Pandemi ini telah menunda pertemuanku denganmu. Hampir setahun. Ku catat baik, tiga kali momen pertemuan yang semestinya sudah kita lalui bersama. Menjelang puasa Ramadhan, Idulfitri dan liburan sekolah. Akhirnya angka 423 tak bisa ku tempuh pada tahun ke-19 kali ini. Maafkan anakmu, Ibu.Â
***
Hari ini, hujan sepagian tak ada berhentinya. Menjadi tanda Desember telah tiba. Bulan biasanya aku pulang ke kampung halaman, mengunjungi ibu. Juga pusara ayah yang telah memulai perjalanan menuju alam keabadian, menjumpai Sang Khalik 3 tahun silam. Rutin ku lakukan, membawa anak-anak entah itu naik, kereta, naik pesawat atau naik mobil sendiri.
Dua pekan dibulan Desember adalah waktu di mana aku sering bernostalgia. Seperti menjadi anak kembali ketika sudah berada di dekat ibu. Padahal, anak sulungku sudah gadis, yang bontot saja sudah kelas 6 SD. Â
Tetapi jujur, menjadi anak dari seorang ibu adalah status yang membuatku bahagia sepanjang waktu. Kedudukan yang membuatku nyaman sepanjang masa. Â Hidup bersama ibu adalah posisi yang ku inginkan sepanjang usia, kalau Tuhan memberikan pilihan.
Tetapi kodrat harus membawa setiap anak pada pintu-pintu rumah tangga baru. Tak berbeda dengan aku. Sembilan belas tahun lalu, ibu melepas kepergianku dengan status baru, istri dari sang menantu. Begitu juga dengan 5 saudaraku yang lain. Satu per satu meninggalkan rumah ibu, dengan status dan tanggung jawab berbeda.
Desember 2020 sepertinya menjadi bulan yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Desember ini Covid-19 masih merajalela, meninggalkan jejak zona merah di mana-mana. Di kotaku, di kota ibuku. Jejak zona merah Covid-19 yang akhirnya menumbangkan rencanaku untuk pulang kampung menengok ibu.
Bagaimana mungkin aku pulang menjenguk ibu, sementara jarak perjalanan yang harus ku tempuh 423 kilometer menuju kampung halaman penuh ranjau si Corona. Bukankah perjalanan sepanjang itu dengan jarak tempuh 7 hingga 10 jam terlalu berisiko, meski segala tameng pertempuran sudah kita pasang.
Berulang ku telepon ibu. Melalui layar selebar telapak tangan balita, ibu telah memberikan maaf sebelum kata itu terucap dari mulutku. "Utamakan kesehatan dan keselamatan. Tidak usah nekad pulang kampung karena risiko teramat besar. Ibu tidak mengapa," pesan ibu dari seberang sana.
Melalui videocall pula, ibu selalu mengingatkan agar aku jangan banyak keluar rumah. Meski pandemi Covid-19 yang melanda tanah air sejak pertengah Maret 2020, telah membatasi aktivitasku selama hampir 9 bulan. "Bersabarlah, supaya 9 bulan yang telah lalu tidak menjadi sia-sia," lanjut ibu bijak.
***
Hujan masih terdengar nyata dari balik jendela kamar, ketika aku mencoba meramu pengobat rindu pada ibu melalui tulisan. Tentang ibu sekolah pertamaku. Berharap melalui tulisan, rindu kampung halaman, rindu pada ibu bisa tertuntaskan.
Tetapi sudah lebih dari 5 jam ku habiskan waktu, tulisan tentang kenangan bersama ibu tak kunjung mencapai ending. Ibu menyentuh segala sisi kehidupanku sejak kecil hingga kini.
Aku memulai tulisan dari sekantong beras. Mengapa beras? Secara kebetulan sekantong beras kiriman ibu baru saja tiba di rumahku. Entah itu kantong beras yang keberapa ratus. Tetapi yang jelas, sejak aku menikah, ibu rajin mengirimkan beras hasil panen sawah yang tak seberapa luas.
Ibu tidak hanya mengirimkan beras untukku. Kepada lima saudaraku juga ibu lakukan demikian. Padahal 4 dari 6 anaknya tidak di kota yang berbeda.
Beras, bukan kami -aku dan lima saudaraku- tak mampu membelinya. Beras yang dikirim ibu adalah beras pembawa sejuta pesan, pembawa sejuta filosofi kehidupan, membawa materi-materi pelajaran yang harus terus kami hafal dan praktikkan. Filosofi kehidupan penuh makna yang tak bisa disampaikan satu persatu, seperti halnya begitu sulit kita menghitung bulir-bulir dalam sekantong beras.
Melalui sekantong beras yang dikirimkan kepada setiap anaknya, ibu selalu berpesan hiduplah penuh keseimbangan. Jangan menyibukkan bekerja untuk urusan duniawi saja. Karena sejatinya hidup di dunia hanya ibarat kita mampir ke rumah makan untuk mengisi perut saat di dera lapar, selanjutnya perjalanan itu harus berlanjut. Beras adalah simbol dari kata mampir untuk makan.
Beras adalah sumber pangan. Ia bisa memicu peperangan, mendatangkan permusuhan, jika dikelola dengan nafsu berkuasa. Tetapi ia akan menjadi sumber pahala jika ujung jarimu ringan mengirimkan dana untuk terlibat dalam gerakan infaq beras bagi kaum dhuafa, anak yatim dan orang-orang yang kekurangan. Beras bisa menyelamatkan orang dari kemiskinan, dari kepapapan, dari kehinaan, dari kejahatan bahkan dari kelaparan dan kematian.
Beras, ia datang dari kampung, daerah pelosok yang mungkin susah dijangkau dan tidak terkenal. Tetapi dengan 'jiwanya yang bersih' ia mampu membawa diri, di tengah kehidupan modern perkotaan. Ia tetap tampil bersahaja, menebar kebaikan tanpa perlu merasa minder dengan asal muasalnya. Ia bisa beradaptasi menjadi menu apapun yang orang inginkan, di meja siapapun, meja si kaya, meja si miskin.
"Selalu belajarlah dari kesahajaan beras, Nak, tidak perlu sombong dan takabur meski kalian sudah menjadi kaya dan berpendidikan," kata ibuku.
Sebagus apapun karir seseorang, filosofi beras mengajarkan semua yang kita nikmati di dunia ada masa habisnya, akan berakhir laksana kita memakan beras. Setelah diambil manfaatnya, ia akan dibuang dalam bentuk kotoran dan segera dilupakan orang. Tak perlu sakit hati apalagi bersungut mencaci maki orang, menuntut sekadar penghargaan, meminta orang berterimakasih.
"Entah ada yang berterimakasih atau tidak, selalu diingat atau tidak, segera lupakan saat kita berbuat kebaikan kepada orang lain," tutur ibuku bijak.
Menuliskan tentang beras kiriman ibu saja, aku sudah menghabiskan waktu 5 jam lebih. Menghabiskan 5 layar laptop dan itu masih belum sampai titik. Padahal masih banyak kisah tentang ibu yang terpatri manis dalam ingatanku. Cerita tentang kebun, tentang pematang sawah, tentang masjid di depan rumah, tentang kali yang membentang tak jauh dari rumah. Ibu sosok yang mengajariku menanam padi, menanam kacang, menyiangi tanaman. Ibu yang mengajariku memancing belut pada lobang-lobang kecil di bawah pematang sawah. Ibu juga yang mengajariku menangkap belalang, membersihkan lalu menggorengnya untuk lauk makan malam.
Ini hari ke-5, ketika jam sudah menunjuk pukul 22.30 WIB. Tetapi tulisan tentang ibu tak kunjung berhasil ku selesaikan. Padahal sejatinya tulisan itu hanya ku ambil intisarinya, patisarinya, garis besarnya.
Aih, menuliskan tentang apapun yang bersentuhan dengan ibu, ternyata bukanlah pekerjaan mudah. Lebih mudah menulis jurnal ilmiah, materi presentasi seminar atau bahkan menulis buku.
Ku hitung total sudah 29 jam dalam pekan ini aku mencoba menuliskan tentang ibu. Tentang pelajaran hidup yang diajarkan ibu kepadaku. Nyatanya tak sanggup aku menuliskan satu persatu. Teramat banyak. Sampai akhirnya tiba pada kesimpulan, bagaimana mungkin menuliskan kenangan tentang ibu, jasa seorang ibu hanya hitungan jam, hitungan hari, hitungan minggu, bulan atau tahun? Seumur hidup pun dengan tinta sebanyak air lautan, jasa ibu tak mungkin bisa selesai dipaparkan.
Dari ibu aku mengenal dunia, dari ibu aku mengenal kata pertama, dari ibu aku mengenal warna, dari ibu aku mengenal agama, dari ibu aku mengenal arti saudara, dari ibu aku mengenal kasih sayang, dari ibu aku mengenal cinta, dari ibu aku mengenal arti pengorbanan, dari ibu aku belajar kesabaran, dari ibu aku belajar keikhlasan.
Rahim ibu tak sekadar tempatku berkembang, dari rahim ibu aku mendapatkan asupan nutrisi, rahim ibu menawarkan pembelajaran pertama, yang dibisikan oleh ibu dalam setiap elusan dikirim lewat detak jantung dan nafas yang nyata terdengar. Dari rahimnya, ibu mengajarkan arti pengorbanan.
Ibu sekolah pertamaku, sejak dulu hingga kini, tetap menjadi ruang belajar yang mengasyikkan. Tetap menjadi guru yang menyenangkan, tetap menjadi penyampai filosofi kehidupan. Ibu menjadi ruang kelas tempatku belajar sepanjang zaman.
Ibu sekolah pertamaku, nyata berlaku selamanya, tanpa ada kata kadaluwarsa. Dan Ahad pagi ini, jadwal kami 6 bersaudara videocall dengan ibu. Dari layar sebesar telapak balita, wajah ibu muncul menebarkan senyum. "Ingat pesan ibu, jaga kesehatan, taat imbauan pemerintah, jangan pulang jika memang situasi tidak memungkinkan. Menjaga keselamatan diri, sama saja menjaga keselamatan ibu," kata ibu bijak .
Salam takzim untuk Ibu, nun jauh di Kota Kebumen sana. Kepadamu aku belajar banyak menjadi seorang ibu bagi anak-anakku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI