Hujan masih terdengar nyata dari balik jendela kamar, ketika aku mencoba meramu pengobat rindu pada ibu melalui tulisan. Tentang ibu sekolah pertamaku. Berharap melalui tulisan, rindu kampung halaman, rindu pada ibu bisa tertuntaskan.
Tetapi sudah lebih dari 5 jam ku habiskan waktu, tulisan tentang kenangan bersama ibu tak kunjung mencapai ending. Ibu menyentuh segala sisi kehidupanku sejak kecil hingga kini.
Aku memulai tulisan dari sekantong beras. Mengapa beras? Secara kebetulan sekantong beras kiriman ibu baru saja tiba di rumahku. Entah itu kantong beras yang keberapa ratus. Tetapi yang jelas, sejak aku menikah, ibu rajin mengirimkan beras hasil panen sawah yang tak seberapa luas.
Ibu tidak hanya mengirimkan beras untukku. Kepada lima saudaraku juga ibu lakukan demikian. Padahal 4 dari 6 anaknya tidak di kota yang berbeda.
Beras, bukan kami -aku dan lima saudaraku- tak mampu membelinya. Beras yang dikirim ibu adalah beras pembawa sejuta pesan, pembawa sejuta filosofi kehidupan, membawa materi-materi pelajaran yang harus terus kami hafal dan praktikkan. Filosofi kehidupan penuh makna yang tak bisa disampaikan satu persatu, seperti halnya begitu sulit kita menghitung bulir-bulir dalam sekantong beras.
Melalui sekantong beras yang dikirimkan kepada setiap anaknya, ibu selalu berpesan hiduplah penuh keseimbangan. Jangan menyibukkan bekerja untuk urusan duniawi saja. Karena sejatinya hidup di dunia hanya ibarat kita mampir ke rumah makan untuk mengisi perut saat di dera lapar, selanjutnya perjalanan itu harus berlanjut. Beras adalah simbol dari kata mampir untuk makan.
Beras adalah sumber pangan. Ia bisa memicu peperangan, mendatangkan permusuhan, jika dikelola dengan nafsu berkuasa. Tetapi ia akan menjadi sumber pahala jika ujung jarimu ringan mengirimkan dana untuk terlibat dalam gerakan infaq beras bagi kaum dhuafa, anak yatim dan orang-orang yang kekurangan. Beras bisa menyelamatkan orang dari kemiskinan, dari kepapapan, dari kehinaan, dari kejahatan bahkan dari kelaparan dan kematian.
Beras, ia datang dari kampung, daerah pelosok yang mungkin susah dijangkau dan tidak terkenal. Tetapi dengan 'jiwanya yang bersih' ia mampu membawa diri, di tengah kehidupan modern perkotaan. Ia tetap tampil bersahaja, menebar kebaikan tanpa perlu merasa minder dengan asal muasalnya. Ia bisa beradaptasi menjadi menu apapun yang orang inginkan, di meja siapapun, meja si kaya, meja si miskin.
"Selalu belajarlah dari kesahajaan beras, Nak, tidak perlu sombong dan takabur meski kalian sudah menjadi kaya dan berpendidikan," kata ibuku.
Sebagus apapun karir seseorang, filosofi beras mengajarkan semua yang kita nikmati di dunia ada masa habisnya, akan berakhir laksana kita memakan beras. Setelah diambil manfaatnya, ia akan dibuang dalam bentuk kotoran dan segera dilupakan orang. Tak perlu sakit hati apalagi bersungut mencaci maki orang, menuntut sekadar penghargaan, meminta orang berterimakasih.
"Entah ada yang berterimakasih atau tidak, selalu diingat atau tidak, segera lupakan saat kita berbuat kebaikan kepada orang lain," tutur ibuku bijak.