Hukum yang mengatur tindakan pelecehan seksual secara verbal ini diperlukan mengingat akan banyak dampak dari catcalling bagi wanita, diantaranya adalah terus meningkatnya korban, kesehatan mental terganggu dan rasa takut terhadap lingkungan sosial.
Tindakan catcalling yang menjadi masalah sosial global ini, hal yang paling mengkhawatirkan adalah masyarakat menganggap bahwa ini menjadi kebiasaan sosial. Apabila sudah menjadi kebiasaan sosial, wanita yang menjadi korban akan semakin tidak berani bicara dan pelaku akan menganggap ini menjadi hal yang biasa sehingga akan ada ketimpangan gender di lingkungan sosial (Tanata, 2018).Â
Baca juga : Bagaimana Kepastian Hukum terhadap Tindakan Catcalling di Indonesia?
Hal ini tentu membuat wanita merasa tidak nyaman karena harus diperhatikan oleh orang asing yang tidak dikenal sebelumnya. Rasa tidak nyaman ini kemudian membuat wanita cenderung menjauhi tempat-tempat tertentu ataupun  berpergian sendiri jika malam hari (Hickman dan Muehlenhard, 1997).Â
Berbagai alasan pelaku seperti ingin mendapatkan perhatian, menjadi usaha "coba-coba" untuk mendapatkan respon baik dari wanita atau lainnya ini harus diberantas karena wanita juga memiliki ruang yang sama untuk dapat berekspresi dan memiliki rasa aman.
Sumber : (Trident Media, 2016)[1]
 Dalam grafik 1.0 menunjukkan pengalaman catcalling yang pernah dirasakan wanita di dunia, dapat dilihat bahwa hampir 100 persen wanita pernah mengalami tindakan ini dan didominasi oleh wanita yang berumur dibawah 16 tahun.Â
Hal ini menunjukkan bahwa tindakan ini tidak memiliki spesifik umur untuk menjadikan target, namun yang mengkhawatirkan adalah apa yang dirasakan oleh wanita setelah merasakan catcalling. Sebanyak 98 persen wanita merasa takut dan 55 persen diantaranya mengalami kekerasan setelah mencoba untuk melakukan penolakan pada pelaku.  Â
Permasalahan ini kian meluas mengingat belum ada kesadaran untuk dapat mengurangi atau menjerat pelaku kedalam sebuah hukuman. Di Indonesia, pelecehan seksual belum dapat diinternalisasi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal istilah perbuatan cabul yang diatur pada Pasal 289-296 dengan artian perbuatan yang melanggar kesusilaan, perbuatan keji dan dalam nafsu birahi (Hukum Online, 2011).Â
Catcalling berada pada tindakan pelecehan seksual verbal yang masih jauh dari kata perbuatan keji ataupun kekerasan, namun istilah kesopanan dan kesusilaan ini juga belum diatur oleh KHUP, sehingga belum ada aturan pasti yang mengatur batasan dan hukuman tindakan ini.
Perkembangan untuk mengurangi tindakan ini di Indonesia sebagian besar hanya dengan usaha preventif bagi wanita untuk menghindari mulai dari cara berpakaian (body policing[2])Â hingga menghindari ruang publik di malam hari.Â