasi sains, seperti yang dijelaskan dalam kasus literasi kelautan.
SEJARAH REFORMASI DALAM PENDIDIKAN SAINS DI AMERIKA SERIKAT
Reformasi dalam pendidikan sains di Amerika Serikat sering kali didorong oleh tantangan strategis seperti peluncuran satelit Sputnik pada tahun 1957 dan ledakan ekonomi Jepang pada tahun 1980an.[8] Ungkapan literasi sains dipopulerkan oleh Paul Hurd pada tahun 1958, ketika ia menyatakan bahwa masalah utama dalam pendidikan adalah "salah satu upaya menutup kesenjangan antara kekayaan pencapaian sains dan kemiskinan literasi sains di Amerika".Bagi Hurd, inovasi pesat dalam sains dan teknologi menuntut pendidikan yang "sesuai untuk menjawab tantangan revolusi sains yang sedang berkembang."[10] Yang mendasari seruan Hurd adalah gagasan "bahwa penguasaan sains merupakan persiapan penting untuk kehidupan modern."
Definisi awal literasi sains mencakup penjabaran konten yang harus dipahami masyarakat, seringkali mengikuti jalur tradisional (biologi, kimia, fisika). Ilmu kebumian didefinisikan secara sempit sebagai proses geologi yang diperluas. Satu dekade setelah dokumen awal tersebut, para ilmuwan dan pendidik kelautan merevisi gagasan literasi sains untuk memasukkan pandangan alam yang lebih kontemporer dan berorientasi sistem, yang mengarah pada program literasi sains untuk kelautan, iklim, ilmu bumi, dan sebagainya.
Sejak tahun 1950-an, literasi sains semakin menekankan bahwa pengetahuan ilmiah ditempatkan secara sosial dan sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi.[9] Literasi sains dipandang sebagai hak asasi manusia dan pengetahuan tentang sains serta perannya dalam masyarakat dipandang sebagai persyaratan bagi anggota masyarakat yang bertanggung jawab, yang membantu masyarakat umum untuk membuat keputusan yang lebih baik dan memperkaya kehidupan mereka. Di Amerika Serikat, perubahan penekanan ini dapat dilihat pada akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an, dengan diterbitkannya Science for All American dan Benchmarks for Science Literacy.
SAINS MASUK KURIKULUM
Sains menjadi bagian dari kurikulum sekolah mulai abad ke-19, mereka yang secara terbuka mendukung pengajaran sains adalah Thomas Huxley, Herbert Spencer, Charles Lyell, Michael Faraday, John Tyndall, dan Charles Eliot (DeBoer, 2000). Melalui pendidikan sains siswa diharapkan terlibat langsung untuk mengenal dampak sains bagi kehidupan sehari-hari dan peran siswa itu sendiri dalam masyarakat (Christie et al., 2012; Egan et al., 2017). Hal ini menjadi tantangan sekaligus tuntutan tersendiri bagi guru dalam menyelenggarakan proses pembelajaran sains yang berkualitas.
Menurut Dubs (dalam Grber, 2000), tujuan umum pengajaran sains adalah membentuk peserta didik yang literat, bukan untuk menghasilkan disiplin sains di tingkat sekolah umum. Proses belajar sains hendaknya dilakukan melalui: 1) belajar untuk mengenali masalah ilmiah dalam situasi kehidupan nyata; 2) mengenali kontradiksi dalam argumentasi dan konflik dalam tujuan dan kepentingan yang mendasarinya; 3) mengevaluasi solusi potensial termasuk kemungkinan konsekuensinya; dan 4) membuat keputusan sendiri dalam isu-isu terkait nilai. Peserta didik yang literat diharapkan mampu menempatkan diri sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab, reflektif, dan peka terhadap isu sosial sains, serta menguasai sains dan dapat menerapkan pemahamannya dalam kehidupan nyata (OECD, 2019). Bagasta et al. (2018), memaparkan empat kemampuan yang utama pada era globalisasi yaitu literasi, berpikir inventif, komunikasi, dan produktif. World Economic Forum (Egan et al., 2017) memasukkan literasi sains dan literasi sosial menjadi bagian dari 16 keterampilan yang dibutuhkan pada abad 21.
KETERAMPILAN ABAD 21