Mohon tunggu...
Intan Dian Syaputra
Intan Dian Syaputra Mohon Tunggu... Konsultan - Economy Enthusiast

Our stupid feelings are dangerous.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tindak Kejahatan "Catcalling" di Indonesia, Bagaimana Hukum Mengatur?

26 Januari 2019   09:00 Diperbarui: 6 Juli 2021   16:27 8269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus kriminalitas di berbagai negara mengalami peningkatan tiap tahun, salah satu tindak kejahatan yang sering didengar adalah pelecehan seksual. Seiring berkembangnya zaman, pelecehan seksual menjadi hal yang tidak tabu lagi dikalangan masyarakat karena pergeseran moral masyarakat. 

Salah satu pelecehan seksual yang sering dijumpai adalah catcalling yang merupakan tindakan yang biasanya terjadi di ruang publik dimana seorang laki-laki melakukan komentar terhadap tubuh atau berusaha menggoda wanita yang berjalan melewatinya (Stop Street Harassment Organization, 2015). 

Tindakan ini merupakan bagian dari pelecehan seksual verbal, dan pelaku yang melakukan catcalling atau biasa disebut catcaller biasanya melakukan hal tersebut agar mendapatkan perhatian dan berharap perempuan akan merespon.

Baca juga : Setop "Catcalling", Hanya Pengecut yang Beraninya Saat Ramai-Ramai!

Tindakan catcalling terjadi di hampir seluruh negara dan menjadi suatu permasalahan sosial yang serius karena berdampak besar pada kehidupan sosial manusia. Beberapa negara membentuk aturan untuk memberantas catcalling dengan menjadikannya sebagai bentuk tindak pidana, seperti Belgia, Portugal, Argentina, Kanada, New Zealand dan Amerika Serikat (King, 2016). 

Aturan yang diterapkan ini, bukan hanya berbentuk pada tindakan pidana melainkan dalam bentuk denda seperti di Prancis yang melarang laki-laki untuk melakukan catcalling dan mendorong wanita untuk melaporkan apabila merasa dipanggil atau digoda oleh orang asing. 

Tidak hanya dalam bentuk aturan, beberapa negara juga memiliki komunitas atau organisasi yang mendukung adanya gerakan untuk membrantas catcalling, seperti organisasi Stop Street Harrasment (SSH) dan Stop Telling Women To Smile (STWTS).

Baca juga : Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual, Bukan Pujian

Di Indonesia, kasus catcalling hampir setiap saat dirasakan oleh para pengguna tempat umum seperti transportasi publik, jalan raya ataupun lingkungan kerja. Terutama untuk transportasi umum, pada tahun 2014 Jakarta ditempatkan sebagai urutan kelima yang memiliki transportasi umum paling berbahaya dari 15 kota besar di dunia (Thomson Reuters Foundation, 2014). 

Kasus catcalling di Indonesia ini masih belum dianggap menjadi hal yang serius, melainkan menjadi risiko untuk wanita yang harus diambil ketika memutuskan untuk berpergian sendiri. 

Upaya untuk mengurangi tindakan tersebut atau menghukum catcaller masih dikatakan minim, mengingat belum adanya hukum atau aturan yang spesifik untuk menjadi dasar dari tindakan ini. 

Hukum yang mengatur tindakan pelecehan seksual secara verbal ini diperlukan mengingat akan banyak dampak dari catcalling bagi wanita, diantaranya adalah terus meningkatnya korban, kesehatan mental terganggu dan rasa takut terhadap lingkungan sosial.

Tindakan catcalling yang menjadi masalah sosial global ini, hal yang paling mengkhawatirkan adalah masyarakat menganggap bahwa ini menjadi kebiasaan sosial. Apabila sudah menjadi kebiasaan sosial, wanita yang menjadi korban akan semakin tidak berani bicara dan pelaku akan menganggap ini menjadi hal yang biasa sehingga akan ada ketimpangan gender di lingkungan sosial (Tanata, 2018). 

Baca juga : Bagaimana Kepastian Hukum terhadap Tindakan Catcalling di Indonesia?

Hal ini tentu membuat wanita merasa tidak nyaman karena harus diperhatikan oleh orang asing yang tidak dikenal sebelumnya. Rasa tidak nyaman ini kemudian membuat wanita cenderung menjauhi tempat-tempat tertentu ataupun  berpergian sendiri jika malam hari (Hickman dan Muehlenhard, 1997). 

Berbagai alasan pelaku seperti ingin mendapatkan perhatian, menjadi usaha "coba-coba" untuk mendapatkan respon baik dari wanita atau lainnya ini harus diberantas karena wanita juga memiliki ruang yang sama untuk dapat berekspresi dan memiliki rasa aman.

Sumber : (Trident Media, 2016)[1]

 Dalam grafik 1.0 menunjukkan pengalaman catcalling yang pernah dirasakan wanita di dunia, dapat dilihat bahwa hampir 100 persen wanita pernah mengalami tindakan ini dan didominasi oleh wanita yang berumur dibawah 16 tahun. 

Hal ini menunjukkan bahwa tindakan ini tidak memiliki spesifik umur untuk menjadikan target, namun yang mengkhawatirkan adalah apa yang dirasakan oleh wanita setelah merasakan catcalling. Sebanyak 98 persen wanita merasa takut dan 55 persen diantaranya mengalami kekerasan setelah mencoba untuk melakukan penolakan pada pelaku.   

Permasalahan ini kian meluas mengingat belum ada kesadaran untuk dapat mengurangi atau menjerat pelaku kedalam sebuah hukuman. Di Indonesia, pelecehan seksual belum dapat diinternalisasi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal istilah perbuatan cabul yang diatur pada Pasal 289-296 dengan artian perbuatan yang melanggar kesusilaan, perbuatan keji dan dalam nafsu birahi (Hukum Online, 2011). 

Catcalling berada pada tindakan pelecehan seksual verbal yang masih jauh dari kata perbuatan keji ataupun kekerasan, namun istilah kesopanan dan kesusilaan ini juga belum diatur oleh KHUP, sehingga belum ada aturan pasti yang mengatur batasan dan hukuman tindakan ini.

Perkembangan untuk mengurangi tindakan ini di Indonesia sebagian besar hanya dengan usaha preventif bagi wanita untuk menghindari mulai dari cara berpakaian (body policing[2]) hingga menghindari ruang publik di malam hari. 

Secara tidak langsung, ini menjadi salah satu bentuk diskriminasi yang berbasis gender yang dapat memungkinkan adanya kekerasan psikologis dan menghalangi wanita untuk mendapatkan kesetaraan (Chandra & Cervix, 2016). 

Keberadaan peraturan mengenai tindakan catcalling ini menjadi penting karena dapat menjadi bentuk kesadaran bagi para catcaller mengenai dampak yang mungkin terjadi pada wanita atas tindakannya tersebut. 

Berbagai dampak yang diterima oleh wanita ketika menjadi korban dari catcalling, diantaranya adalah terganggunya kesehatan mental dan rasa takut untuk menghadapi lingkungan. Kesehatan mental dapat terganggu dikarenakan wanita yang diberi komentar mengenai fisik atau bagian tubuh yang tidak dapat dikatakan sebagai salah satu pujian melainkan sebuah gangguan. 

Hal ini dikarenakan catcalling memiliki pengaruh buruk pada penurunan tingkat self-esteem atau harga diri dari wanita (Manalo, Mercado, Perez, Rivera, & Salangsang, 2016). Wanita dapat merasa tidak percaya diri lagi dapat merasa dirinya tidak terlalu bernilai dimata orang lain dan kemungkinan memikirkan hal tersebut secara berlebih atau overthinking. 

Tingkat keparahan pada penurunan dari self-esteem dapat berujung pada penyebab dari depresi, karena rasa kurang percaya diri dapat membatasi ruang untuk berekspresi.

Ruang berekspresi yang terbatas menyebab adanya intimidasi pada pemikiran dan aksi dari wanita yang dimana tidak dapat menyalurkan minat serta bakat yang dimiliki. Keterbatasan pada ruang berekspresi membuat wanita untuk lebih menghabiskan waktu sendiri karena adanya rasa takut pada lingkungan sosial. 

Hal ini juga kemudian berpengaruh pada self-objectification yang dimiliki akan menurun yang menyebabkan adanya pengaruh gender pada aktivitas sosial. Ketika wanita menjadi korban catcalling, mereka akan merasa sebagai objek laki-laki, dan memikirkan bagaimana memikirkan pandangan laki-laki tersebut. 

Dengan demikian, mereka akan berpikiran untuk melakukan pengawasan diri untuk menghindiran hal yang mungkin dapat memberikan perspektif negatif.

Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai wanita untuk melakukan pengawasan diri adalah menjaga pakaian yang dikenakan dan menghindari berpergian dalam malam hari. Sebagai bentuk pengawasan diri, hal ini sebenarnya tidak perlu dilakukan karena sebagai manusia seharusnya memiliki keseteraan gender sehingga wanita tidak perlu mengeluarkan usaha lebih.

Bentuk pengawasan diri bagi wanita memang diperlukan, akan tetapi jika secara berlebihan akan membuat perkembangan terhambat yang memberikan kontribusi terhadap gap antar gender. 

Ketimpangan ini lebih jauh lagi membuat produktivitas dari wanita akan lebih menurun, hal ini harus menjadi pertimbangan dikarenakan selama taun 2010 hingga 2014 menurut data BPS tingkat partisipasi angkatan kerja masih didominasi oleh laki-laki.

Dari dampak yang dimiliki oleh catcalling, dapat dilihat bahwa memiliki pengaruh negatif yang signifikan bagi kehidupan wanita. Keberadaan peraturan dan hukum pada tindakan catcalling sebagai pelanggaran pelecehan seksual ini sangat diperlukan untuk memberikan batasan dari tindakan ini. 

Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah wanita yang menjadi korban dapat mengetahui batasan sebuah tindakan dapat disebut catcalling, mengetahui bagaimana, kapan dan dimana cara meaporkannya (Hagerty, 2013). 

Kejelasan pada peraturan ini dapat memberikan kesadaran pada catcaller mengenai urgensi dari dampak tindakan tersebut.  Dimana dalam teori ekonomi perkotaan, adanya kejelasan pada peraturan dapat mengurangi adanya kriminalitas dari suatu wilayah.

Kebutuhan peraturan catcalling ini bukan terjadi ketika adanya kasus yang parah terlebih dahulu, tetapi diperlukan oleh seluruh negara yang dimana kasus ini sudah menjadi permasalahan sosial global. Termasuk juga Indonesia, yang dimana sebagai negara yang memiliki populitas yang tinggi memiliki tingkat kriminalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara yang memiliki populitas lebih rendah. 

Mengingat catcalling memiliki kemungkinan untuk menjadi kebiasaan dalam lingkungan sosial di Indonesia jika terus tidak ada hukum yang mengatur. Pemerintah perlu membuat peraturan yang bukan hanya preventif bagi korban melainkan meningkatkan kesadaran untuk para pelaku agar tidak  melakukan tindakan tersebut.

 Adanya peraturan untuk mengatur tindakan catcalling di Indonesia diharapkan dapat mengurangi adanya gap dari gender dalam lingkungan sosial agar wanita memiliki ruang berekspresi yang sama dan dapat mengembangkan diri. Oleh karena itu, peningkatan peraturan dengan catcalling ini dapat memberikan bukan hanya untuk dapat memberikan pengawasan. 

Usaha pada peningkatan peraturan ini juga dapat memberikan perkembangan produktivitas pada perekonomian karena kontribusi wanita akan lebih meningkat dan dampak yang dimiliki dari tindakan ini akan berkurang. 

Pemerintah juga dapat menjadikan negara lain yang memiliki peraturan dari pelanggaran ini sebagai tolak ukur sehingga dapat menganalisis kekurangan dan kelebihan yang kemudian dapat dikembangkan di Indonesia.

Referensi

Chandra, J., & Cervix, R. (2016, 12). Dipetik 05 24, 2018, dari The Rape Culture Pyramid V4: http://www.principleconsent.org/wp-content/uploads/2016/12/Rape-Culture-v4.png

Hagerty, T. (2013, Desember). Dipetik 05 25, 2018, dari Know Your Rights: Street Harassment and the Law: http://www.stopstreetharassment.org/wp-content/uploads/2013/12/SSH-KnowYourRights-StreetHarassmentandtheLaw-20131.pdf

Hukum Online. (2011, 05 13). Dipetik 05 24, 2018, dari Jerat Hukum dan Pembuktian Pelecehan Seksual : http:// m.hukumonline.com/klinik/detail/cl3746/jerat-hukum-dan-pembuktian-pelecehan-seksual

King, E. (2016, 01 29). Dipetik 05 20, 2018, dari 6 countries that are fighting back against catcalling: http://www.complex.com/life/2016/01/international-catcalling-policies/

Manalo, J. G., Mercado, I. U., Perez, A. D., Rivera, M. C., & Salangsang, S. A. (2016, Oktober). Dipetik 05 2018, dari STREET HARASSMENT AS A DETERMINANT OF SELF-ESTEEM AND SELF-OBJECTIFICATION AMONG SELECTED FEMALE STUDENTS: http://www.stopstreetharassment.org/wp-content/uploads/2011/04/Manila-Thesis-Street-Harassment.pdf

Stop Street Harassment Organization. (2015, March). Dipetik 05 25, 2018, dari Definitions: http://www.stopstreetharassment.org/resources/definitions/

Tanata, M. (2018). Dipetik 05 21, 2018, dari Hentikan Catcalling, Ciptakan Kenyamans: http://indonesianyouth.org/monicatanata/catcalling

Thomson Reuters Foundation. (2014, 10 31). Dipetik 05 21, 2018, dari Most dangerous transport systems for women: http://news.trust.org/spotlight/most-dangerous-transport-systems-for-women/?tab=results

Trident Media. (2016, 01 21). Dipetik 05 24, 2018, dari CATCALLING : CREEPY VS COMPLIMENT ?: www.tridentmedia.org/cat

[1] Data memiliki pembulatan ke atas sehingga total dari presentase akan sebanyak 101%.    

[2] Body policing merupakan tindakan dengan mengatur bagaimana seseorang harus berpakaian dari kepala hingga kaki yang harus dihentikan, karena seseorang memilki hak kebebasan untuk berpakaian yang dikenakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun