Mohon tunggu...
Inung Kurnia
Inung Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Gemar berbagi kebaikan melalui tulisan

Ibu dari Key dan Rindang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Ibuku, Kata yang Tak Ada Akhir

7 Desember 2020   16:20 Diperbarui: 8 Maret 2022   19:03 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi ini telah menunda pertemuanku denganmu. Hampir setahun. Ku catat baik, tiga kali momen pertemuan yang semestinya sudah kita lalui bersama. Menjelang puasa Ramadhan, Idulfitri dan liburan sekolah. Akhirnya angka 423 tak bisa ku tempuh pada tahun ke-19 kali ini. Maafkan anakmu, Ibu. 

***

Hari ini, hujan sepagian tak ada berhentinya. Menjadi tanda Desember telah tiba. Bulan biasanya aku pulang ke kampung halaman, mengunjungi ibu. Juga pusara ayah yang telah memulai perjalanan menuju alam keabadian, menjumpai Sang Khalik 3 tahun silam. Rutin ku lakukan, membawa anak-anak entah itu naik, kereta, naik pesawat atau naik mobil sendiri.

Dua pekan dibulan Desember adalah waktu di mana aku sering bernostalgia. Seperti menjadi anak kembali ketika sudah berada di dekat ibu. Padahal, anak sulungku sudah gadis, yang bontot saja sudah kelas 6 SD.  

Tetapi jujur, menjadi anak dari seorang ibu adalah status yang membuatku bahagia sepanjang waktu. Kedudukan yang membuatku nyaman sepanjang masa.  Hidup bersama ibu adalah posisi yang ku inginkan sepanjang usia, kalau Tuhan memberikan pilihan.

Tetapi kodrat harus membawa setiap anak pada pintu-pintu rumah tangga baru. Tak berbeda dengan aku. Sembilan belas tahun lalu, ibu melepas kepergianku dengan status baru, istri dari sang menantu. Begitu juga dengan 5 saudaraku yang lain. Satu per satu meninggalkan rumah ibu, dengan status dan tanggung jawab berbeda.

Desember 2020 sepertinya menjadi bulan yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Desember ini Covid-19 masih merajalela, meninggalkan jejak zona merah di mana-mana. Di kotaku, di kota ibuku. Jejak zona merah Covid-19 yang akhirnya menumbangkan rencanaku untuk pulang kampung menengok ibu.

Bagaimana mungkin aku pulang menjenguk ibu, sementara jarak perjalanan yang harus ku tempuh 423 kilometer menuju kampung halaman penuh ranjau si Corona. Bukankah perjalanan sepanjang itu dengan jarak tempuh 7 hingga 10 jam terlalu berisiko, meski segala tameng pertempuran sudah kita pasang.

Berulang ku telepon ibu. Melalui layar selebar telapak tangan balita, ibu telah memberikan maaf sebelum kata itu terucap dari mulutku. "Utamakan kesehatan dan keselamatan. Tidak usah nekad pulang kampung karena risiko teramat besar. Ibu tidak mengapa," pesan ibu dari seberang sana.

Melalui videocall pula, ibu selalu mengingatkan agar aku jangan banyak keluar rumah. Meski pandemi Covid-19 yang melanda tanah air sejak pertengah Maret 2020, telah membatasi aktivitasku selama hampir 9 bulan. "Bersabarlah, supaya 9 bulan yang telah lalu tidak menjadi sia-sia," lanjut ibu bijak.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun