Ketika pemilu selesai, banyak persoalan muncul, yang membuat suasana semakin dinamis, publik disodori beragam informasi yang kerap membingungkan. Saya pikir tidak ada kegaduhan, karena politik identitas nyaris tak terdengar, semua lempeng-lempeng saja.Â
Prabowo -Gibran pasangan yang menang sementara  versi quick count, masih banyak liku yang harus ditempuh untuk mencapai tangga puncak kekuasaan , namun masyarakat  banyak berharap para elit memiliki sikap"  siap menang dan siap kalah" dalam suatu kompetisi pemilu semakin tak mudah dirasakan. Hal ini diperkuat oleh beberapa fenomena yang muncul antara lain:
Pertama, integritas pemilu dipertanyakan, yakni dengan  muncul tudingan ke KPU,  Sirekap sebagai upaya meningkatkan keterbukaan informasi publik, meningkatkan transparansi, dan mencegah serta menghindari kecurangan selama proses perhitungan suara, tujuan itu nampaknya mulia, namun kandas karena adanya perbedaan data antara dokumen C1 dan data rekapitulasi suara dalam Sirekap. Berbagai dugaan dan tudingan negatif muncul akibat ketidaksesuaian tersebut, sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap integritas pemilu.
Kedua, muncul hak angket. Dalam beberapa hari terakhir, publik politik disibukkan dengan polemik hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pilpres 2024.Â
Calon Presiden Ganjar Pranowo yang mengusulkannya dengan mendorong partai politik pendukungnya di DPR untuk menggulirkan hak angket. Hak angket adalah hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.Â
Hak angket seakan menjadi  ruang untuk menampung beberapa pihak yang menolak, dengan berkoar-koar bahwa pemilu curang. Tingkat kecurangan masif, sistematis dan terstruktur, selanjutnya diamplifikasi oleh beberapa tokoh yang berseberangan dengan pemerintah. Selain itu, penghitungan suara yang cukup rumit, muncullah polemik.Â
Ketiga, dugaan kecurangan dikaitkan pada Pemerintah yang diduga bermain curang dengan Tindakan bansos, BLT serta menaikkan gaji PNI, TNI Polri, sehingga kondisi demikian dapat menggiring benak pemilih untuk memilih calon legislatif dan presiden yang direstui pemerintah.Â
Para aparat diduga ikut bermain dan mengintimidasi warga untuk digiring ke salah satu paslon. Namun, dari sebagian yang menggugat saya tidak melihat bahwa yang mendapat suara terbanyak yang lolos ke Senayan itu ikut berteriak, "suara saya digelembungkan," sejatinya suara saya tidak segitu, pernyataan semacam itu tak ada yang berteriak. Yang kalah yang berteriak, dan yang menang diam.Â
Keempat, Langkah Presiden Joko Widodo menyetujui untuk memberikan kenaikan pangkat secara istimewa berupa jenderal TNI Kehormatan pada Prabowo Subianto, Kenaikan pangkat ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 13/TNI/Tahun 2024 yang terbit pada 21 Februari. Sebagian peneliti mempertanyakan keputusan ini, sementara keluarga korban pelanggaran HAM berat dan aktivis dengan tegas menolaknya.
Bagi Prabowo, di laman Youtuber seorang Netizen , @user-rc9vu7ch7r, menulis: Sungguh unik cara kerja Sang Pencipta Sang Penyayang. Kita dpt meraih cita2 tertinggi dlm hidup, justru oleh bekas rival terhebat! Tapi itu semua dimulai dari hati yg pasrah & membuka diri utk kepentingan rakyat! Hati yg mulia, kerja keras yg tak terbatas, keberanian yg terus menerjang, hokki yg mendukung serta waktu yg sdh menjelang, kita akan menjadi Indonesia Emas berkat kepemimpinan kedua negarawan ini!
Walaupun ada riak-riak sedikit, namun penyematan itu berjalan lancar, saya pikir Pak Prabowo Subianto wajar mendapatkan itu, Karena pemecatan yang dilakukan tahun 1998, adalah pemecatan karena suasana politik, saat itu pandangan yang berbeda antara strategi Prabowo dengan Presiden Soeharto, "Penganugrahan Pangkat Istimewa Jenderal oleh presiden Jokowi, juga bernuansa politik, artinya diberhentikan ditempat yang sama, kini presiden Jokowi mengangkat ditempat yang sama, sebuah persahabatan yang dilakukan dengan jernih. Oleh karena itu, pemberian penghargaan ini,apresiasi pemerintah atas kinerja Pak Prabowo.Â
Motif berbuat baik untuk negara dan rakyat itulah yang mesti dijunjung tinggi. Berbuat baik itu jangan sampai berhenti, tugas berat menanti di Pundak pak Prabowo , yang akan dilantik menjadi presiden RI ke 8. Saya teringat, pesan Barbara De Angelis."Cinta dan kebaikan tidak pernah sia-sia. Itu selalu membuat perbedaan. Memberkati orang yang menerimanya dan itu memberkatimu, sang pemberi."
Pada aspek ini lah pesan Presiden AS Ford, layak disimak, The only motive that can keep politics pure is the motive of doing good for one's country and its people. - Henry Ford. (Satu-satunya motif yang dapat menjaga kemurnian politik adalah motif berbuat baik untuk negara dan rakyatnya.)
KUALITAS PEMILU DAN KECURANGAN
Melihat kualitas pemilu dan kecurangan , memang selalu menarik, Ketika menang berkata bahwa Quick count tidak baik, pemenang dikatakan baik, memang inkonsistensi selalu bergelimang di ranah politik.Â
Tulisan, Dawson, S. (2022). Electoral fraud and the paradox of political competition. Journal of Elections, Public Opinion and Parties, 32(4), 793-812. Lewat, analisis kuantitatif yang menggabungkan data jajak pendapat asli yang dikumpulkan dari 109 pemilihan presiden di seluruh dunia antara tahun 1996 dan 2016 dengan pengukuran penyimpangan pemilu yang dilakukan pada hari atau segera setelah pemilu.
Dia menemukan bahwa kualitas pemilu semakin mendapat sorotan dalam beberapa dekade terakhir. Sebagai ekspresi demokrasi yang paling terlihat, hari pemungutan suara merupakan kesempatan bagi kontestasi kekuasaan politik yang sah.
Namun, pemilu sering kali menimbulkan perdebatan dan sering kali tidak memenuhi status "bebas dan adil" Hal ini tidak hanya terjadi pada negara-negara yang disebut negara berkembang atau negara-negara demokratisasi, namun juga terjadi pada negara-negara demokrasi yang lebih mapan.Â
Daya saing pemilu menimbulkan dilema yang problematis dalam hal ini, karena justru ketika pemilu diperkirakan akan berlangsung ketat, partai politik dan kandidat akan diberi insentif untuk memanipulasi proses untuk memberikan keuntungan bagi mereka, terutama menjelang hari pemungutan suara.
Upaya penelitian sebelumnya telah mampu mengidentifikasi banyak faktor struktural yang terkait dengan berkurangnya integritas proses pemilu. Lembaga pemilu seperti badan pengawas dan peraturan pemilu, serta independensi peradilan dan media pada akhirnya dapat dimanfaatkan oleh pelaku yang bersedia melakukan
Faktor sosial lainnya seperti kesenjangan ekonomi, polarisasi etnolinguistik, dan tingkat pendapatan juga menciptakan lingkungan elektoral yang menghambat demokratisasi. Meskipun bidang ini telah banyak membantu dalam menunjukkan faktor-faktor struktural mana yang memicu berbagai konsepsi manipulasi pemilu dalam arti yang lebih luas, bidang ini dapat dibantu dengan dua cara utama.
Antara lain, Pertama, memilah manipulasi pemilu ke dalam elemen-elemen yang mendasarinya memungkinkan dilakukannya analisis yang lebih spesifik mengenai strategi yang diterapkan secara berbeda, pada waktu yang berbeda, dan dalam kondisi saat ini, pada kecurangan pemilu yang terjadi di sekitar pemilu, dimana insentif untuk merusak proses bisa sangat berbeda dibandingkan pada tahap awal kampanye, misalnya.Â
Kedua dan yang terkait dengan hal ini, konseptualisasi kecurangan pemilu yang lebih beragam memungkinkan dilakukannya penilaian empiris terhadap faktor-faktor yang lebih bersifat sementara yang mungkin menyimpang dari pemilu ke pemilu, dalam kondisi sosio-ekonomi dan kelembagaan yang sama.
Tekanan untuk memberikan hasil positif di tengah meningkatnya ketidakpastian pada hari pemilu dapat mendorong aktor politik untuk memanipulasi kotak suara. Namun, hubungan ini juga mungkin bergantung pada tingkat demokrasi. Di negara otoriter, pemilu jarang sekali bersifat kompetitif dan umumnya mempunyai tujuan yang berbeda dengan pemilu demokratis.
Sebaliknya, di negara-negara demokrasi, insentif untuk memanipulasi kotak suara menjadi lebih besar ketika peralihan kekuasaan eksekutif benar-benar dipertaruhkan, dan insentif ini menjadi lebih besar ketika mendekati pemilu.Â
Insentif-insentif ini juga kemungkinan akan semakin besar ketika dampak kecurangan lebih rendah di negara-negara yang kurang demokratis. Bagi mereka yang berkuasa, ketidakseimbangan sumber daya yang mungkin terjadi dapat menjadi sarana untuk mengacaukan proses pemungutan suara dan tabulasi, tergantung pada peluang pemilu mereka dibandingkan dengan oposisi.
Kajian tentang kedekatan pemilu yang diperkirakan akan memicu manipulasi kotak suara, dan bagaimana hubungan ini berbeda antar tingkat demokrasi. Selain itu ini juga membahas kemungkinan asimetri hubungan ini, tergantung pada apakah petahana memimpin atau tertinggal dalam pemilu.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemilu yang diperkirakan akan berlangsung secara ketat justru memicu lebih banyak aktivitas curang. Tren ini tampaknya sangat mirip di seluruh tingkat demokrasi. Di sisi lain, apakah petahana memimpin atau tertinggal, tampaknya hanya mempunyai dampak kecil terhadap insiden kecurangan pemilu.
Kontribusi utama ada dua. Pertama, pengumpulan dan pemanfaatan data jajak pendapat pra-pemilu mengurangi bias yang melekat dalam banyak upaya sebelumnya untuk memperkirakan dampak persaingan pemilu. Dengan melakukan hal tersebut, analis mampu memisahkan kondisi persaingan ex ante dari pemilu itu sendiri, sehingga memungkinkan analisis yang lebih jelas mengenai subjek yang pada dasarnya suram.
KECURANGAN PEMILU SEBAGAI METODE MANIPULASI
Berbagai konseptualisasi mengenai kualitas pemilu telah memperkaya bidang ini dalam beberapa dekade terakhir, meskipun terdapat beberapa tumpang tindih dan kebingungan mengenai bentuk-bentuk spesifik dari upaya manipulatif.Â
Dimulai dengan definisi utama Lehoucq mengenai kecurangan pemilu sebagai "upaya rahasia dan ilegal untuk membentuk hasil pemilu" definisi "malpraktek pemilu "integritas pemilu" dan "kebebasan dan pemilu yang adil", telah memperluas perdebatan dengan mencakup isu-isu normatif dan non-intensionalitas, serta karakteristik dan waktu terjadinya berbagai bentuk kecurangan pemilu.Â
Namun, seperti yang dipelajari di sini, kecurangan pemilu akan dikonseptualisasikan dengan lebih tepat, sebagai bentuk manipulasi pemilu yang berbeda secara temporal dan substantif.
Kekhususan waktu ini penting untuk diingat dalam konteks ini, karena insentif untuk menggunakan satu metode dibandingkan (atau sebagai tambahan) metode lain cenderung berbeda tergantung pada konteks pemilu. Pilihan apakah akan menggunakan tindakan perusakan kotak suara atau tidak menggunakan intimidasi dan kekerasan ternyata bergantung pada lokasi pemantau dan pola kompetisi pemilu, misalnya
Ketersediaan sumber daya juga terbukti menjadi faktor kunci dalam menentukan apakah aktor politik terlibat dalam strategi manipulatif yang memaksa atau membeli suara.
Masuk akal juga untuk menyatakan bahwa penggunaan satu taktik manipulatif dapat menghalangi taktik manipulatif lainnya. Misalnya, suatu pemilu mungkin sudah ditentukan sebelumnya melalui penggunaan manipulasi "hulu" berskala besar seperti membungkam gerakan oposisi, dominasi media, dan manipulasi daftar pemilih, sehingga menyebabkan penggunaan pemborosan yang bersifat penipuan.
Oleh karena itu, makalah ini berpendapat bahwa konseptualisasi kecurangan pemilu yang lebih bernuansa memberikan nilai tambah dalam konteks ini dengan mencoba mengisolasi kejadiannya dari teknik manipulatif lainnya.Â
Oleh karena itu, kecurangan pemilu yang dimaksud di sini adalah upaya tidak sah untuk memanipulasi isi kotak suara, baik dalam hal apa yang dimasukkan ke dalam kotak suara (misalnya penipuan di tingkat individu atau pengisian kotak suara), atau dalam hal apa yang dimaksud dengan hal tersebut. dikeluarkan dari kotak (misalnya salah melaporkan suara atau merusak hasil). Oleh karena itu, konseptualisasi ini berbicara secara khusus mengenai peristiwa pemilu itu sendiri dan dampak langsungnya.
Namun demikian, terdapat banyak penelitian yang mengkaji faktor-faktor penentu kualitas pemilu dalam arti yang lebih luas, dan penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam kaitannya dengan kecurangan pemilu serta bentuk-bentuk manipulasi terkait lainnya. Bishop dan Hoeffler misalnya, menemukan bahwa pemilu yang "adil" lebih mungkin terjadi di negara-negara dengan tingkat bantuan dan observasi luar negeri yang lebih tinggi, pendapatan, dan kendala eksekutif.
KORUPSI POLITIK DAN KEBEBASAN PERS
Telah ditemukan bahwa korupsi politik dan kebebasan pers menjadi dua faktor penentu utama terjadinya malpraktek pemilu. Penelitian lain yang serupa juga mengaitkan upaya rahasia dalam proses pemilu dengan tingginya tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi, polarisasi etnis, penggunaan sistem pemilu pluralitas, kekuatan lembaga pengawasan, dan rendahnya kapasitas negara Meskipun demikian, kovariat-kovariat ini sebagian besar merupakan faktor struktural di tingkat negara yang cenderung tidak berubah dalam jangka waktu singkat, dan akibatnya, penjelasan-penjelasan ini secara umum tidak dapat menjelaskan fluktuasi tingkat kualitas pemilu di suatu negara bagian dari pemilu ke pemilu.
PERSAINGAN PEMILU DAN NILAI SUARA
Di negara-negara demokrasi, ada risiko besar yang melekat pada pemikiran untuk mencoba mempengaruhi pemilu secara tidak sah. Dalam konteks seperti ini, "kebijaksanaan konvensional" Simpser yang menyatakan bahwa persaingan yang lebih besar akan menyebabkan lebih banyak manipulasi pemilu tetap sama; Buktinya sebagian besar bersifat anekdotal.
Hal ini membingungkan karena pengungkapan kesalahan yang disengaja selama kampanye pemilu kepada publik dapat berdampak negatif terhadap peluang kemenangan seorang kandidat atau partai. Namun demikian, kecurangan pemilu dan bentuk-bentuk manipulasi lainnya masih terus menghantui banyak pemilu di negara-negara yang umumnya dianggap sebagai negara demokratis. Namun jika tuduhan melakukan kecurangan melemahkan legitimasi hasil pemilu, lalu mengapa pemilu di negara-negara demokrasi dimanipulasi?Â
Salah satu jawabannya berkaitan dengan bentuk dan waktu strategi manipulatif. Banyak bentuk manipulasi yang baru terlihat oleh masyarakat umum setelah pemilu selesai. Penyimpangan pada hari pemilu seperti perbedaan tabulasi, pengisian surat suara, kecurangan pemungutan suara, dan pelanggaran tempat pemungutan suara jarang mengganggu pengumuman hasil pemilu, dan tuduhan terkait kejadian tersebut seringkali bersifat anekdotal.Â
Tanpa bukti, akan lebih sulit untuk meminta pertanggungjawaban pejabat yang dicurigai melalui sistem peradilan dibandingkan melalui sistem pemilu. Oleh karena itu, para pelaku mungkin menilai risiko tersebut layak untuk diambil.
Namun, terdapat konsensus yang kurang kuat di lapangan mengenai dampak kompetisi pemilu. Hal ini dapat dimengerti jika kita menganggap bahwa mempelajari dinamika persaingan politik pada dasarnya sulit jika dilihat dari sudut pandang metodologis dalam bidang manipulasi suara dan pemilih. Pada dasarnya, sebagian besar perkiraan persaingan politik yang diduga mengandung kecurangan kemungkinan besar mengandung jejak upaya manipulatif, sehingga mendistorsi ukuran persaingan yang umum, seperti hasil pemilu.Â
Memang benar, penelitian sebelumnya telah menghasilkan temuan yang menunjukkan bahwa persaingan dapat mendorong (dan menghalangi upaya manipulatif. Pada bagian berikut, harapan-harapan yang saling bersaing ini akan diselaraskan dengan berbicara tentang persaingan dalam kaitannya dengan antisipasi kedekatan persaingan, dan nuansa yang diperlukan akan ditambahkan pada peran tipe rezim. Argumen teoritis kemudian akan menguraikan harapan-harapan tersebut.
Jawaban kedua berkaitan dengan konteks kelembagaan. Seiring dengan ditetapkannya aturan main, dan tingkat serta sifat persaingan politik yang berbeda-beda, maka semakin besar pula insentif untuk memanipulasi proses tersebut. Misalnya, pola persaingan pemilu bisa sangat berbeda antar peraturan pemilu. Dalam kontestasi zero-sum seperti aturan pluralitas di daerah pemilihan dengan satu wakil dalam pemilihan legislatif, atau pemilihan presiden langsung, misalnya, tidak ada hiburan untuk memperoleh satu suara lebih sedikit dari lawannya.
Partai dan kandidat biasanya sudah menyadari tingkat daya saing politik jauh sebelum pemilu dan proses kampanye. Jajak pendapat sebelum pemilu sering disampaikan melalui media dan sering digunakan oleh partai politik dan kandidat untuk strategi kampanye, dan terbukti mempengaruhi perilaku memilih warga negara .
Argumen yang dikemukakan disini menunjukkan bahwa dalam pemilu zero-sum, para aktor diberi insentif untuk melakukan teknik manipulatif untuk meraih kemenangan ketika mereka tidak yakin dengan hasil pemilu ex ante. Namun, penyelidikan ini memunculkan potensi paradoks persaingan politik. Pemilu yang sangat kompetitif, dimana lebih dari satu partai mempunyai peluang menang, biasanya menandakan demokrasi yang aktif dan sehat. Oleh karena itu, ketika pemilu berada pada kondisi paling kompetitif -- yaitu ketika demokrasi seharusnya berada pada kondisi paling sehat -- integritas proses pemilu kemungkinan besar akan terganggu.
Upaya sebelumnya untuk menjelaskan dampak persaingan telah menghasilkan temuan yang beragam. Dalam kontribusi penting, Nyblade dan Reed membedakan antara dampak buruk persaingan politik terhadap "penjarahan dan kecurangan". Meskipun akuntabilitas pemilu dalam pemerintahan yang kompetitif dapat menghalangi para politisi untuk terlibat dalam hal yang pertama karena takut akan dampak pemilu jika terungkap, mereka berpendapat bahwa insentif untuk berbuat curang (dan memenangkan jabatan) mungkin lebih besar daripada ketakutan yang sama.Â
Argumen serupa dikemukakan oleh Ruiz-Rufino, yang berpendapat bahwa pola persaingan dalam sistem pemilu yang tidak proporsional dapat mendorong petahana melakukan kecurangan pemilu ketika mereka takut posisinya terancam. Namun sebaliknya, Lehoucq dan Molina berpendapat bahwa tingkat persaingan yang tinggi dapat mengurangi kecurangan pemilu dengan mendorong lawan pemilu yang kredibel dan aktor masyarakat sipil untuk lebih waspada dan menghentikan upaya manipulatif. Memang benar, manipulasi pemilu juga terbukti lebih umum terjadi ketika pemilu berada pada kondisi yang paling tidak kompetitif
Meskipun tampaknya ada beberapa konflik dalam temuan-temuan ini, sangatlah penting untuk mempertahankan pandangan mengenai tipe rezim yang sesuai dengan harapan-harapan ini. Penyelenggaraan pemilu tunggal tidak serta merta menentukan kondisi demokrasi di suatu negara, dan ada beberapa aspek kelembagaan dan kemasyarakatan yang menentukan gambaran tersebut. Oleh karena itu, dampak kompetisi politik pada dasarnya bergantung pada tingkat demokrasi.Â
Di lingkungan non-demokratis, persaingan politik yang sejati secara sistematis dikekang sejak awal Pemilu jarang sekali berlangsung secara ketat, dan seringkali memiliki tujuan yang sama sekali asing bagi demokrasi yang sudah terlembaga. Oleh karena itu, tampaknya tidak masuk akal untuk berasumsi bahwa hubungan antara persaingan politik dan kecurangan pemilu akan terwujud dengan cara yang sama di berbagai tipe rezim. Manipulasi pemilu terjadi dimana-mana dalam konteks otoritarian, dan sering kali menghalangi pemilu untuk menjadi benar-benar kompetitif.
Namun dalam konteks demokrasi, suara individu dianggap lebih berharga bagi seorang kandidat atau partai jika suara tersebut dapat memainkan peran yang menentukan dalam hasil pemilu.Â
Dalam kontestasi pemenang mengambil semua dimana calon pemenangnya tidak jelas, nilai suara akan meningkat secara ex ante, dan para aktor mempunyai insentif yang lebih besar untuk mengumpulkan surat suara yang sudah ada, menghasilkan surat suara baru, atau menghalangi calon suara potensial lainnya. Kecurangan pemilu dalam pemilu parlemen terbukti lebih banyak terjadi di bawah pemerintahan mayoritas, misalnya.
Sifat tak terpisahkan dari hadiah yang dipertaruhkan dalam kontes pemenang mengambil semua menonjolkan keinginan untuk menjadi pemenang dalam pemungutan suara karena kurangnya penghiburan bagi yang kalah. Dalam kontestasi yang ketat, dan ketika ketidakpastian mendominasi wacana hari pemilu, ketegangan mengenai hasilnya ditingkatkan ke tingkat terbesar.
SIKAP RAKYAT
Sikap terhadap sistem politik selama ini sering dianggap sebagai atribut yang stabil dan tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan jangka pendek. Sehingga perlu mengkaji sejauh mana perhatian terhadap pemberitaan media, aktivitas kampanye dan hasil pemilu dapat memobilisasi dukungan terhadap sistem politik dalam konteks kampanye pemilu.
Namun penjelasan efisiensi mengabaikan dimensi politik dari masalah ini, yang lahir dari fakta bahwa pembuatan kebijakan ekonomi mempunyai implikasi distributif dan dengan demikian selalu merupakan upaya konfliktual yang didasarkan pada pembangunan koalisi. Jarang sekali hanya ada satu respons yang "efisien" terhadap serangkaian perkembangan ekonomi tertentu.Â
Konsepsi mengenai kebijakan apa yang efisien bergantung pada doktrin-doktrin ekonomi yang dapat diperdebatkan dan sering diperdebatkan dalam istilah-istilah yang tidak sepenuhnya ilmiah. Karena pembuatan kebijakan ekonomi memerlukan pembentukan koalisi, doktrin sering kali dipilih berdasarkan daya tarik politik dan ekonominya. Versi populer dari doktrin-doktrin ini membentuk "gestalt ekonomi" pada suatu era tertentu.
Pemilu pada dasarnya dipandang sebagai peluang bagi warga negara untuk mempengaruhi pemimpin politik, namun hal ini juga berfungsi sebagai sarana bagi partai dan kandidat untuk memobilisasi dukungannya proses demokrasi. Sebagai penghubung yang paling terlihat antara wakil terpilih dan warga negara, pemilu dapat memainkan fungsi penting dalam proses membangun dan mempertahankan dukungan terhadap sistem politik.
Dibingkai itu, Teori demokrasi mengasumsikan adanya hubungan antara partisipasi pemilu dan legitimasi sistem politik -- dilakukan secara adil dan pemilu reguler menciptakan legitimasi sistem. Secara teori, pemilu yang demokratis seharusnya membuat masyarakat merasa lebih baik mengenai institusi dan proses politik. Memang link bisa ditemukan antara partisipasi pemilu dan durasi dan pemeliharaan politik kemanjuran dan dukungan rezim.
Pertanyaan-pertanyaan ini mengenai kemampuan pemilu untuk mengubah persepsi terhadap sistem politik sangat penting mengingat menurunnya jumlah pemilih dan partisipasi politik, meningkatnya sinisme terhadap politik dan semakin berkurangnya kepercayaan terhadap politisi dan masyarakat.
Pada pertengahan tahun 1970-an, para ahli berbeda pendapat mengenai potensi penyebab penurunan ini dan juga dampaknya implikasi. Para peneliti di aliran Michigan telah berasumsi demikian perasaan percaya dan efektif merupakan orientasi terhadap sistem politik yang berkembang sejak dini dalam hidup. Mendukung pandangan ini, Iyengar menyimpulkan dari analisis data panel di Amerika
Menyatakan bahwa 'kemanjuran eksternal' (yang kami sebut sebagai kemanjuran) bukanlah respons terhadap arus situasi politik namun merupakan sikap yang 'tertanam kuat' terkait dengan evaluasi rezim daya tanggap. Penelitian yang lebih baru menunjukkan potensi perubahan jangka pendek, khususnya selama kampanye pemilu. Kampanye tersebut harus mempengaruhi evaluasi sistem politik tampaknya masuk akal; bagi rata-rata warga negara, kampanye pemilu memberikan satu-satunya 'insentif yang menarik untuk memikirkan pemerintahan' Bahkan insentif tersebut Mereka yang biasanya menganggap politik tidak menarik mungkin akan terlibat dalam kampanye yang penuh semangat. Untuk berkontribusi terhadap teori demokrasi, penting untuk memahami apa itu aspek kampanye berpotensi memobilisasi atau mendemobilisasi dukungan rezim. Untuk
Misalnya, mengingat sebagian besar informasi tentang pelaksanaan kampanye diperoleh melalui media, bagaimana pemberitaan mempengaruhi perubahan cara pandang masyarakat terhadap politik sistem? Aspek kampanye lain yang perlu dipertimbangkan adalah peran mobilisasi partai dan hasil pemilu. Para sarjana yang telah meneliti efektivitas politik dan rezim dukungan juga menunjukkan bahwa konteks pemilu dapat mempengaruhi hubungan antara keduanya kampanye dan kemanjuran politik namun pertanyaan ini belum dikaji dari sebuah perspektif komparatif. Dalam analisis berikut ini kita mengkaji aspek-aspek pemilu kampanye yang mempengaruhi dukungan terhadap sistem politik di tiga negara: Amerika
Amerika, Selandia Baru dan Inggris. Setiap negara dalam penelitian menyediakan kelembagaan yang berbeda dan konteks kampanye yang mungkin berinteraksi dengan faktor kampanye yang mempengaruhi dukungan system
Dawson (2022) Â memetakan pergerakan rezim pertumbuhan di negara-negara demokrasi maju melalui tiga era berbeda sejak Perang Dunia II---era modernisasi, yang berlangsung dari tahun 1950 hingga 1975, era liberalisasi dari awal tahun 1980 an hingga 2000, dan era berikutnya yang berbasis pengetahuan. pertumbuhan ekonomi---dan berargumentasi bahwa rezim-rezim tersebut tidak hanya sesuai dengan kondisi perekonomian tertentu, namun juga kondisi pemilu yang spesifik. Klaim utama saya adalah bahwa kecenderungan dan kapasitas pemerintah untuk menjalankan rezim pertumbuhan yang berbeda-beda bergantung pada evolusi perpecahan pemilu dan bagaimana rezim tersebut mengkondisikan persaingan pemilu yang partisan. Dinamika ini juga mempengaruhi pengaruh relatif kelompok pemilih dan produsen terhadap kebijakan. Sebagai penutup, saya mengeksplorasi implikasi analisis ini terhadap politik kontemporer.
Ringkasan ini memungkiri fakta bahwa perkembangan ini penuh dengan endogenitas. Di setiap era, perkembangan ekonomi sekuler dan rezim pertumbuhan saling mempengaruhi, dan keduanya mempengaruhi evolusi perpecahan pemilu. Karena beberapa faktor ini biasanya berubah-ubah pada waktu tertentu, maka hasilnya tidak dapat digambarkan sebagai keseimbangan. Namun analisis ini menunjukkan cara-cara di mana perekonomian dan politik berevolusi secara berdampingan. Tentu saja, analisisnya juga agak bergaya. Pada waktu tertentu, terdapat variasi yang signifikan dalam rezim pertumbuhan nasional, yang bergerak dengan kecepatan dan tingkat yang berbeda-beda sepanjang lintasan yang berbeda-beda, yang disebabkan oleh struktur kelembagaan dari berbagai jenis kapitalisme Analisis yang lebih mendalam akan memetakan lintasan-lintasan tersebut, namun saya fokus pada pergerakan paralel dari waktu ke waktu untuk mengidentifikasi kesamaan dalam proses di balik pergeseran rezim pertumbuhan.
Misalnya institusi yang telah terdokumentasi dengan baik di Amerika Serikat dan di tempat lain. Sejak Dengan menggunakan panel survei pra-pemilu dan pasca-pemilu dari Amerika Serikat, Inggris, dan Selandia Baru Ditemukan bahwa hal tersebut hanya perubahan kecil dalam ukuran agregat dukungan sistem. Namun, kami menemukan adanya perubahan yang signifikan dalam dukungan sistem pada tingkat individu yang dapat dijelaskan dengan status sebagai pemenang pemilu, perhatian terhadap media, khususnya liputan berita serius dan persepsi ekonomi. Hasilnya mempunyai implikasi bagi perdebatan mengenai ukuran dukungan sistem seperti kepercayaan, sinisme dan kemanjuran.
Dengan menggunakan data jajak pendapat baru untuk sampel pemilu presiden global antara tahun 1996 dan 2016, artikel ini menunjukkan bahwa dalam pemilu yang pemenangnya akan mendapatkan segalanya, peningkatan tingkat daya saing memicu upaya yang lebih besar untuk memanipulasi kotak suara. Menariknya, sifat dan besarnya hubungan ini serupa di negara-negara "sebagian bebas" dan juga di negara-negara demokrasi yang lebih mapan, sehingga berpotensi menimbulkan implikasi yang meresahkan bagi negara-negara demokrasi yang kompetitif; pemilu yang sangat kompetitif -- yang seringkali dianggap sebagai salah satu ciri demokrasi yang sehat -- seringkali dapat merusak integritas proses pemilu. Tampaknya hal ini terjadi baik petahana tertinggal atau memimpin perolehan suara. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakpastian saja sudah cukup untuk mendorong aktor politik melakukan upaya curang untuk mempengaruhi hasil pemilu agar menguntungkan mereka. Mekanisme keputusasaan dan konsolidasi yang dihipotesiskan mungkin memang berperan dalam hal ini, namun analisis ini tidak mampu mengungkap sejauh mana masing-masing (atau tidak keduanya) berlaku.
Meskipun demikian, ada beberapa aspek lain dari fenomena ini yang tidak dapat diselidiki sepenuhnya melalui pendekatan yang diambil dalam banyak analis. Sayangnya, bentuk data tersebut melarang investigasi pemilihan presiden, misalnya, karena setiap pemilu diberi peringkat agregat untuk semua putaran pemilu yang berlangsung pada tahun tertentu.
 Oleh karena itu, hal ini merupakan salah satu cara yang berpotensi bermanfaat untuk penelitian di masa depan, mengingat bahwa ekspektasi teoritis yang diuraikan di sini akan mengantisipasi dampak yang lebih nyata ketika ketegangan meningkat, waktu yang singkat, dan kandidat yang sedikit. Lebih lanjut, teori yang dikemukakan di sini juga tidak serta merta menghalangi penerapannya pada bentuk pemilu lainnya. Pemilu yang menentukan pemenang akan mendapatkan semuanya, seperti pemilihan parlemen berdasarkan peraturan mayoritas atau pemilihan walikota di tingkat lokal, misalnya, mungkin juga menunjukkan tren serupa.
Dengan berfokus pada penyimpangan yang dilaporkan pada hari pemungutan suara, dapat dapat memberikan dua kontribusi utama. Pertama, dengan menggunakan data jajak pendapat pra-pemilu yang baru dan pengukuran kecurangan pemilu yang terbatas untuk sementara waktu, analisis ini mampu secara efektif mengisolasi pola persaingan pemilu yang terjadi sebelum hari pemilu dari pelaksanaan pemilu itu sendiri. Penggunaan jajak pendapat sebelum pemilu menghilangkan hasil pemilu yang bermasalah, dan lebih berfokus pada persepsi seputar pemilu yang pada akhirnya membentuk perilaku para aktor terkait. Namun penting untuk diperhatikan di sini adalah bahwa pemilu yang dianggap "bersih" dalam  analisis ini belum tentu bersih.
Mungkin juga benar bahwa persaingan pemilu, sebagaimana diukur dalam  analisis ini, dipengaruhi oleh upaya manipulatif yang dilakukan pada awal siklus pemilu. Namun, salah satu kekuatan dari pendekatan yang diambil di sini adalah bahwa kita dapat memperkirakan hubungan antara persaingan pemilu dan kecurangan pemilu, terlepas dari manipulasi apa yang mungkin atau belum pernah terjadi sebelumnya.
Kedua, analisis tentang malpraktek pemilu memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai situasi di mana para pelaku mungkin berupaya memanipulasi pemilu, dan mengapa mereka khususnya melakukan penipuan pada hari pemilu. Pola persaingan pemilu, nampaknya, juga dapat menimbulkan dampak buruk yang serupa terhadap integritas hari pemilu di negara-negara semi-demokrasi dan demokratis. Tingkat ketidakpastian yang lebih besar dan berkurangnya waktu yang diperlukan untuk mengurangi ketidakpastian ini dapat memberikan insentif kepada para aktor untuk memanipulasi kotak suara untuk mempengaruhi perolehan suara mereka. Oleh karena itu, pemilu yang kompetitif mungkin bukan ciri demokrasi seperti yang diperkirakan banyak orang. Demokrasi yang sehat membutuhkan perjuangan. Moga Bermanfaat ****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI