Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Hati-hati Klientelisme: Pembelian Suara (Vote Buying) pada Pemilu 2024?

9 Februari 2024   00:59 Diperbarui: 9 Februari 2024   20:53 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Vote buying (pembelian suara)  adalah  juga disebut sebagai klientelisme pemilu dan politik patronase yang  terjadi ketika partai politik atau kandidat mendistribusikan uang atau sumber daya kepada pemilih dalam pemilu mendatang dengan harapan bahwa pemilih akan memilih aktor yang memberikan imbalan berupa uang. Anda bisa mengecek siapa-siapa paslon dan kandidat yang menyebarkan uang dan barang-barang dan jasa dalam kampanyenya.

Pembelian suara dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti pertukaran uang, serta pertukaran barang atau jasa yang diperlukan.  Praktik ini sering kali digunakan untuk memberikan insentif atau membujuk pemilih agar datang ke pemilu dan memberikan suara dengan cara tertentu. Meskipun praktik ini ilegal di banyak negara seperti Amerika Serikat, Argentina, Meksiko, Kenya, Brasil, dan Nigeria, prevalensinya tetap ada di seluruh dunia, dan di negara berkembang terus meningkat. Mengapa demikian, kuae manis kekuasaan sangat menggiurkan.

Sebagai contoh, Di beberapa wilayah Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir abad ke-19, anggota partai-partai yang bersaing akan bersaing, terkadang secara terbuka dan terkadang dengan lebih rahasia, untuk membeli dan menjual suara. Pemilih akan diberi kompensasi berupa uang tunai atau pembayaran rumah/pajak.

Untuk menjaga kerahasiaan praktik jual beli suara, partai-partai akan membuka toko jual beli suara dengan staf penuh. Partai-partai juga akan mempekerjakan para kandidat yang akan tampil ke masyarakat dan mencari pemilih mengambang (floating mass) dan melakukan tawar-menawar dengan mereka untuk memilih pihak mereka.

Di Inggris, dokumentasi dan kisah jual beli suara juga sudah dikenal luas. Peristiwa jual beli suara yang paling terkenal terjadi di Inggris pada abad ke-18, ketika dua atau lebih bangsawan kaya mengeluarkan uang berapa pun untuk menang. "Pemilu boros" terjadi di Northamptonshire pada tahun 1768, ketika tiga earl masing-masing menghabiskan lebih dari 100.000 untuk kandidat favorit mereka.

Pemilih dapat diberikan uang atau imbalan lain karena memilih dengan cara tertentu, atau tidak memilih. Di beberapa yurisdiksi, tawaran atau pemberian imbalan lain disebut sebagai "perjanjian elektoral".  Perlakuan pemilu tetap sah di beberapa yurisdiksi, seperti di Seneca Nation of Indians.

Asal usul praktik ini telah ditelusuri hingga ke Roma kuno. Di sini hubungan antara patron (patronus) dan klien (cliens) dipandang penting untuk memahami proses politik. Meskipun kewajiban di antara mereka bersifat timbal balik, poin utamanya adalah bersifat hierarkis. Hubungan-hubungan ini sebaiknya dipandang bukan sebagai sebuah entitas melainkan sebagai suatu jaringan (klienela), dengan patronus sendiri mungkin berkewajiban kepada seseorang yang memiliki kekuasaan lebih besar, dan klien mungkin mempunyai lebih dari satu patron.

 Perluasan ini meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik kepentingan. Meskipun familia adalah unit dasar yang mendasari masyarakat Romawi, jaringan yang saling terkait (clientela) bertindak sebagai pembatasan otonomi mereka namun memungkinkan berkembangnya masyarakat yang lebih kompleks. Sejarawan pada akhir abad pertengahan mengembangkan konsep ini menjadi feodalisme bajingan. Seperti biasa, terdapat ambiguitas dalam penggunaan terminologi politik dan istilah "klientelisme", "hubungan patron-klien", "patronase", dan mesin politik terkadang digunakan untuk menggambarkan konsep serupa atau terkait.

CONTOH SESJARAH

Pemerintahan Julius Caesar (49--44 SM) dan Tiberius (14--16 M) dianggap sebagai contoh klientelisme yang meluas. Pada tahun 1500-an, ahli teori politik Perancis tienne de La Botie tidak menggunakan istilah klientelisme, namun menggambarkan praktik kaisar yang menggunakan hadiah kepada publik untuk mendapatkan loyalitas dari mereka yang ingin menerima apa yang termasuk suap:

Para tiran akan membagikan sumbangan, satu gantang gandum, satu galon anggur, dan satu sesterce [koin]: dan kemudian semua orang tanpa malu-malu berseru, "Hidup Raja!" Orang-orang bodoh tidak menyadari bahwa mereka hanya mendapatkan kembali sebagian dari harta mereka, dan bahwa penguasa mereka tidak dapat memberikan apa yang mereka terima tanpa terlebih dahulu mengambilnya dari mereka. Seseorang mungkin suatu hari akan dihadirkan dengan seorang sesterce dan melahap dirinya sendiri di pesta umum, memuji Tiberius dan Nero karena kemurahan hati mereka, yang keesokan harinya, akan terpaksa meninggalkan harta bendanya karena keserakahan mereka, anak-anaknya karena nafsu mereka, hak miliknya. darah atas kekejaman kaisar yang luar biasa ini, tanpa memberikan perlawanan lebih dari batu atau tunggul pohon. Massa selalu berperilaku seperti ini---sangat terbuka terhadap suap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun