Pasokan bahan bakar berbasis minyak bumi telah mendapat perhatian luas dari masyarakat global akibat meningkatnya penggunaan di berbagai sektor,  menipisnya sumber daya minyak bumi, dan ketidakpastian seputar harga pasar minyak mentah komoditas tersebut. Selain itu, masalah lingkungan dan  efek  dari gas rumah kaca., mengakibatkan  penggunaan sumber energi bersih menjadi pilihan, seperti  biodiesel , energi tenaga surya, maupun PLTA dan angin.Â
 Biodiesel  dihasilkan dari sumber daya alam yang tidak terbatas melalui proses transesterifikasi menjadi kian menarik. Oleh karena biodisel  tidak  beracun, dapat terurai secara hayati, dan mengandung lebih sedikit polutan udara per jaringan energi yang dihasilkan serta  kandungan sulfur dan  senyawa aromatik yang rendah, sehingga aman bagi lingkungan. Berbagai bahan baku dapat digunakan untuk menghasilkan biodiesel , salah satu adalah  dari tanaman kelapa sawit,
SELAYANG PANDANG MINYAK KELAPA SAWIT
Minyak kelapa  Sawit (elaeis guineensis) merupakan minyak nabati tropis yang berasal dari daging (mesocarp) buah sawit untuk menghasilkan minyak sawit mentah (CPO) dan dari inti buah (endosperm) untuk menghasilkan minyak inti sawit (PKO). Keduanya berbeda dalam kualitas, kepadatan, komposisi, dan hasil akhir.
Kelapa sawit  dapat menghasilkan dua jenis minyak yang berbeda dari buah yang sama. Ketika kelapa sawit dilakukan pengepresan, daging buah sawit akan menghasilkan minyak sawit kasar atau dikenal sebagai Crude Palm Oil (CPO). Sedangkan, inti sawit akan menghasilkan minyak inti sawit kasar atau dikenal dengan Crude Palm Kernel Oil (CPKO). CPO ini nantinya yang akan digunakan sebagai bahan baku Biodiesel. namun yang banyak diperdagangan dari produk kelapa sawit itu adalah  CPO  (crude palm oil)Â
Oleh karena PCO  dapat digunakan untuk bahan bakar, sejenis biodiesel, maka negara lain mau membeli CPO dengan harga yang lebih tinggi dengan harga mana kala diolah  menjadi minyak goreng di dalam negeri .  Melihat perbedaan harga ini, perusahan kelapa sawit lebih suka menjual CPOnya ke luar negeri dari pada  digunakan untuk minyak goreng.
Biodiesel yang berkualitas tinggi harus memiliki bilangan iod yang rendah dan stabilitas oksidasi yang tinggi. Hal ini dapat dicapai jika CPO tidak mengandung asam lemak tak jenuh ganda (PUFA). Oleh karena itu, untuk menghasilkan biodiesel berkualitas tinggi, diperlukan minyak sawit yang mengandung asam lemak jenuh tinggi tetapi tidak mengandung PUFA. Â Dalam prosesnya perlu dilakukan fraksinasi PUFA dengan asam lemak jenuh (SFA) dan asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA).
Minyak sawit adalah salah satu minyak yang paling banyak dikonsumsi dan diproduksi di dunia. Minyak yang murah, mudah diproduksi dan sangat stabil ini digunakan untuk berbagai variasi makanan, kosmetik, produk kebersihan, dan juga bisa digunakan sebagai sumber biofuel atau biodiesel. Kebanyakan minyak sawit diproduksi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan karena pohon kelapa sawit membutuhkan suhu hangat, sinar matahari, dan curah hujan tinggi untuk memaksimalkan produksinya.
Perlu dikatehui bahwa minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia, yang mencakup lebih dari setengah semua produk kemasan yang dikonsumsi secara global. Selain untuk makanan, minyak sawit adalah salah satu bahan baku / substrat paling serbaguna yang dikenal industri, dari makanan hingga kosmetik, bahan kimia hingga energi, dan farmasi hingga pakan ternak.
Produksi minyak sawit merupakan oligopoli yang efektif, didominasi oleh dua negara, Indonesia (53% dari produksi global) dan Malaysia (31% dari produksi global). Bersama-sama, menyumbang 84% dari volume CPO global. Nigeria, Thailand, dan Kolombia muncul berkontribusi sebagai produsen, secara kolektif menyumbang peningkatan 7% - 8% dari total output CPO global dan terus meningkat. Minyak sawit menyumbang 35% dari pasar minyak nabati dunia.
Minyak sawit banyak digunakan dalam industri makanan dan non-makanan. Hal ini menyebabkan produksi kelapa sawit di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik[1], produksi kelapa sawit meningkat antara 5,67% hingga 7,7% dari tahun 2013 hingga 2015. Selanjutnya dari tahun 2015 hingga 2016 terjadi peningkatan produksi kelapa sawit yang cukup tinggi yaitu sebesar 53,28%. Â Pada tahun 2017 juga terjadi peningkatan produksi kelapa sawit sebesar 34,47 juta ton atau 9,46%.
Lebih jauh perlu diketahui bahwa Buah sawit merupakan buah yang banyak mengandung minyak. Crude Palm Oil (CPO) merupakan hasil dari proses pengepresan daging buah sawit atau mesocarp. Komponen yang terkandung dalam CPO adalah hampir 95% trigliserida, 4,5% digliserida, dan 0,9% monogliserida. Variasi komposisi ini tergantung pada spesies, lokasi tumbuh, dan umur kelapa sawit. Namun, kandungan asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tak jenuh tunggal (Mono unsaturated fatty acids =MUFA), dan asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acids =PUFA) pada CPO menghasilkan angka yodium yang tinggi pada CPO Â Minyak sawit mengandung hampir 50% PUFA dan hampir 50% asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acids =UFA).
Belakangan ini, kelapa sawit mulai digunakan sebagai sumber produksi energi yang berkelanjutan. Minyak sawit dapat dikonversi menjadi biodiesel melalui proses transesterifikasi Namun, penggunaan biodiesel yang dihasilkan dari minyak sawit yang mengandung PUFA sebagai campuran bahan bakar memiliki kelemahan. Ikatan rangkap pada  minyak dan temperatur yang tinggi pada mesin akan menyebabkan terjadinya oksidasi dan karat pada mesin.
 Biodiesel yang berkualitas tinggi harus memiliki bilangan iod yang rendah dan stabilitas oksidasi yang tinggi. Fraksinasi adalah salah satu proses yang digunakan dalam industri kimia untuk memisahkan suatu larutan menjadi beberapa komponen dasar atau fraksi. Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan suatu komponen dengan sifat-sifat tertentu yang diinginkan. Teknik fraksinasi yang umum digunakan adalah ekstraksi pelarut (liquid-liquid extraction). Prinsip ekstraksi pelarut adalah pemisahan berdasarkan perbedaan kelarutan. Kelarutan ini tergantung pada polaritas suatu senyawa, dimana senyawa polar larut dalam pelarut polar dan senyawa non polar larut dalam pelarut non polar . n-heptana dan DMSO adalah campuran pelarut non-polar dan polar. Penggunaan n-heptana bertujuan untuk mencegah SFA dan MUFA larut dalam DMSO, sedangkan DMSO digunakan untuk melarutkan asam linoleat dalam PUFA.
Pada penelitian ini, fraksinasi PUFA dalam CPO dilakukan dengan menggunakan pelarut n-heptana dan DMSO. CPO dipilih sebagai bahan baku karena mudah ditemukan di pasaran. Lebih lanjut, Produksi biodiesel dari minyak sawit mentah (CPO) dengan 6 wt% asam lemak bebas (FFA) menggunakan teknik iradiasi ultrasonik frekuensi rendah (40 kHz) diselidiki dalam pekerjaan ini.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis dan waktu iradiasi memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap konversi menjadi biodiesel. Selain itu, nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,93 menunjukkan kesesuaian model orde kedua untuk penelitian ini. Berdasarkan model orde kedua ini, kondisi optimum untuk transesterifikasi katalis basa CPO ditemukan pada rasio molar metanol terhadap minyak 6,44:1, konsentrasi katalis 1,25 wt%, suhu reaksi 38,44 C dan waktu penyinaran 25,96 menit. Pada kondisi optimum yang dihitung, konversi menjadi biodiesel mencapai 97,85%. Dalam kondisi yang sama, nilai eksperimen adalah 98,02 0,6%.
3. MINYAK SAWIT SEBAGAI SUMBER UTAMA PRODUKSI BIODIESEL
Biodiesel yang dihasilkan dari sumber trigliserida yang berbeda merupakan bahan bakar alternatif untuk petro-diesel. American Society for Testing and Materials (ASTM) mendefinisikan biodiesel sebagai ester mono-alkil diproduksi dari berbagai bahan baku lipid termasuk minyak nabati, lemak hewani, dll. Selain itu, ia memiliki telah diterima sebagai bahan bakar dan aditif bahan bakar di seluruh dunia dan terdaftar di US Environmental.
Badan Perlindungan (EPA). Karena kekhawatiran tentang ketersediaan minyak bumi dan peningkatan saat ini. Dalam harga minyak bumi, penggunaan biodiesel pada mesin diesel konvensional telah menarik banyak perhatian.
Sejarah dimulai pada tahun 1900-an ketika Sir Rudolf Diesel berhasil menjalankan mesin diesel konvensional menggunakan minyak sayur tanpa modifikasi apapun. Pada tahun 1930-an dan 1940-an, minyak nabati digunakan sebagai solar, terutama dalam keadaan darurat. Namun, penyelidikan lebih lanjut telah memverifikasi bahwa penggunaan langsung minyak nabati dan hewani sebagai bahan bakar diesel tidak praktis karena massa molekulnya yang besar, volatilitas rendah, dan viskositas kinematik tinggi, yang mengurangi kinerja mesin dan meningkatkan masalah lain termasuk penebalan, pembentukan gel, dan lengketnya minyak [2]. Untuk mengatasi masalah tersebut dan memungkinkan penerapannya sebagai bahan bakar, beberapa metode telah diterapkan seperti pencampuran dengan petro-diesel, mikroemulsifikasi, pirolisis, dan transesterifikasi.
REAKSI TRANESTERIFIKASIÂ
 Perlu diketahui bahwa Biodiesel merupakan bahan bakar yang berasal dari minyak nabati. Salah satu minyak nabati yang dapat digunakan dalam pembuatan biodiesel adalah Crude Palm Oil (CPO), CPO lewat  reaksi transeterifikasi  dapat dihasilkan  biodiesel.
Reaksi trans esterifikasi adalah proses yang digunakan untuk memodifikasi struktur ester. Ini termasuk ester dan alkohol sebagai reaktan. Transesterifikasi terjadi bila gugus alkil dari ester dipertukarkan dengan gugus alkil alkohol. Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh kondisi mode reaksi, rasio molar alkohol terhadap minyak, jenis alkohol, jenis dan jumlah katalis, waktu reaksi dan suhu serta kemurnian reaktan.
Transesterifikasi atau alkoholisis adalah perpindahan alkohol dari ester dengan sepsi  lain dalam proses yang mirip dengan hidrolisis, kecuali alkohol digunakan sebagai pengganti air .Proses ini telah banyak digunakan untuk mengurangi viskositas trigliserida yang tinggi.  Jika metanol digunakan dalam proses ini disebut metanolisis.. Transesterifikasi adalah salah satu reaksi reversibel dan pada dasarnya berlangsung dengan mencampurkan reaktan. Namun, adanya katalis (asam atau basa kuat) mempercepatkonversi.
PERSPEKTIF SEJARAH
Di antara semua bahan baku yang ada, minyak sawit mengandung asam palmitat dan oleat dalam jumlah tinggi yang telah dikenal sebagai sumber yang paling cocok untuk produksi biodiesel. Karena faktor geografis, masing-masing daerah saat ini lebih memilih untuk memanfaatkan sumber yang berbeda seperti minyak kedelai di Amerika Serikat, Argentina, dan Brasil, minyak lobak di UE, dan minyak sawit di sebagian besar negara di Asia, termasuk Indonesia.
Beberapa studi telah menyoroti kelayakan ekonomi minyak sawit sebagai bahan baku utama. Misalnya, Yusuf dkk, Â melaporkan bahwa harga biodiesel sawit yang diproduksi di Malaysia masih harga bersaing di UE. Sementara itu, Shahbazi dkk., Â mengungkapkan bahwa harga minyak sawit asal Malaysia mampu bersaing dengan harga minyak tanaman budidaya domestik di Timur Tengah.
Selain itu, minyak sawit memiliki keunggulan yang signifikan karena kandungan minyaknya yang tinggi [98,99] dengan kandungan minyak yang rendah harga pasar sebagaimana ditabulasikan pada Tabel 8, sumber daya yang melimpah dan kapasitas produksi yang tinggi, menyumbang
Awalnya, Minyak sawit berasal dari Afrika Barat; tetapi, sejak akhir abad ke-20, sebagian besar tanaman kelapa sawit ditanam di Asia Tenggara. Pada pertengahan abad ke-15, minyak kelapa sawit digunakan sebagai sumber makanan  oleh penjelajah Eropa ke Afrika Barat. Selama revolusi industri Inggris di abad  ke 18 ,  permintaan minyak sawit meningkat untuk pembuatan lilin dan sebagai pelumas mesin.
Dua produk utama dari buahnya adalah minyak kernel dari kernel di dalam kacang dan minyak dari luar mesokarp. Menurut Demirbas [108], kandungan asam lemak adalah perbedaan utama antara kedua produk. Minyak dari mesocarp luar terutama kaya akan asam palmitat dan oleat (sekitar 50% lemak jenuh) yang sangat bermanfaat untuk produksi biodiesel, sedangkan minyak inti sawit kaya akan laurat asam (lebih dari 89% lemak jenuh).
Sebagian besar produsen utama minyak sawit seperti Malaysia dan Indonesia (yang memasok sekitar 80--85% dari kapasitas global) telah secara ekstensif mengembangkan beberapa proses untuk mengkonversi minyak sawit, produk sampingannya dan limbah pabrik menjadi biodiesel . Misalnya di Malaysia,
Malaysian Palm Oil Board (MPOB) diluncurkan sejak tahun 1980-an dan menjadi yang terdepan penelitian dan pengembangan biodiesel sawit. MPOB telah berhasil menetapkan beberapa metode untuk menghasilkan metil ester untuk biodiesel dari minyak sawit mentah (CPO) dan produk sampingannya [99]. Selain itu, biodiesel sawit menjadi lebih menarik sejak, berdasarkan praktik saat ini di sawit Malaysia industri minyak, penggunaan biodiesel sawit biasanya dapat berkontribusi pada penghematan emisi GRK sebesar 50--70% dibandingkan dengan petro-diesel .
MANFAAT DAN CIRI-CIRI BIODIESEL SAWIT
Bersama MPOB, Mercedes-Benz, dan Cycle & Carriage pada Juni 1990 hingga Juli 1995, Cho dkk. [109] mencatat penyelidikan lapangan yang komprehensif menggunakan biodiesel sawit sebagai bahan bakar diesel pada 30 bus Mercedes-Benz dengan sasis OF 1313 dan mesin OM 352. Setiap bus berhasil menempuh jangkauan hingga 300.000 hingga 351.000 km. Studi mereka menemukan bahwa OF 1313 dengan mesin OM 352 dapat dioperasikan dengan baik dengan biodiesel sawit yang rapi atau campuran meskipun mesinnya dirancang untuk petro-diesel (tidak perlu modifikasi). Ini berlaku untuk pengoperasian mesin dan mesin jangka Panjang kinerja, yang dapat diterjemahkan ke modul mesin injeksi langsung lainnya. Selain itu, mereka menemukan bahwa mesin yang dipelajari diamati dengan halus dan tidak ada suara ketukan saat memulai.
Dalam jarak tempuh yang direkomendasikan oleh pabrikan, MINYAK mesin terlihat dalam kondisi baik, menunjukkannya kegunaan praktis. Selain itu, emisi gas buang yang jauh lebih bersih tercatat dengan karbon normal penumpukan di nozel mesin dan konsumsi bahan bakar yang sebanding dengan petro-diesel. Selain itu, biodiesel sawit tidak menghasilkan uap eksplosif karena titik nyala yang lebih tinggi. Namun demikian, itu menunjukkan reaksi dengan bahan pengikat di lantai semen selain dari selang yang menyerang dan segel, yang terbuat dari produk karet dan plastik bermutu rendah.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan produksi biodiesel dari minyak sawit dengan jenis bahan baku lainnya. Likozar dan Levec, meneliti transesterifikasi berbagai minyak menjadi biodiesel. Mereka menemukan bahwa minyak kedelai mencapai tingkat konversi FAME tertinggi secara keseluruhan selama tahap transfer massa terkontrol karena kandungan digliserida awal yang tinggi. Namun, sejauh kesetimbangan kimia diperhatikan, konversi akhir tertinggi ditentukan ketika palm minyak digunakan, yang terkait dengan tingkat yang lebih besar dari transesterifikasi trigliserida. Selain daripada itu, Minyak sawit juga dikenal sebagai bahan baku yang baik karena biodiesel memiliki sifat yang sama seperti biasa petro-diesel. Selain itu, Talukder et al. menerapkan proses esterifikasi dua langkah menggunakan CPO untuk memproduksi biodiesel dan menemukan hasil biodiesel 98% dalam waktu dua jam periode reaksi.
Berdasarkan Tabel 9, biodiesel yang dihasilkan dari minyak sawit menunjukkan sifat yang lebih baik dibandingkan dengan jenis biodiesel lainnya terutama mengenai bilangan setana dan bilangan iod.
Salah satu sifat bahan bakar yang paling penting adalah bilangan setana. Angka setana tinggi menyiratkan pendek keterlambatan pengapian yang dapat mempengaruhi kualitas pembakaran [94]. Angka setana yang lebih tinggi mewakili a keuntungan yang signifikan terutama mengenai emisi bersih dan kinerja mesin. sawit-biodiesel memiliki angka setana yang tinggi sangat penting untuk memastikan mesin berbahan bakar biodiesel akan beroperasi dengan lancer dengan lebih sedikit noise. Beberapa sifat penting lainnya termasuk viskositas kinematik (yang mempengaruhi aliran, penyemprotan, atomisasi, dan proses pembakaran), bilangan iod (menunjukkan derajat kejenuhan, sehingga mempengaruhi titik leleh, stabilitas oksidatif, dan kualitas penyimpanan), bilangan penyabunan (mewakili jumlah asam lemak yang dapat mendorong pembentukan sabun), dan nilai kalor yang lebih tinggi (tergantung pada bilangan iod dan bilangan penyabunan).
Selain itu, diamati oleh Choo et al. bahwa biodiesel sawit menunjukkan penyimpanan yang sangat baik properti dengan sedikit degradasi dalam karakteristik bahan bakar. Namun, warna bahan bakar berubah dari oranye menjadi kuning muda setelah disimpan selama lebih dari enam bulan. Perubahan warna bisa dijelaskan oleh pemecahan karoten dalam metil ester. Selain itu, digambarkan bahwa biodiesel sawit menunjukkan titik nyala yang tinggi, menunjukkan sifat yang baik untuk penyimpanan dan transportasi dengan hasil produk minimum 96,5%, yang memenuhi Standar Eropa tentang Biodiesel
Selain itu, teknologi yang dipatenkan dilaporkan pada tahun 2002 untuk memecahkan  masalah  biodiesel sawit masalah titik (suhu +15 C berarti produk hanya dapat digunakan di negara tropis), sehingga biodiesel sawit menjadi produk yang lebih serbaguna. Hasilnya, biodiesel sawit diproduksi dengan titik tuang rendah (tingkat musim dingin dengan suhu dari 21 hingga 0 C) berhasil memenuhi persyaratan dan sekarang dapat dimanfaatkan oleh pengguna negara beriklim sedang. Selain itu, Choo et al. menambahkan bahwa titik tuang rendah biodiesel sawit menunjukkan sifat bahan bakar yang sebanding dengan petro-diesel, selain memiliki karakteristik aliran suhu rendah yang baik.
Singkatnya, untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, minyak nabati yang ditargetkan harus tersedia dengan harga yang kompetitif. Jelas bahwa sebagian besar produsen biodiesel setuju tentang signifikan potensi minyak sawit untuk memenuhi kriteria ini dengan aplikasinya yang luas. Bahkan, minyak sawit telah dicatat sebagai minyak yang paling hemat harga dalam biaya produksinya di antara minyak nabati lainnya dan dapat dengan mudah dipasok dengan penanaman kembali tanaman dengan kebutuhan lahan minimum, pupuk, air, dan pestisida
Selain itu, faktor produktivitas, efisiensi, dan hasil minyak sawit membuatnya lebih disukai dibandingkan minyak dan lemak lainnya. Ketika para industrialis mempertimbangkan minyak nabati sebagai yang terbarukan sumber produksi biodiesel, minyak sawit akan menonjol di antara jenis minyak nabati lainnya untuk memenuhi permintaan yang meningkat akan energi yang lebih hijau dan bersih. Berbagai penelitian telah dilakukan menggunakan bahan baku dan rute sintesis yang berbeda untuk mengevaluasi keberlanjutan biodiesel sawit dengan membandingkannya dengan biodiesel jenis lain. Misalnya, Kurnia dkk. [128] melakukan keberlanjutan analisis biodiesel dan menyarankan bahwa lebih banyak penelitian harus dilakukan dengan ide-ide inovatif untuk meningkatkan sifat biodiesel sehingga dampak lingkungan dan sosial dapat diminimalkan selain itu membuatnya lebih kompatibel dengan mesin diesel yang ada
PENUTUPÂ
Dalam menutup tulisan ini  ada beberapa point yang perlu disimpulkan, yaitu  , Pertama, menipisnya sumber daya fosil, menyebabkan meningkatnya harga minyak mentah dan dibutuhkan kesadaran akan perlindungan lingkungan telah menyebabkan peningkatan studi dan upaya pengembangan sumber energi  terbarukan dan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan.  Kondisi demikian, menyebabkan produksi biodiesel  tinggi pula, dan mengembangkan pertumbuhan tercepat industri di seluruh dunia.
 Kedua,  booming biodiesel telah menimbulkan spekulasi dan kekhawatiran tentang hubungan antara kebun kelapa  sawit-biodiesel, sebagai  pasokan makanan (minyak goreng)  dan deforestasi  hutan tropis yang terus meningkat, untuk memperluas kebun kelapa sawit. Jika pengaturan diterapkan dengan sesuai dengan kajian dampak lingkungannya, maka  biodiesel sawit  memiliki perkembangan sangat menarik
Ketiga, Biodiesel sawit telah berhasil eksis sebagai sumber energi yang efisien meskipun terdegradasi untuk bertahun-tahun karena banyak masalah dan spekulasi. Tonggak sejarah lain yang terkait dengan biodiesel sawit  adalah pengurangan dampak lingkungan, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan ketahanan energi, dan pemaksimalan pemanfaatan limbah. Selain itu, biodiesel  dari kelapa sawit telah dicatat sebagai alternatif atau aditif yang layak dan praktis untuk petro-diesel karena memiliki karakteristik yang sangat baik seperti: sebagai pembakaran bersih, tidak beracun, dapat diperbarui, berkelanjutan, dan dapat diterima.
Keempat, Biodiesel sawit  memiliki manfaat termasuk biayanya yang lebih murah dan manfaat karbon yang lebih positif daripada biodiesel dari sumber  lainnya sumber. Akibatnya, ini dapat mengarah pada peningkatan prospek industri biodiesel sawit. Untuk meringkas semua ini, tren masa depan biodiesel sawit kemungkinan akan bergerak menuju keseimbangan antara tuntutan pasar dengan masyarakat dan persepsi konsumen.
Kelima, Penjelajahan sumber alternatif untuk produksi biodiesel hijau masih berlangsung. Studi ini telah mengusulkan minyak sawit produk sampingan dan limbah pabrik sebagai bahan baku biodiesel masa depan terutama karena harganya yang lebih murah biaya, ketersediaan, kelimpahan, keramahan lingkungan serta dampak minimum pada makanan keamanan. Beberapa teknologi telah dikembangkan dengan lebih banyak perbaikan yang belum diusulkan.
Keenam, Beberapa tantangan utama yang terlibat akan menawarkan potensi penelitian baru untuk meningkatkan kualitas produk dan memecahkan masalah lain terutama yang berkaitan dengan lingkungan. Kajian yang komprehensif masih diperlukan untuk dilaksanakan di masa yang akan datang. Moga bermanfaat*****
Daftar Pustaka
L.C. Meher; D. Vidya Sagar; S.N. Naik (2006). Technical aspects of biodiesel production by transesterification---a review. , 10(3), 248--268. doi:10.1016/j.rser.2004.09.002
Panchal, B., Zhu, Z., Qin, S., Chang, T., Zhao, Q., Sun, Y., ... & Rankhamb, S. (2022). The current state applications of ethyl carbonate with ionic liquid in sustainable biodiesel production: A review. Renewable Energy, 181, 341-354.
Hasan, M. M., & Rahman, M. M. (2017). Performance and emission characteristics of biodiesel--diesel blend and environmental and economic impacts of biodiesel production: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 74, 938-948.
Mubarak, M., Shaija, A., & Suchithra, T. V. (2021). Experimental evaluation of Salvinia molesta oil biodiesel/diesel blends fuel on combustion, performance and emission analysis of diesel engine. Fuel, 287, 119526.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H