"Perkenalkan... namaku Rei. Senang bertemu dengan Ibu, Bapak dan Neng Sei." Rei menyambut keramahan perkenalan dari Sei.
...
Percakapan mulai hening. Tanda ada sedikit canggung dengan suasana yang serba mendadak ini. Bagaimanapun seorang Pemimpin negeri haruslah didampingi oleh pasangan hidup, untuk menjaga kestabilan emosi sang Pemimpin dan menjadi seorang yang mampu menjaga kondisi jiwa dan raga Sang Pemimpin.
"Kami sudah paham akan prinsip hidup dirimu Ananda Rei. Namun alangkah baiknya kau boleh menjalani masa-masa perkenalan dengan anak kami." Ucap sang ibu dari Sei.
"Benar. Ananda Rei, tentu kami tidak ingin memaksa pilihan hidupmu, karena yang menjalani kehidupan rumah tangga adalah dirimu suatu saat nanti. Pilihan yang tepat akan kami senantiasa tunggu." Sang ayah dari Sei melengkapi.
"Baik ayah dan Ibunda Neng Sei. Saya mengerti. Menjadi pemimpin sebuah negeri yang tergolong berusia masih muda seperti saya tentu tidaklah mudah, dan perlu pendampingan. Saya menerima masa-masa perkenalan dengan Neng Sei. Semoga Allah meridhai hubungan di masa perkenalan ini dan restu dari Ibu dan Bapak Neng Rei." Rei pun memutuskan untuk menerima.
"Aamiin Ya Rabb. Terima kasih ananda Rei. Kalau begitu mulai hari ini, kami mengamati kemajuan hubungan kalian berdua dari kejauhan. Anak kami Sei tetap tinggal di Rumah kami berdua setelah mendampingimu bertugas, dan sementara tentunya Ananda Rei tetap menetap bersama kedua orang tua Rei."
"Rei... Sei... kalian berdua kami harap menjadi pasangan yang serasi. Kami tinggal kalian berdua ya. Semoga Allah ridha dengan kalian berdua."
Kedua orang tua dari Sei pamit. Dan nampak menunggu anaknya Sei di depan halaman Rumah Rei menduduki kendaraannya.
Rei dan Sei yang nampak malu-malu, terlihat Sei memulai percakapan.
"Aa Rei. Maaf jika hal ini terlalu terburu-buru."