Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hari Raya Galungan dan Yadnya untuk Penyucian Diri

1 Agustus 2023   10:48 Diperbarui: 2 Agustus 2023   16:42 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umat Hindu melaksanakan perayaan Hari Raya Galungan yang berlangsung di Pura Agung Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (14/4/2021).(KOMPAS.com / AJI YK PUTRA)

Umat Hindu di Indonesia dengan kalendernya sendiri memiliki hari raya yang datang setiap 210 hari, salah satu adalah hari raya Galungan, yang tepat jatuh pada hari Rabu, wuku Dunggulan. 

Pada tahun ini hari raya Galungan jatuh pada 2 Agustus 2023. Pada tanggal tersebut, adalah pertemuan antara sapta wara-pancawara dan wuku (dalam penanggalan Jawa Bali). 

Hari Raya Galungan sejatinya adalah kemenangan dharma melawan adharma (kebatilan), namun dalam perspektif pengabdian pada Hyang Mahakasih, Galungan adalah sebuah metode yang sarat makna, seperti prosedur baku untuk melakukan perilaku 'cinta pada kebenaran, dengan terminal akhir kepada Sang Maha pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Kemenangan yang paling hakiki dan dengan kesulitan yang tinggi adalah melawan musuh yang ada dalam diri. Musuh yang sangat dekat, namun kerap lupa disadari, sehingga membutuhkan apa yang disebut ksama, kesabaran. 

Kesabaran ibarat bumi/tanah yang selalu menerima apa pun yang diberikan padanya, bau tanahnya tidak berubah. Kestabilan sang jiwa sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Seorang penyembah seperti itu tidak hanya menyelamatkan dirinya sendiri tetapi juga membantu orang lain untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Cinta mengalir dalam aliran tanpa akhir melalui umat manusia sepanjang waktu. 

Dengan mengarahkan cinta ini pada objek-objek duniawi dan kesenangan sesaat, manusia kehilangan kesempatan untuk membuat hidup memiliki tujuan dan memperoleh kebahagiaan abadi. 

Manusia harus mengarahkan cinta ini kepada Tuhan untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya. Cinta Ilahi tidak dikembangkan oleh pendidikan sekuler atau studi kitab suci. Itu muncul dari hati yang jernih dan murni. 

Perubahan adalah teman, bukan musuh. Perubahan adalah peluang yang brilian untuk tumbuh.

Menyadarkan diri sebagai dari tanah, dan selalu dekat dengannya, karena tubuh juga terdiri dari tanah itu salah satu dari 5 unsur penyusun tubuh manusia. Panca maha buta (akasa =hampa), bayu (angin), teja (sinar), apah (air), dan perthiwi (tanah), dari tingkatan terhalus sampai terberat. 

Campuran itu menjadi sebuah pernyewaan tubuh manusia, yang terdiri dari unsur yang bertentangan, manusia itu memang awalnya labil, oleh karena itu menghilangkan kelabilan itulah tugas manusia untuk menjadi pemenang dalam kontradiski itu.

Pura Ulun Danu Beratan (Dokumentasi Facebook/Desy Puspaningrat)
Pura Ulun Danu Beratan (Dokumentasi Facebook/Desy Puspaningrat)

Kontra diksi itu dalam bentuk rwa bhinneda literally means two opposites. Orang Bali percaya bahwa segala sesuatu yang ada sebagai dualitas. Adanya dualitas inilah yang membawa keseimbangan kosmis pada alam semesta. 

Dua hal yang berbeda, selalu hadir di kehidupan manusia, ada senang-ada sedih, putih hitam, dan lain-lain. Kemenangan ajeg di tengah, menjadi stabil, dalam bentuk dunia yang bergerak dinamis, menjaga keseimbangan secara makro dan mikro, tentu itu adalah sesuatu yang sulit. Sebagai penegak kebenaran.

Perjuangan untuk menegakkan kebenaran dalam diri, yang kemudian melumer ke keluarga, lalu ke desa bahkan dalam lingkup negara. Musuh yang terbesar yang harus dikalahkan berstana dalam diri, untuk menaklukkannya dibutuh sadahana, berbentuk rangkai upacara Galungan adalah prosesi panjang pembenahan diri. 

Kemenangan pada diri dirasakan sendiri untuk menata emosi diri dari musuh duniawi dalam bentuk -Dalam teologi Hindu,- arishadvarga atau shadripu (Sansekerta; berarti enam musuh) adalah enam musuh pikiran, yaitu: kama (keinginan), krodha (kemarahan), lobha (keserakahan), mada (rasa aku), moha (kemelekatan), dan matsarya (keberpihakan); sifat-sifat negatif yang mencegah manusia mencapai moksha.

Moksha, sebagai terminal akhir evolusi spiritual manusia Hindu bisa dicapai selama masih Hidup atau sudah mati, ungkapan sastra sucinya menyebutkan "Moksartham jagadhita ya ca iti dharma adalah tujuan hidup untuk mencapai kesejahteraan di dunia ini maupun mencapai moksa yaitu kebahagiaan di akhirat.

Moksha dalam kehidupan ini, mereka yang bisa seimbang dalam keadaan suka maupun duka, tidak merasa kehilangan, karena yang kita miliki di dunia ini sesungguhnya tidak ada, harta benda tidak akan dibawa serta ke alam lain, dia tinggal di dunia  fana ini. 

Namun dia bermakna besar ketika disedekahkan atau didanapunikan (disedahkan ). Keterikatan akan benda, berawal dari pikiran, Dalam bhagavad gita menyebutkan, keterikatan akan benda, diawali selalu memikirkannya, maka pikiran haruslah benar-benar dijaga untuk selalu memikirkan Tuhan Yang Maha Abadi.

Galungan dan pembebasan adalah satu tanda dan harapan bahwa kemenangan atas diri, sebuah mutiara kehidupan akan lahir dari keheningan sukma yang mampu mengalahkan dirinya. Hindu sendiri ada dua persepsi mengenai Tubuh manusia yang dikenal dengan Tri Sarira dan Panca Maya Kosa.

Manusia terdiri atas 3 jenis lapisan (tri sarira) dengan fungsi serta kualitas yang berbeda. sthula sarira/raga sarira: unsur Panca Maha Bhuta. Ini pembentuk badan kasar.

Kedua, Suksma Sarira/Linga Sarira: badan halus mencangkup budhi, manah, ahamkara, dan indriya. Anta Karana Sarira adalah badan penyebab yaitu Jiwatman yang menghidupi badan. Lapisan-lapisan ini, selalu berinteraksi dengan apa yang kita makan dalam bentuk fisik, pikiran dan perkataan yang baik menyucikan lapisan badan ini.

Pada aspek makanan, di sini menjadi suci manakala kita persembahkan dahulu kepadanya, dari sanalah muncul bahwa "kita dilingkupi oleh Brahman, dan yang dipersembahkan adalah Brahman dan menerima semua Brahman. Tak ada di dunia ini yang tidak ada unsur ketuhannya, karena beliau meliputi semuanya.

Puja mantra selalu dihaturkan bersamaan dengan persembahan upacara dalam bentuk aneka kue dan buah sesuai dengan amanat Bhagawad Gita IX.26, "Patram Puspam Phalam Toyam, Yo me bhaktya praya schati, Tad aham bhakta pahritam, Asami praya tat manah"

(Siapapun yang sujud kepada Tuhan, dengan mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air yang dilandasi hati yang tulus, suci dan iklas (lascarya) akan diterima sebagai persembahan yang sempurna).

Persembahan itu sejatinya jalan penyucian diri (Wisudhi Marga), mengapa demikian? 

Berangkat dari ontologi sebuah yadnya yang didasari oleh karena manusia lahir dan hidup, kemudian mati, adalah sebuah putaran penebusan dosa, lahir membawa Karma Wasana dari kehidupannya yang terdahulu (kehidupan sebelumnya, lalu bereinkarnasi/menitis) sehingga Karma Wasana atau dosa-dosa itu perlu ditebus atau disucikan dengan beryadnya.

Yadnya pada prinsipnya korban suci yang dipersembahkan dengan tulus ikhlas, Dalam konsep Hindu ada lima jenis yadnya (Panca yadnya). 

Kata Panca Yadnya terdiri dari dua kata, yaitu kata Panca dan Yadnya. Panca berarti Lima, Yadnya berarti persembahan suci. Kata Yadnya berasal dari Bahasa Sanskerta dari urat kata Yj yang berarti orang yang berkorban.

Perjalanan yadnya dan ritual dalam Kitab Weda berevolusi seiring perkembangan pemahaman manusia, lebih lanjut perubahan besar terjadi selama milenium 1 SM, perubahan yang mempengaruhi konsep kemudian diadopsi oleh tradisi lain seperti dalam agama Buddha.

Pengorbanan periode Weda awal melibatkan pengorbanan hewan, tetapi ritual-ritual itu secara progresif ditafsirkan kembali seiring waktu, menggantikan persembahan dan menjadikannya tanpa kekerasan atau simbolis, dengan keunggulan pengetahuan dan perayaan bunyi mantra menggantikan persembahan fisik.

Kedamaian hati menjadi titik penting, yang awalnya bersifat eksternal, juga terjadi atas perubahan dari sebuah perjalanan tindakan eksternal (karma-kanda) ke pengetahuan internal (jana-kanda), disorot dalam banyak sutra yang berhubungan dengan ritual, serta teks-teks khusus seperti Brihadaranyaka Upanishad (~800 BCE), Chandogya Upanishad, Kausitaki Upanishad dan Peran Agnihotra Upanishad. Dalam melaksanakan sebuah Yadnya hendaknya diketahui syarat-syarat Yadnya.

Tak pelak yang perlu diketahui adalah, syarat yadnya untuk memiliki nilai kesucian tinggi antara lain: (1) keikhlasan dan kesucian hati, (2) dilingkupi dengan vibrasicinta kasih kepada sesama, cinta semua ciptaan,(3) sepadankan dengan kemampuan dan bersifat satwika, (4) dilakukan sebagai sebuah kewajiban, anugerah kehidupan yang luar biasa.

Dalam praktik agama Hindu di Bali, terdapat lima jenis Yadnya yang disebut dengan Panca Yadnya, yaitu: 

(1) Dewa Yadnya, adalah yadnya yang dilakukan ke hadapan Tuhan yang Maha Esa. 

(2) Rsi Yadnya, adalah yadnya yang dilakukan kepada para rohaniawan, yang memberikan pencerahan untuk kehidupan yang lebih baik

(3) Pitra Yadnya adalah yadnya yang dilakukan kepada leluhur, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. 

(4) Manusa Yadnya adalah yadnya ke sesama manusia bisa fakir miskin, atau menjadi orang tua asuh, 

(5) Bhuta Yadnya adalah yadnya yang dilakukan kepada lingkungan fisik atau lingkungan yang tidak tidak kelihatan (sekala-niskala) untuk menjadi harmonis.

Titik kritis dari yadnya, adalah semua kerja dilakukan adalah persembahan tanpa mengharapkan hasil, semua diserahkan pada yang memberikan kehidupan (causa prima). Untuk itu, maka benar kata Sri Krishan yang termuat dalam Bhagavad Gita, 

Kedermawanan menghapuskan kemiskinan, perbuatan yang baik menghilangkan kemalangan, kecerdasan rohani menghapuskan kegelapan/kebodohan, dan bahaya atau rasa takut bisa dihilangkan dengan merenungkannya baik-baik.

Demikian pula halnya bahwa seseorang akan menjadi suci apabila dia memakan sisa yadnya (karena prasadam/lungsuran adalah makanan yang telah disucikan). Dan dianggap pencuri/berdosakah seseorang bila seseorang makan makanan yang belum dipersembahkan, karena pada hakikatnya seluruh makanan yang ada di alam ini milik Hyang Widhi.

Selamat hari raya Galungan, Om Ano bhadrah kratawo yantu wiswatah & Om Swastiastu, semoga pikiran baik datang dari segala penjuru. ****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun