Menuliskan tentang beras kiriman ibu saja, aku sudah menghabiskan waktu 5 jam lebih. Menghabiskan 5 layar laptop dan itu masih belum sampai titik. Padahal masih banyak kisah tentang ibu yang terpatri manis dalam ingatanku. Cerita tentang kebun, tentang pematang sawah, tentang masjid di depan rumah, tentang kali yang membentang tak jauh dari rumah. Ibu sosok yang mengajariku menanam padi, menanam kacang, menyiangi tanaman. Ibu yang mengajariku memancing belut pada lobang-lobang kecil di bawah pematang sawah. Ibu juga yang mengajariku menangkap belalang, membersihkan lalu menggorengnya untuk lauk makan malam.
Ini hari ke-5, ketika jam sudah menunjuk pukul 22.30 WIB. Tetapi tulisan tentang ibu tak kunjung berhasil ku selesaikan. Padahal sejatinya tulisan itu hanya ku ambil intisarinya, patisarinya, garis besarnya.
Aih, menuliskan tentang apapun yang bersentuhan dengan ibu, ternyata bukanlah pekerjaan mudah. Lebih mudah menulis jurnal ilmiah, materi presentasi seminar atau bahkan menulis buku.
Ku hitung total sudah 29 jam dalam pekan ini aku mencoba menuliskan tentang ibu. Tentang pelajaran hidup yang diajarkan ibu kepadaku. Nyatanya tak sanggup aku menuliskan satu persatu. Teramat banyak. Sampai akhirnya tiba pada kesimpulan, bagaimana mungkin menuliskan kenangan tentang ibu, jasa seorang ibu hanya hitungan jam, hitungan hari, hitungan minggu, bulan atau tahun? Seumur hidup pun dengan tinta sebanyak air lautan, jasa ibu tak mungkin bisa selesai dipaparkan.
Dari ibu aku mengenal dunia, dari ibu aku mengenal kata pertama, dari ibu aku mengenal warna, dari ibu aku mengenal agama, dari ibu aku mengenal arti saudara, dari ibu aku mengenal kasih sayang, dari ibu aku mengenal cinta, dari ibu aku mengenal arti pengorbanan, dari ibu aku belajar kesabaran, dari ibu aku belajar keikhlasan.
Rahim ibu tak sekadar tempatku berkembang, dari rahim ibu aku mendapatkan asupan nutrisi, rahim ibu menawarkan pembelajaran pertama, yang dibisikan oleh ibu dalam setiap elusan dikirim lewat detak jantung dan nafas yang nyata terdengar. Dari rahimnya, ibu mengajarkan arti pengorbanan.
Ibu sekolah pertamaku, sejak dulu hingga kini, tetap menjadi ruang belajar yang mengasyikkan. Tetap menjadi guru yang menyenangkan, tetap menjadi penyampai filosofi kehidupan. Ibu menjadi ruang kelas tempatku belajar sepanjang zaman.
Ibu sekolah pertamaku, nyata berlaku selamanya, tanpa ada kata kadaluwarsa. Dan Ahad pagi ini, jadwal kami 6 bersaudara videocall dengan ibu. Dari layar sebesar telapak balita, wajah ibu muncul menebarkan senyum. "Ingat pesan ibu, jaga kesehatan, taat imbauan pemerintah, jangan pulang jika memang situasi tidak memungkinkan. Menjaga keselamatan diri, sama saja menjaga keselamatan ibu," kata ibu bijak .
Salam takzim untuk Ibu, nun jauh di Kota Kebumen sana. Kepadamu aku belajar banyak menjadi seorang ibu bagi anak-anakku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H