Lihat fenomena sekarang para oknum pelanggar hukum dari kalangan pejabat publik administrasi dan pelayanan publik, tingkah polah seperti raja yang harus dihormati dengan penuh kemuliaan, namun saat menyalahgunakan legalitas jabatannya dengan tindak pidana korupsi apa yang mereka perbuat setelahnya? Cengar cengir tanpa dosa, bukan tunduk malu dan berusaha membayar kerugian yang diperbuatnya kepada masyarakat karena telah menghancurkan ekspetasi dan harapan masyarakat!
Sejatinya diri manusia memanglah berharga (memiliki self-esteem). Seperti yang pernah Rian bahas di tulisan sebelumnya (di tulisan ini) bahwa manusia memiliki keberlimpahan diri yaitu Pikiran yang Mulia, Keinginan Luhur, Ketajaman Hati, Kecerdasan Akal, Kepiawaian Gerak Tubuh dan Keindahan Karakter.
Pengakuan dan penghargaan tidak perlu dicari, melainkan itu semua akan datang kepada kita dengan sendirinya sesuai kualitas kontribusi yang bersifat "Call to Action" dan "Mutual Interest" yang secara konsisten dan terarah kita investasikan untuk kepentingan publik atau orang banyak.
Seorang memberikan apresiasi karena:
Apresiasi diberikan karena adanya kesamaan nilai-nilai (baik itu moralitas dan etisnya wawasan) yang dimilikinya pada seorang yang berkontribusi. Dari hal inilah terlahir sebuah ungkapan "Pengakuan dan Penghargaan."
Dari quotes diatas, maka kita dapat menyimpulkan melalui beragam fenomena "Like, Comment, and Share" di berbagai medsos. Hal ini terjadi karena seseorang menganggap postingan tersebut memiliki nilai-nilai yang relevan dengan prinsip dan nilai yang kita anut. Sehingga muncul respon untuk meninggalkan rekam jejak digital dengan menekan tombol "Like" bahkan jika mengaguminya karena fantastisme nilai yang hadir di postingan tersebut, ia rela membagikannya kepada teman-teman terdekat dan keluarganya untuk menikmati bersama postingan tersebut.
Kemudian hal yang relevan dengan keberhargaan diri (self-esteem) pada hierarkis ke-4 ini adalah, berperilaku agar kita berharga dalam kehidupan, ada yang harus kita lakukan yaitu:
Kita mesti berperilaku inside-out ketimbang outside-in.
Mengapa? karena internal diri kitalah yang memegang kendali diri, bukan diluar diri kita. Jika diluar diri (outside-in) yang memegang kendali kita, maka kita dengan mudah termakan informasi palsu, tidak valid, dan tidak terukur variablenya seperti hoax yang terus tersebar di publik melalui sebaran informasi media sosial. Sehingga kita berperilaku seperti robot yang diremot oleh segelintir orang melalui propaganda pemikiran dan ideologi-ideologi menyimpang.
5. Dan keinginan aktualisasi diri pun variablenya tak dapat diukur secara pasti, karena setiap orang memiliki keinginan untuk beraktualisasi yang berbeda beda sesuai motivasi yang mendorong seseorang untuk berkembang.
Contoh ada yang ingin menjadi seorang pelajar yang tiada henti belajar, dan ada yang hanya ingin menjadi pengajar setelah belajar saat kelulusan sudah diraih, setelah kelulusan diraih malah pengajar tersebut berhenti belajar kembali (Re-learning) karena egonya, dan masih banyak aneka fenomena keragaman aktualisasi diri tiap manusia.